Mau UANG???... Buruan GRATIS Registrasi KLIK DISINI

Selasa, 21 Juni 2011

Migrant Institute Desak Cabut Izin PJTKI Nakal


Warta Jatim, Surabaya - Migrant Institute mendesak pemerintah mencabut izin perusahaan jasa pengiriman TKI ilegal. PJTKI nakal kerap memalsukan dokumen buruh migran sehingga kesulitan mendapat perlindungan hukum.  

Menurut Manager Migrant Institute, Ali Yasin, pemerintah sudah lemah melindungi BMI sejak mengurus dokumen sebelum pemberangkatan. ”Banyaknya persoalan yang dialami buruh migran tidak lepas dari lemahnya pengawasan terhadap PJTKI,” kata Ali Yasin, Selasa (21/6).

Ali Yasin mengatakan, eksekusi mati Ruyati binti Satubi membuktikan lemahnya diplomasi pemerintah dalam melindungi buruh migran. ”Pemerintah terbukti tidak memberikan pembelaan dan perlindungan hukum kepada Ruyati,” ujar Ali Yasin.

Migrant Institute menuntut pemerintah membebaskan 23 buruh migran yang sedang menunggu eksekusi mati di Arab Saudi. (red)

Rabu, 08 Juni 2011

Walikota Surabaya Tolak Tutup Dolly


Warta Jatim, Surabaya – Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini menyatakan tidak akan menutup lokalisasi Dolly. Sebelumnya, Dinas Sosial Surabaya dan Kecamatan Sawahan merencanakan menutup Dolly 2 tahun lagi.

Menurut Risma, pihaknya mempertimbangkan efek penutupan Dolly terhadap masyarakat sekitar. Masyarakat mengantungkan hidup dari parkir dan membuka warung di lokalisasi Dolly. 

”Saya tegaskan, kami harus memikirkan efek sebelum melakukan penutupan,” kata Risma.. 

Risma memilih fokus pada pemberdayaan pekerja seks komersial dan masyarakat yang tinggal di lokalisasi. Diantaranya memberikan pelatihan keterampilan sehingga PSK dapat alih profesi. 

Pemerintah Kota Surabaya akan membatasi jam operasional lokalisasi Dolly dari pukul 09.00-01.00. Wisma juga dilarang menerima PSK baru. Pemkot menargetkan jumlah PSK turun dari 1.132 orang menjadi 750 pada akhir tahun 2012. (red)

3 Sekolah Digusur untuk Tanggul Lapindo


Warta Jatim, Sidoarjo– Tiga sekolah di Desa Pejarakan dan Besuki, Kecamatan Jabon, Sidoarjo, tutup. Lahan sekolah terkena proyek perluasan tanggul penahan lumpur Lapindo.

Tiga sekolah tersebut adalah TK Dharma Wanita Persatuan di Desa Pejarakan dan Desa Besuki, serta madrasah ibtidaiyah, madrasah tsanawiyah, dan Madrasah Aliyah Jawairul Ulum yang berada dalam satu kompleks sekolah di Desa Besuki.

Kepala TK Dharma Wanita Persatuan, Siti Fatimah mengatakan, pihaknya diberi waktu mengosongkan sekolah hingga 18 Juni 2011. TK Dharma Wanita Persatuan saat ini memiliki 8 murid kelas B dan 6 murid kelas A.

Siti mengaku pernah mencoba meminta penundaan penggusuran hingga tahun depan, menunggu siswa kelas A naik ke kelas B. ”BPLS bersikukuh menutup sekolah dengan alasan akan dibuat tanggul,” kata Siti.

Pihak sekolah memberi keleluasaan pada guru non-pegawai negeri sipil untuk memilih tempat mengajar baru. Guru PNS menunggu perintah mutasi kerja dari Dinas Pendidikan Kabupaten Sidoarjo. 

Humas BPLS, Ahmad Khusaeri mengakui rencana menutup 3 sekolah di Pejarakan dan Besuki. Menurut dia rencana penutupan sekolah tidak mendadak dan sudah disosialisasikan dengan pengurus sekolah.

“Kami hanya sebagai pelaksana instruksi pemerintah. Kami harap masyarakat menyadari itu,” ujar Khusaeri. (red)

Plazmokefree Award untuk Kampung Bebas Rokok


Warta Jatim, Surabaya – Heru Subijanto, warga RT 7 RW 6, Kelurahan Bulaksari, Wonokromo, Surabaya, menerima Plazmokefree Award dari Surabaya Plaza Hotel. Heru dinilai berhasil mengembangkan konsep kampung bebas rokok.

