Mau UANG???... Buruan GRATIS Registrasi KLIK DISINI

Jumat, 02 Maret 2012

Lumpur Lapindo, Ibarat Sumur Tanpa Dasar


Korban semburan lumpur Lapindo masih terkatung-katung. Pemerintah yang tidak berani mengambil tindakan tegas semakin membuat masalah ini tidak terselesaikan.

Panen tiba petani desa memetik harapan. Bocah-bocah menari riang di pematang sawah....

Sepenggal kalimat yang ada lirik lagu berjudul Potret Panen dan Mimpi Wereng, ciptaan Iwan Fals, adalah gambaran masa lalu, para petani yang tinggal wilayah kecamatan Jabon, Porong dan Tanggulangin, Sidoarjo. Mereka setiap saat selalu tersenyum menikmati hasil panen di setiap tahunnya.

Kini, sejak tahun 2006 atau 5 tahun lalu, semuanya berubah 180 derajat. Tidak ada lagi kebahagian, tidak ada senda gurau, dan tidak ada saling sapa diantara petani yang tinggal di daerah tersebut. Semuanya hanya disebabkan oleh satu hal, yakni semburan lumpur Lapindo, yang terus menyembur sejak 29 Mei 2006 silam. Semenjak kejadian di sumur Banjar Panji I tersebut, seluruh sawah dan ribuan rumah penduduk, tenggelam oleh "serbuan" lumpur panas Lapindo.

Lima tahun sudah lumpur panas Lapindo, terus menggerus rumah dan persawahan. Seakan tidak pernah berhenti, masyarakat sengaja dikorbankan, hanya untuk proyek yang mungkin belum tentu bisa dinikmati oleh masyarakat sendiri. Hingga kini, sudah tidak terhitung lagi, berapa rumah yang harus tergusur, berapa sawah yang sudah hilang, berapa sekolah yang harus tutup. Dan yang terpenting, bagaimana kehidupan korban lumpur sekarang? apakah jauh lebih baik, atau justru malah sebaliknya?

Lexy Rambadeta mengabadikan perjalanan lima tahun lumpur Lapindo dalam sebuah film dokumenter yang berjudul Waiting for Nothing. Film yang diproduseri sendiri oleh Lexy Rambadeta ini mengangkat kembali persoalan lumpur Lapindo, mulai dari kehidupan sosial korban lumpur hingga persoalan kesehatan dan psikologis mereka.

Film berdurasi 30 menit ini diputar di Universitas Kristen Petra Surabaya sebagai acara pembuka pameran foto Bingkai Lumpur, yang memamerkan karya 10 anak korban lumpur Lapindo. Film yang bercerita tentang kondisi korban lumpur sejak tahun 2006 hingga saat ini telah mengundang berbagai reaksi dari kalangan masyarakat.

Kesam Sutanta misalnya. Mantan saksi ahli kasus lumpur Lapindo Brantas ini mengatakan, persoalan lumpur Lapindo adalah konspirasi besar di negara Indonesia. Meski tidak menunjuk secara langsung aktor-aktor di balik konspirasi ini, Kesam menunjukkan beberapa kejanggalan dalam proses penyelesaian lumpur Lapindo.

Kejanggalan pertama, menurut Kesam, adalah putusan pengadilan atas kasus ini. Kesam menganggap putusan pengadilan soal lumpur Lapindo murni disebabkan oleh bencana alam sebagai keputusan yang aneh dan tidak masuk akal. Apalagi, keputusan itu dibuat saat polisi masih melakukan pemberkasan terhadap pendapat yang dia kemukakan, sebagai saksi ahli.

Yang menjadi kejanggalan kedua adalah tidak adanya sikap tegas dari pemerintah. Merujuk pada  Kepres No 14 Tahun 2007, PT Lapindo Brantas diwajibkan melunasi ganti rugi hingga Desember 2008. Namun, pada kenyataannya, dengan berbagai alasan, PT Lapindo berusaha mengelak dari tanggung jawabnya, seperti apa yang diamanatkan oleh Presiden. Akibatnya, sampai saat ini, sebagian besar korban lumpur, masih belum menerima ganti rugi.

Pemerintah seharusnya bisa mengambil tindakan tegas dengan menuntut PT Lapindo Brantas, karena sikap perusahaan ini sudah bisa dikategorikan melawan pemerintah.

Ekonom Tjuk Sukiadi berpendapat, sikap tidak tegas pemerintah telah menyebabkan kerugian dalam banyak hal, terutama persoalan ekonomi. Tjuk mengatakan, selama lima tahun lumpur Lapindo, perekonomian Jawa Timur sudah dirugikan hingga triliunan rupiah. Kerugian itu mencakup tersendatnya perekonomian di wilayah timur hingga hilangnya mata pencaharian masyarakat yang menjadi korban lumpur Lapindo.

