Korban semburan lumpur Lapindo masih terkatung-katung. Pemerintah yang tidak berani mengambil tindakan tegas semakin membuat masalah ini tidak terselesaikan.
Panen tiba petani desa memetik harapan. Bocah-bocah menari riang di pematang sawah....
Sepenggal kalimat yang ada lirik lagu berjudul Potret Panen dan Mimpi Wereng, ciptaan Iwan Fals, adalah gambaran masa lalu, para petani yang tinggal wilayah kecamatan Jabon, Porong dan Tanggulangin, Sidoarjo. Mereka setiap saat selalu tersenyum menikmati hasil panen di setiap tahunnya.
Kini, sejak tahun 2006 atau 5 tahun lalu, semuanya berubah 180 derajat. Tidak ada lagi kebahagian, tidak ada senda gurau, dan tidak ada saling sapa diantara petani yang tinggal di daerah tersebut. Semuanya hanya disebabkan oleh satu hal, yakni semburan lumpur Lapindo, yang terus menyembur sejak 29 Mei 2006 silam. Semenjak kejadian di sumur Banjar Panji I tersebut, seluruh sawah dan ribuan rumah penduduk, tenggelam oleh "serbuan" lumpur panas Lapindo.
Lima tahun sudah lumpur panas Lapindo, terus menggerus rumah dan persawahan. Seakan tidak pernah berhenti, masyarakat sengaja dikorbankan, hanya untuk proyek yang mungkin belum tentu bisa dinikmati oleh masyarakat sendiri. Hingga kini, sudah tidak terhitung lagi, berapa rumah yang harus tergusur, berapa sawah yang sudah hilang, berapa sekolah yang harus tutup. Dan yang terpenting, bagaimana kehidupan korban lumpur sekarang? apakah jauh lebih baik, atau justru malah sebaliknya?
Lexy Rambadeta mengabadikan perjalanan lima tahun lumpur Lapindo dalam sebuah film dokumenter yang berjudul Waiting for Nothing. Film yang diproduseri sendiri oleh Lexy Rambadeta ini mengangkat kembali persoalan lumpur Lapindo, mulai dari kehidupan sosial korban lumpur hingga persoalan kesehatan dan psikologis mereka.
Film berdurasi 30 menit ini diputar di Universitas Kristen Petra Surabaya sebagai acara pembuka pameran foto Bingkai Lumpur, yang memamerkan karya 10 anak korban lumpur Lapindo. Film yang bercerita tentang kondisi korban lumpur sejak tahun 2006 hingga saat ini telah mengundang berbagai reaksi dari kalangan masyarakat.
Kesam Sutanta misalnya. Mantan saksi ahli kasus lumpur Lapindo Brantas ini mengatakan, persoalan lumpur Lapindo adalah konspirasi besar di negara Indonesia. Meski tidak menunjuk secara langsung aktor-aktor di balik konspirasi ini, Kesam menunjukkan beberapa kejanggalan dalam proses penyelesaian lumpur Lapindo.
Kejanggalan pertama, menurut Kesam, adalah putusan pengadilan atas kasus ini. Kesam menganggap putusan pengadilan soal lumpur Lapindo murni disebabkan oleh bencana alam sebagai keputusan yang aneh dan tidak masuk akal. Apalagi, keputusan itu dibuat saat polisi masih melakukan pemberkasan terhadap pendapat yang dia kemukakan, sebagai saksi ahli.
Yang menjadi kejanggalan kedua adalah tidak adanya sikap tegas dari pemerintah. Merujuk pada Kepres No 14 Tahun 2007, PT Lapindo Brantas diwajibkan melunasi ganti rugi hingga Desember 2008. Namun, pada kenyataannya, dengan berbagai alasan, PT Lapindo berusaha mengelak dari tanggung jawabnya, seperti apa yang diamanatkan oleh Presiden. Akibatnya, sampai saat ini, sebagian besar korban lumpur, masih belum menerima ganti rugi.
Pemerintah seharusnya bisa mengambil tindakan tegas dengan menuntut PT Lapindo Brantas, karena sikap perusahaan ini sudah bisa dikategorikan melawan pemerintah.
Ekonom Tjuk Sukiadi berpendapat, sikap tidak tegas pemerintah telah menyebabkan kerugian dalam banyak hal, terutama persoalan ekonomi. Tjuk mengatakan, selama lima tahun lumpur Lapindo, perekonomian Jawa Timur sudah dirugikan hingga triliunan rupiah. Kerugian itu mencakup tersendatnya perekonomian di wilayah timur hingga hilangnya mata pencaharian masyarakat yang menjadi korban lumpur Lapindo.
Menurut Tjuk, seharusnya pemerintah ikut memikirkan cara bagaimana perekonomian di Jawa Timur agar cepat pulih. Apalagi, semburan lumpur Lapindo telah membuat seluruh masyarakat terkena imbasnya. Kondisi ini kemudian diperparah oleh sikap pemerintah yang seakan memaksakan kehendak agar warga menerima tawaran dari PT Lapindo Brantas.
“Selama ini korban lumpur sudah terlalu banyak mengalah. Mereka selalu saja menerima apa yang ditawarkan pemerintah dan Lapindo. Tapi ketika korban lumpur menginginkan apa yang menjadi haknya, apakah pemerintah dan Lapindo menurutinya?” ujar Tjuk Sukiadi.
Persoalan Sosial dan Kesehatan
Waiting For Nothing tidak berhenti pada persoalan ekonomi. Roni Soebagyo, seorang psikiater sempat mengatakan, pertumbuhan anak korban lumpur Lapindo, sangat labil dan tidak baik. Salah satu faktor penyebabnya adalahhilangnya lingkungan tempat tinggal mereka. Anak-anak juga harus kehilangan kesempatan belajar karena sekolahnya yang digusur dan terancam digusur. Mereka juga harus kehilangan teman-teman sebayanya.