Plazmokefree Award tahun 2011 diikuti 20 peserta dan terpilih 5 orang finalis. Heru Subijanto dengan konsep kampung bebas asap rokok. Susetijowati, guru yang giat mengkampanyekan gerakan antirokok kepada siswa melalui aksi teaterikal.

Teguh Ardisrianto, jurnalis yang aktif di Komunitas Jurnalis Peduli Lingkungan (KJPL). Djoko Wismono dengan konsep sekolah bebas asap rokok, dan Dr Mohammad Arief Muljadi yang mengembangkan terapi antirokok melalui SEFT (Spiritual Emotional Freedom Technique). 

General Manajer Surabaya Plaza Hotel, Yusak Anshori mengatakan, penghargaan ini diharapkan memotivasi masyarakat agar mendukung lingkungan bebas asap rokok. ”Kami berharap semakin banyak masyarakat yang berpartisipasi. Tahun pertama penyelenggaraan, kami anggap berhasil,” kata Yusak Anshori, Senin (6/6). 

Kata Heru, mewujudkan kampung bebas asap rokok tidak mudah. Butuh kebersamaan warga. ”Meski belum sempurna, setidaknya sejak Desember 2010 kampung kami bebas asap rokok,” ujar Heru. 

Menurut Heru, warga kampungnya sekarang setuju untuk tidak berjualan rokok. Dia berharap, kampung bebas asap rokok dapat diterapkan di seluruh daerah di Kota Surabaya. 

Surabaya Plaza Hotel melibatkan tim Kesehatan dan Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya, Kardiovaskuler Indonesia, dan Sentra Advokasi Lingkungan Bebas Rokok sebagai tim juri Plazmokefree Award. (red)

Lumpur Mengeras di Porong


Lima tahun lumpur PT Lapindo Brantas ”mengeras” di Porong. Tak terhitung luas sawah dan banyaknya rumah yang berubah menjadi lautan lumpur.

Anak-anak Desa Besuki dan Pejarakan kehilangan kawan. Sekolah ditutup. Mereka dipaksa pindah oleh Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), karena rumah dan sekolah akan dijadikan tanggul. (red)

Luka Lapindo di Keluarga Purwaningsih


Lumpur Lapindo tak hanya menenggelamkan Sidoarjo. Membakar harapan dan kehidupan.

Suara berderit mengiringi upaya Purwaningsih turun dari dipan. Dengan kedua kaki diperban, perempuan 52 tahun ini akhirnya berhasil turun dari dipan, sekadar untuk melepas penat.

Purwaningsih adalah korban ledakan gas metan lumpur Lapindo di Desa Siring, Porong, , Sidoarjo, 7 September 2010. Hingga hampir setahun penderitaan Purwaningsih belum berakhir. Luka bakarnya masih sekitar 70 persen. Devi Purbawiyata, 22 tahun, sang anak, yang mengalami luka bakar serius, saat ini tinggal menjalani fase pemulihan kulit.

Purwaningsih capek berada di dalam kamar setiap hari di rumahnya di Jalan WR Supratman 3, RT 7 RW 2, Desa Gedang, Kecamatan Porong. Namun, ia tidak berdaya. Luka bakarnya belum juga pulih. Jangankan untuk berjalan, untuk berdiri saja, bisa dipastikan darah akan mengucur dari luka bakar di kedua kakinya. 

Akibatnya, selama delapan bulan ini dia tidak pernah mandi. Segala aktivitas dasar dilakukan di atas ranjang, dari makan, minum, hingga buang air besar.

Satu-satunya yang menguatkan adalah perhatian dan kesetiaan Devi dan Hardi Wiyoto, suaminya. Keduanya tidak lelah merawat Purwaningsih. "Saya bersyukur memiliki suami dan anak yang setia merawat. Ini berkat yang luar biasa dari Tuhan," ujar Purwaningsih.

Janji Pemerintah
Pengobatan yang harus dijalani Purwaningsih tidak mudah. Ia harus rutin mengontrol kondisi luka bakar di kedua kakinya. Di antaranya dua minggu sekali rawat jalan di Rumah Sakit Vincentius A Paulo, Surabaya.

Biaya yang dikeluarkan pun tidak sedikit. Sekali rawat jalan, harus mengeluarkan Rp 500 ribu hingga Rp 700 ribu. Angka yang terbilang sangat besar bagi keluarga Purwaningsih, karena suaminya tidak bekerja lagi setelah usaha toko sembako mereka pailit pada tahun 2007.