Menurut Tjuk, seharusnya pemerintah ikut memikirkan cara bagaimana perekonomian di Jawa Timur agar cepat pulih. Apalagi, semburan lumpur Lapindo telah membuat seluruh masyarakat terkena imbasnya. Kondisi ini kemudian diperparah oleh sikap pemerintah yang seakan memaksakan kehendak agar warga menerima tawaran dari PT Lapindo Brantas.

“Selama ini korban lumpur sudah terlalu banyak mengalah. Mereka selalu saja menerima apa yang ditawarkan pemerintah dan Lapindo. Tapi ketika korban lumpur menginginkan apa yang menjadi haknya, apakah pemerintah dan Lapindo menurutinya?” ujar Tjuk Sukiadi.

Persoalan Sosial dan Kesehatan

Waiting For Nothing tidak berhenti pada persoalan ekonomi.  Roni Soebagyo, seorang psikiater sempat mengatakan, pertumbuhan anak korban lumpur Lapindo, sangat labil dan tidak baik. Salah satu faktor penyebabnya adalahhilangnya lingkungan tempat tinggal mereka. Anak-anak juga harus kehilangan kesempatan belajar karena sekolahnya yang digusur dan terancam digusur. Mereka juga harus kehilangan teman-teman sebayanya.

Menurut Roni, seharusnya pemerintah dan Lapindo juga harus memikirkan permasalahan ini. Karena bagaimanapun, masa depan anak-anak sangat penting. “Selama berada di tempat pengungsian, anak-anak dipaksa untuk hidup dalam keadaan dewasa. Mereka terkadang harus menyaksikan orang tuanya berhubungan badan karena tidak adanya kamar. Ini yang membuat gangguan dalam perkembangan mereka,” jelas Roni.

Hal yang sangat menyedihkan adalah adanya pengakuan dari beberapa anak korban lumpur Lapindo yang kehilangan orang tuanya akibat bercerai. Tidak sedikit diantara mereka harus bekerja memenuhi kebutuhan keluarga, bahkan sampai harus menjajakan diri demi mengais rupiah.

Permasalahan yang tidak kalah pelik adalah masalah kesehatan. Sutanto, salah satu korban lumpur menceritakan, selama ini pemerintah dan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) tidak pernah memberikan bantuan atau jaminan kesehatan kepada korban lumpur. Kalaupun ada, itu hanya berlaku dalam kurun waktu beberapa bulan pertama sejak lumpur Lapindo meluber.

Data Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jatim menyebutkan, lumpur Lapindo telah membuat jumlah penderita penyakit ISPA meningkat tajam. Untuk tahun 2010 saja, di Puskesmas Porong jumlah penderita ISPA naik menjadi 46 pasien dalam setiap bulan. Padahal sebelumnya, jumlahnya tidak lebih dari sepuluh. Warga Porong dan sekitarnya juga terancam terkena tumor, kanker dan gangguan disfungsi seksual, jika dalam jangka panjang menghirup udara dan mengkonsumsi air di kawasan tersebut.

Direktur Eksekutif Walhi Jatim, Bambang Catur Nusantara menilai Badan Penanggulangan Lumpur Lapindo (BPLS), pemerintah dan PT Lapindo Brantas  telah menyembunyikan fakta sesungguhnya terkait lumpur Lapindo, temasuk soal kondisi lingkungan di kawasan Porong dan sekitarnya, terutama soal kualitas air dan udara.

Menurut Catur, penelitian yang dilakukan Walhi dan Pemprov Jatim menunjukan  adanya kandungan kanmium dan timbal yang melebihi ambang batas kewajaran dan baku mutu.  “Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan No. 907/2002, untuk baku mutu Kadmium idealnya 0,003 dan Timbal sebesar 0,05. Sedangkan di kawasan Porong dan sekitarnya, semuanya melebihi batas tersebut.

Usulan Penghentian Lumpur Ditolak
Saat ini ada satu persoalan yang menjadi pertanyaan semua orang. Sampai kapan lumpur Lapindo akan terus menyembur? Apakah tidak ada cara untuk menghentikannya?

Sudah banyak cara dilakukan untuk menghentikan menutup semburan lumpur, seperti membuang bola-bola beton ke dalam pusat semburan di Sumur Banjar Panji I, melakukan metode relief well, hingga menggunakan teori Bernoulli.

Anggota Tim Nasional Penanganan Lumpur Panas pada saat itu (2006), Rudi Rubiandini mengaku tidak habis pikir dengan penolakan dari PT Lapindo Brantas, terkait cara relief well yang diusulkannya. Padahal dari hitungan matematis, cara ini hanya menghabiskan biaya 50 juta dollar. Jumlah ini tentunya jauh lebih murah dibandingkan ongkos sosial yang harus dikeluarkan selama lima tahun sejak semburan pertamalumpur Lapindo.