Menurut Roni, seharusnya pemerintah dan Lapindo juga harus memikirkan permasalahan ini. Karena bagaimanapun, masa depan anak-anak sangat penting. “Selama berada di tempat pengungsian, anak-anak dipaksa untuk hidup dalam keadaan dewasa. Mereka terkadang harus menyaksikan orang tuanya berhubungan badan karena tidak adanya kamar. Ini yang membuat gangguan dalam perkembangan mereka,” jelas Roni.
Hal yang sangat menyedihkan adalah adanya pengakuan dari beberapa anak korban lumpur Lapindo yang kehilangan orang tuanya akibat bercerai. Tidak sedikit diantara mereka harus bekerja memenuhi kebutuhan keluarga, bahkan sampai harus menjajakan diri demi mengais rupiah.
Permasalahan yang tidak kalah pelik adalah masalah kesehatan. Sutanto, salah satu korban lumpur menceritakan, selama ini pemerintah dan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) tidak pernah memberikan bantuan atau jaminan kesehatan kepada korban lumpur. Kalaupun ada, itu hanya berlaku dalam kurun waktu beberapa bulan pertama sejak lumpur Lapindo meluber.
Data Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jatim menyebutkan, lumpur Lapindo telah membuat jumlah penderita penyakit ISPA meningkat tajam. Untuk tahun 2010 saja, di Puskesmas Porong jumlah penderita ISPA naik menjadi 46 pasien dalam setiap bulan. Padahal sebelumnya, jumlahnya tidak lebih dari sepuluh. Warga Porong dan sekitarnya juga terancam terkena tumor, kanker dan gangguan disfungsi seksual, jika dalam jangka panjang menghirup udara dan mengkonsumsi air di kawasan tersebut.
Direktur Eksekutif Walhi Jatim, Bambang Catur Nusantara menilai Badan Penanggulangan Lumpur Lapindo (BPLS), pemerintah dan PT Lapindo Brantas telah menyembunyikan fakta sesungguhnya terkait lumpur Lapindo, temasuk soal kondisi lingkungan di kawasan Porong dan sekitarnya, terutama soal kualitas air dan udara.
Menurut Catur, penelitian yang dilakukan Walhi dan Pemprov Jatim menunjukan adanya kandungan kanmium dan timbal yang melebihi ambang batas kewajaran dan baku mutu. “Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan No. 907/2002, untuk baku mutu Kadmium idealnya 0,003 dan Timbal sebesar 0,05. Sedangkan di kawasan Porong dan sekitarnya, semuanya melebihi batas tersebut.
Usulan Penghentian Lumpur Ditolak
Saat ini ada satu persoalan yang menjadi pertanyaan semua orang. Sampai kapan lumpur Lapindo akan terus menyembur? Apakah tidak ada cara untuk menghentikannya?
Sudah banyak cara dilakukan untuk menghentikan menutup semburan lumpur, seperti membuang bola-bola beton ke dalam pusat semburan di Sumur Banjar Panji I, melakukan metode relief well, hingga menggunakan teori Bernoulli.
Anggota Tim Nasional Penanganan Lumpur Panas pada saat itu (2006), Rudi Rubiandini mengaku tidak habis pikir dengan penolakan dari PT Lapindo Brantas, terkait cara relief well yang diusulkannya. Padahal dari hitungan matematis, cara ini hanya menghabiskan biaya 50 juta dollar. Jumlah ini tentunya jauh lebih murah dibandingkan ongkos sosial yang harus dikeluarkan selama lima tahun sejak semburan pertamalumpur Lapindo.
Rudi sangat optimistis dengan cara yang ia pilih. Apalagi, metode relief well telah melalui beberapa tahapan uji coba.
Anggota tim peneliti lumpur dari ITS Djaja Laksana mengatakan, persoalan lumpur Lapindo tidak akan selesai jika tidak ada upaya menghentikannya. Djaja juga sependapat dengan Rudi, bahwa usaha untuk menghentikan lumpur tidaklah membutuhkan biaya besar.
Menurut Djaja, jika dibandingkan dengan kerugian Rp 105 triliun selama 5 tahun akibat lumpur Lapindo, ongkos yang dibutuhkan untuk menghentikan lumpur hanya Rp 5 triliun. Dana sebesar itu untuk membangun bendungan lumpur menggunakan teori Bernoulli.
“Selama ini teori Bernoulli terbukti sukses menjinakkan semburan baru di beberapa kawasan. Dengan teori yang sama, kami yakin mampu mengatasinya. Sekarang tinggal kemauan pemerintah dan Lapindo.”
Djaja Laksana khawatir, jika semburan lumpur Lapindo tidak dihentikan, akan sangat membahayakan warga Sidoarjo dan Surabaya. Apalagi, temuan tim geologi ITS menyebutkan lumpur Lapindo akan menyebabkan tanah ambles pada radius 14 kilometer dari pusat semburan dalam waktu maksimal 9 tahun mendatang.
Melihat fenomena ini, tentu sangat menarik. Apalagi, sudah banyak usul dan saran, serta berbagai metode telah diberikan oleh para pakar, baik di Indonesia, maupun luar negeri. Tinggal sekarang, menunggu keseriusan pemerintah dan PT Lapindo Brantas. Apakah terus membiarkan persoalan ini terjadi? Atau memilih menghentikan dan menutup semburan lumpur.
Tentunya semua pihak, hanya bisa berharap, agar semburan lumpur segera berakhir, dan masyarakat bisa hidup tenang, tanpa harus dihantui berbagai cerita tentang masa depan Porong dan Sidoarjo