Ongkos rawat jalan itu memang masih terbilang lebih murah, dibandingkan saat harus menjalani operasi di Rumah Sakit Vincentius A Paulo. Purwaningsih harus menjalani operasi tiga kali dengan biaya sekitar Rp 60 Juta.

Untuk memenuhi biaya operasi, keluarga Purwaningsih menggadaikan sertifikat rumah sebesar Rp 50 juta. Itu pun masih kurang. Namun, Purwaningsih bersyukur, karena kekurangan biaya operasi dan pengobatan dibantu jemaat gereja dan masyarakat yang peduli.

Purwaningsih mengaku geram terhadap Pemerintah Kabupaten Sidoarjo, Pemeintah Provinsi Jawa  Timur, dan Badan Pelaksana Lumpur Sidoarjo. Sebab, ketiga instansi tersebut ingkar janji. Wakil Gubernur Saifullah Yusuf, misalnya, berjanji menanggung seluruh biaya pengobatan hingga sembuh. Namun, kenyataannya Purwaningsih dipaksa pulang oleh Rumah Sakit Daerah Sidoarjo sebelum sembuh.

Purwaningsih menjalani perawatan di rumah sakit milik pemerintah itu selama 35 hari. Namun, dengan pelayanan buruk. Bahkan, dia disuruh pulang dengan alasan luka bakar mulai membaik. Padahal, menurut Purwaningsih, sebenarnya pihak rumah sakit mengaku tidak bisa terus merawat karena biaya pengobatan sudah dihentikan oleh pemerintah dan BPLS. 

"Dengan menahan luka bakar yang masih sakit, saya dipaksa meninggalkan rumah sakit. Marah sekali rasanya saat itu," tuturnya.

Melihat kondisi kesehatan dan keluarganya, Purwaningsih masih berharap pemerintah menepati janji membiayai pengobatan dirinya. Dia meminta suami dan anaknya menemui Bupati Sidoarjo Saiful Illah dan Wakil Gubernur Saifullah Yusuf.

Purwaningsih masih berharap pemerintah mau mendengar jeritannya. Apalagi saat ini seluruh kehidupan keluarganya menjadi tanggungan tetangga, jemaat gereja, serta masyarakat yang peduli. Terlebih sejak sang suami mengalami kecelakaan yang hampir merenggut nyawa. Sang anak pun drop out dari Universitas Surabaya akibat kondisi ekonomi keluarga yang terus memburuk.

Malam Petaka
Purwaningsih masih mengingat dengan jelas petaka 7 September 2010. Malam itu dia bersama suami dan anaknya sedang menonton televisi sembari menunggu pembeli di warung makannya.

Tiba-tiba api menyambar dan membakar rumah, setelah muncul bau gas metan yang menyengat. Api menyambar tubuh Purwaningsih yang berada di warung. Devi pun tak luput dari jilatan api. Hardi sedikit beruntung, karena bisa menyelamatkan diri dengan masuk ke bak mandi.

Purwaningsih terkapar dengan tubuh dan pakaian ludes terbakar. Dengan sisa tenaga dia berteriak minta tolong. Jeritannya didengar Suparno, tetangga, yang kemudian menolong membawa Purwaningsih ke rumah sakit di Sidoarjo.

Selain rumah Purwaningsih, api juga membakar dua rumah tetangga, Okki Andrianto dan Suncono. Bubble atau pusat semburan air lumpur bercampur gas metan pun membara. Petugas pemadam kebakaran dan ahli gas yang didatangkan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo kewalahan memadamkan bubble yang terbakar.

Lokasi rumah yang terbakar dengan pusat semburan lumpur Lapindo Brantas berjarak sekitar 1 kilometer. Desa Siring Barat berada di barat tanggul atau Jalan Raya Porong. Meski tidak terdampak langsung lumpur Lapindo, warga setiap hari dihantui ketakutan akan ledakan gas lumpur Lapindo. Apalagi perkampungan penduduk Siring Barat sudah dikepung bubble gas metan.

Kini Purwaningsih hanya bisa berharap luka bakarnya segera sembuh dan dia bisa kembali bekerja. Setidaknya bisa memulai usaha warung makan yang dulu  menjadi penopang kehidupan keluarganya.

Perempuan Ojek Lapindo


Perempuan bersayap besi. Tegar berdiri.

Herawati bertudung topi lebar. Berjaket tebal dengan kacu bendera Amerika Serikat melingkari leher. Siang itu panas menikam ubun-ubun di Porong, Sidoarjo.