Rudi sangat optimistis dengan cara yang ia pilih. Apalagi, metode relief well telah melalui beberapa tahapan uji coba.

Anggota tim peneliti lumpur dari ITS Djaja Laksana mengatakan, persoalan lumpur Lapindo tidak akan selesai jika tidak ada upaya menghentikannya. Djaja juga sependapat dengan Rudi, bahwa usaha untuk menghentikan lumpur tidaklah membutuhkan biaya besar.

Menurut Djaja, jika dibandingkan dengan kerugian Rp 105 triliun selama 5 tahun akibat lumpur Lapindo, ongkos yang dibutuhkan untuk menghentikan lumpur hanya Rp 5 triliun. Dana sebesar itu untuk membangun bendungan lumpur menggunakan teori Bernoulli.

“Selama ini teori Bernoulli terbukti sukses menjinakkan semburan baru di beberapa kawasan. Dengan teori yang sama, kami yakin mampu mengatasinya. Sekarang tinggal kemauan pemerintah dan Lapindo.”

Djaja Laksana khawatir, jika semburan lumpur Lapindo tidak dihentikan, akan sangat membahayakan warga Sidoarjo dan Surabaya. Apalagi, temuan tim geologi ITS menyebutkan lumpur Lapindo akan menyebabkan tanah ambles pada radius 14 kilometer dari pusat semburan dalam waktu maksimal 9 tahun mendatang.

Melihat fenomena ini, tentu sangat menarik. Apalagi, sudah banyak usul dan saran, serta berbagai metode telah diberikan oleh para pakar, baik di Indonesia, maupun luar negeri. Tinggal sekarang, menunggu keseriusan pemerintah dan PT Lapindo Brantas. Apakah terus membiarkan persoalan ini terjadi? Atau memilih menghentikan dan menutup semburan lumpur.

Tentunya semua pihak, hanya bisa berharap, agar semburan lumpur segera berakhir, dan masyarakat bisa hidup tenang, tanpa harus dihantui berbagai cerita tentang masa depan Porong dan Sidoarjo

Daftar PR Pemerintah dari Buruh Migran


Apakah harga seorang pembantu seperti saya ini lebih rendah daripada seekor anjing ya Pak? Bagaimana perasaan Bapak Presiden sebagai pemimpin saya, jika tahu kalau saya, rakyat yang Bapak pimpin diperlakukan lebih rendah daripada anjing?

Rosminah, buruh migran asal Kediri, bertugas merawat lima ekor anjing di Hong Kong. Rosminah tak beruntung. Dia meninggal dunia karena digigit anjing yang dirawatnya. Tragisnya lagi, harian Apple Daily, sebuah media di Hong Kong, menyebutkan bahwa Rosminah diduga bunuh diri dengan cara mengiris pergelangan tangannya saat Mr Jiao, sang majikan, tidak ada di rumah. 

Sepenggal cerita tentang Rosminah, memang sering terdengar. Bisa jadi, ada banyak buruh migran yang mengalami nasib yang lebih buruk dibandingkan dengan apa yang telah menimpa Rosminah. Winfaidah, misalnya. Perempuan yang bekerja di Malaysia ini menderita cacat akibat kekerasan fisik yang sangat parah. Tangannya dipukuli, dadanya disetrika dan jari tangannya dipotong. Winfaidah bahkan diperkosa. Deritanya semakin bertambah, takkala sang majikan membuangnya bagai bangkai anjing di pinggir jalan. 

Cerita tentang buruh migran, yang selama ini dibanggakan sebagai pahlawan devisa, memang sangat beragam. Mulai dari cerita nestapa hingga cerita yang berujung pada kesuksesan. Kisah hidup Nadia Cahyani mungkin bisa dianggap sebagai titik terang. perempuan lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP) ini sekarang memimpin sebuah majalah beroplah 10.000 eksemplar di Hong Kong. 

Warna-warni kisah buruh migran Indonesia di Hong Kong ini dimuat dalam Surat Berdarah untuk Presiden: Suara Hati BMI Hong Kong. Buku yang diterbitkan Lini Jendela ini berisikan pengalaman mereka, sejak pemberangkatan hingga kembali ke tanah air. 

Pipiet Senja, penyunting buku ini, berkesimpulan bahwa buruh migran bisa menjadi kekuatan dahsyat bagi kemajuan bangsa, jika saja diarahkan dengan baik. Sayangnya, pemerintah dan sebagian besar masyarakat masih memandang rendah, meski predikat pahlawan devisa melekat pada diri mereka. 

Surat Berdarah untuk Presiden bisa menjadi catatan tersendiri bagi Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Badan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), Kedutaan Besar RI dan Konsulat Jenderal RI (KJRI) di negara-negara tujuan buruh migran. Banyak sekali masalah buruh migran yang harus ditangani dan diperbaiki tertulis jelas dalam buku ini. 