Herawati tidak canggung berada di antara puluhan lelaki pengojek yang mangkal di tanggul lumpur Lapindo. Jauh di tengah danau lumpur, rumahnya dulu di Desa Siring tak tampak lagi.

”Ojek pilihan terakhir saya. Meski harus berjuang melawan sengatan matahari, tetap akan saya lakukan untuk menghidupi keluarga,” kata Herawati.

Herawati mengojek sejak tahun 2007. Saban hari dari pukul 7 pagi hingga malam, dia mengitari tanggul dari Siring, Kedung Bendo, Renokenongo, Mindi, hingga Jatirejo, mengantar turis wisata lumpur.

Sebelum suaminya Muhtah meninggal, dan Desa Siring belum tenggelam, Herawati punya warung. Keuntungannya jualan lumayan untuk menghidupi keluarga.

Sekarang kebutuhannya semakin banyak. Anak pertamanya yang berusia 12 tahun, Ria Maharani, duduk di kelas VI SD Candipari, Porong. Tahun depan masuk SMP. Anak keduanya, Katrina Maharani, 4,5 tahun.

Pendapatannya setiap hari tidak tentu. Jika banyak pengunjung, Herawati dapat mengantongi uang Rp 50 ribu. Tapi dia juga pernah tidak mendapat penumpang sama sekali.

“Untuk besaran tarif, kami menentukan batasan tarif minimal. Atau tergantung nego dengan penumpang,” ujar Herawati.

Selain mengojek, Herawati juga menjual VCD berisi rekaman meluapnya lumpur Lapindo 5 tahun lalu. VCD tersebut dijual dengan kisaran harga Rp 10 ribu hingga Rp 25 ribu. Pendapatan dari menjual VCD digunakan untuk menutup kebutuhan sehari-hari.

Di tanggul Lapindo ada 3 perempuan pengojek. Selain Herawati ada Muamalah dan Muslikah. Mereka bergabung dalam Paguyuban Ojek Tanggul Lumpur Lapindo.

Ketika pertama berdiri, Paguyuban Ojek memiliki 300 orang anggota. Kebanyakan mereka, mantan buruh yang pabriknya ditenggelamkan lumpur PT Lapindo Brantas. Pengojek mangkal tersebar di 8 titik tanggul.

Sekarang hanya 100 pengojek yang tersisa. Kebanyakan berhenti setelah mendapat ganti rugi dan mampu membeli rumah. ”Teman-teman banyak yang keluar jadi tukang ojek.”

Apalagi jumlah pengunjung sekarang jauh berkurang. Jumlah pengunjung meningkat hanya pada masa liburan sekolah. Itupun belum pasti mereka menggunakan jasa ojek untuk berkeliling melihat hamparan lumpur.

Paguyuban Ojek Tanggul Lumpur Lapindo mengutip iuran seribu rupiah dari setiap anggota tiap hari. Uang itu disimpan dan akan digunakan untuk menyumbang jika ada anggota yang sakit atau meninggal.

Menurut Herawati anaknya mengaku kerap malu pada teman dan tetangga karena memiliki ibu berprofesi pengojek. Butuh waktu memberi pengertian soal pilihan profesi yang terpaksa diambilnya.

Namun tantangan paling berat ketika harus menghadapi penumpang laki-laki yang usil. Herawati sering dirayu penumpang yang mengajaknya kencan. Biasanya, sikap menolak dengan cara halus namun tegas, efektif untuk mengatasi penumpang jahil.

Meski Herawati sudah mendapat rumah baru di Desa Candipari, kondisinya tidak senyaman kampung halamannya di Siring. Herawati sudah akrab dengan warga Siring. Mencari uang di Siring juga lebih gampang.

“Setiap malam, sesempit apapun saya selalu berusaha untuk bercengkerama dengan anak-anak. Karena itu saya memilih tidak menghadiri kegiatan kampung,” ujar Herawati.

Herawati berharap, PT Minarak Lapindo Jaya segera menyelesaikan pembayaran ganti rugi. Dia baru menerima ganti rugi Rp 80 juta dari Rp 150 juta yang seharusnya diterima. Pembayaran cicilan ganti rugi juga macet selama 3 bulan terakhir.

Herawati berniat berhenti mengojek setelah ganti rugi lunas. Dia ingin kembali merintis usaha kecil-kecilan. “Anak saya harus menjadi orang sukses. Sebisa mungkin mereka terus sekolah.”