Salah satu masalah yang menjadi ganjalan besar adalah kontrak mandiri. Secara sepihak, KJRI mencabut peraturan yang sudah disahkan pemerintah Hong Kong ini. Padahal, pemerintah negara lain, seperti Filipina, Srilanka, dan Thailand membebaskan tenaga kerjanya untuk kontrak mandiri. 

Muntamah Cendani memaparkan masalah kontrak mandiri ini dalam suratnya kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. bagi Muntamah, KJRI telah melanggar undang-undang pemerintah Hong Kong di bidang Ketenagakerjaan. 

Permasalahan lain yang sering menimpa buruh migran adalah saat kepulangan mereka dari Hong Kong. Mereka harus menelan pil pahit saat tiba di Terminal 3 Bandara Soekarno Hatta, Jakarta. Petugas yang tidak bertanggung jawab tanpa segan-segan akan memeras mereka. Sarah Rahman, seorang buruh migran asal Malang, Jawa Timur, mengaku pernah dimintai uang sebesar Rp 300.000 oleh supir angkutan yang khusus mengangkut buruh migran.

Tak jarang, para buruh migran ini mengalami pelecehan seksual. Perlakuan tak manusiawi ini hampir dialami Ratu Bilqiz, buruh migran asal Subang. Bilqiz selamat setelah mengaku mengenal Kepala BNP2TKI Jumhir Hidayat kepada supir dan kernet angkutan yang hendak melakukan pelecehan seksual terhadap dirinya. 

Nasib malang lain menimpa Nina, buruh migran asal Majalengka. Dia harus menginap beberapa malam di Bandara Soekarno Hatta karena seluruh barang berharga dan tas kopernya dibawa orang ketika turun dari pesawat.  

Pemerintah Teledor
Pengamat layanan publik dari Universitas Airlangga Surabaya, Gitadi Tegas Supramudyo mengatakan, buku Surat Berdarah untuk Presiden ini semakin membuktikan kalau pemerintah selama ini hanya memanfaatkan buruh migran. 

Selama ini, pemerintah terus menggaungkan semboyan pahlawan devisa dan mencanangkan program satu juta pengiriman tenaga kerja Indonesia. Namun, semuanya tidak diimbangi dengan sistem dan kinerja yang baik, yang harus dijalankan oleh seluruh komponen.

Pemerintah tidak pernah berpikir untuk meningkatkan kemampuan buruh migran yang akan berangkat. "Selama ini pemerintah seperti meremehkan buruh migran yang berprofesi sebagai PRT. Contohnya saja, ketika Perpustakaan KJRI didatangi buruh migran, mereka terkesan tidak ramah. Ini berbeda dengan perpustakaan yang dimiliki pemerintah Hong Kong," kata Gitadi. 

Sekedar catatan, tidak pernah ada andil pemerintah dalam kesuksesan yang dicapai oleh sekian banyak buruh migran. Saat bekerja di Hong Kong, buruh migra, membentuk komunitas di Victoria Park. Mereka berkumpul dan belajar berorganisasi, sekaligus melepas kangen pada kampung halaman. Dari komunitas inilah, para buruh migran, mampu membentuk dirinya sebagai pribadi yang ulet dan kreatif, meski terkadang harus main "petak umpet" dengan sang majikan. 

Ironisnya, kesuksesan mereka sering dimanfaatkan oleh pemerintah melalui kampanye bahwa menjadi kehidupan buruh migran tidak selalu berakhir dengan nestapa. 

Gitadi mengharapkan adanya reformasi kebijakan soal buruh migran. Apalagi, selama ini tidak ada undang-undang dan peraturan daerah yang mampu bersinergi dalam mengatur hak dan kewajiban buruh migran. Salah satunya adalah mengenai  pendidikan bagi buruh migran. Selama ini, buruh migran sering ditipu oleh oknum di KJRI. Mereka sering mendapati ijazah yang dikeluarkan KJRI dinyatakan tidak berlaku bagi pemerintah Hong Kong.  

Surat Berdarah untuk Presiden hanyalah sebagian kecil dari cerita yang dialami buruh migran Indonesia. Tapi inilah gambaran sebenarnya tentang buruh migran. Setidaknya cerita itu mewakili perasaan 135.000 buruh migran yang bekerja di Hongkong, seperti yang dituangkan Kiswatul Mafudhoh, buruh migran asal Purwokerto, Jawa Tengah: 

Wahai Pemimpin Bangsaku, 
Jikalau engkau sungguh-sungguh ingin menjadi pemimpin bangsa, awalilah dengan niat untuk memperjuangkan nasib seluruh rakyatmu. 
Janganlah engkau hanya memikirkan dirimu sendiri, agar terkenal, disegani masyarakat sebagai orang yang tinggi jabatannya.