Mau UANG???... Buruan GRATIS Registrasi KLIK DISINI

Jumat, 02 Maret 2012

Daftar PR Pemerintah dari Buruh Migran


Apakah harga seorang pembantu seperti saya ini lebih rendah daripada seekor anjing ya Pak? Bagaimana perasaan Bapak Presiden sebagai pemimpin saya, jika tahu kalau saya, rakyat yang Bapak pimpin diperlakukan lebih rendah daripada anjing?

Rosminah, buruh migran asal Kediri, bertugas merawat lima ekor anjing di Hong Kong. Rosminah tak beruntung. Dia meninggal dunia karena digigit anjing yang dirawatnya. Tragisnya lagi, harian Apple Daily, sebuah media di Hong Kong, menyebutkan bahwa Rosminah diduga bunuh diri dengan cara mengiris pergelangan tangannya saat Mr Jiao, sang majikan, tidak ada di rumah. 

Sepenggal cerita tentang Rosminah, memang sering terdengar. Bisa jadi, ada banyak buruh migran yang mengalami nasib yang lebih buruk dibandingkan dengan apa yang telah menimpa Rosminah. Winfaidah, misalnya. Perempuan yang bekerja di Malaysia ini menderita cacat akibat kekerasan fisik yang sangat parah. Tangannya dipukuli, dadanya disetrika dan jari tangannya dipotong. Winfaidah bahkan diperkosa. Deritanya semakin bertambah, takkala sang majikan membuangnya bagai bangkai anjing di pinggir jalan. 

Cerita tentang buruh migran, yang selama ini dibanggakan sebagai pahlawan devisa, memang sangat beragam. Mulai dari cerita nestapa hingga cerita yang berujung pada kesuksesan. Kisah hidup Nadia Cahyani mungkin bisa dianggap sebagai titik terang. perempuan lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP) ini sekarang memimpin sebuah majalah beroplah 10.000 eksemplar di Hong Kong. 

Warna-warni kisah buruh migran Indonesia di Hong Kong ini dimuat dalam Surat Berdarah untuk Presiden: Suara Hati BMI Hong Kong. Buku yang diterbitkan Lini Jendela ini berisikan pengalaman mereka, sejak pemberangkatan hingga kembali ke tanah air. 

Pipiet Senja, penyunting buku ini, berkesimpulan bahwa buruh migran bisa menjadi kekuatan dahsyat bagi kemajuan bangsa, jika saja diarahkan dengan baik. Sayangnya, pemerintah dan sebagian besar masyarakat masih memandang rendah, meski predikat pahlawan devisa melekat pada diri mereka. 

Surat Berdarah untuk Presiden bisa menjadi catatan tersendiri bagi Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Badan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), Kedutaan Besar RI dan Konsulat Jenderal RI (KJRI) di negara-negara tujuan buruh migran. Banyak sekali masalah buruh migran yang harus ditangani dan diperbaiki tertulis jelas dalam buku ini. 

Salah satu masalah yang menjadi ganjalan besar adalah kontrak mandiri. Secara sepihak, KJRI mencabut peraturan yang sudah disahkan pemerintah Hong Kong ini. Padahal, pemerintah negara lain, seperti Filipina, Srilanka, dan Thailand membebaskan tenaga kerjanya untuk kontrak mandiri. 

Muntamah Cendani memaparkan masalah kontrak mandiri ini dalam suratnya kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. bagi Muntamah, KJRI telah melanggar undang-undang pemerintah Hong Kong di bidang Ketenagakerjaan. 

Permasalahan lain yang sering menimpa buruh migran adalah saat kepulangan mereka dari Hong Kong. Mereka harus menelan pil pahit saat tiba di Terminal 3 Bandara Soekarno Hatta, Jakarta. Petugas yang tidak bertanggung jawab tanpa segan-segan akan memeras mereka. Sarah Rahman, seorang buruh migran asal Malang, Jawa Timur, mengaku pernah dimintai uang sebesar Rp 300.000 oleh supir angkutan yang khusus mengangkut buruh migran.

Tak jarang, para buruh migran ini mengalami pelecehan seksual. Perlakuan tak manusiawi ini hampir dialami Ratu Bilqiz, buruh migran asal Subang. Bilqiz selamat setelah mengaku mengenal Kepala BNP2TKI Jumhir Hidayat kepada supir dan kernet angkutan yang hendak melakukan pelecehan seksual terhadap dirinya. 

Nasib malang lain menimpa Nina, buruh migran asal Majalengka. Dia harus menginap beberapa malam di Bandara Soekarno Hatta karena seluruh barang berharga dan tas kopernya dibawa orang ketika turun dari pesawat.  

Pemerintah Teledor
Pengamat layanan publik dari Universitas Airlangga Surabaya, Gitadi Tegas Supramudyo mengatakan, buku Surat Berdarah untuk Presiden ini semakin membuktikan kalau pemerintah selama ini hanya memanfaatkan buruh migran. 

Selama ini, pemerintah terus menggaungkan semboyan pahlawan devisa dan mencanangkan program satu juta pengiriman tenaga kerja Indonesia. Namun, semuanya tidak diimbangi dengan sistem dan kinerja yang baik, yang harus dijalankan oleh seluruh komponen.

Pemerintah tidak pernah berpikir untuk meningkatkan kemampuan buruh migran yang akan berangkat. "Selama ini pemerintah seperti meremehkan buruh migran yang berprofesi sebagai PRT. Contohnya saja, ketika Perpustakaan KJRI didatangi buruh migran, mereka terkesan tidak ramah. Ini berbeda dengan perpustakaan yang dimiliki pemerintah Hong Kong," kata Gitadi. 

Sekedar catatan, tidak pernah ada andil pemerintah dalam kesuksesan yang dicapai oleh sekian banyak buruh migran. Saat bekerja di Hong Kong, buruh migra, membentuk komunitas di Victoria Park. Mereka berkumpul dan belajar berorganisasi, sekaligus melepas kangen pada kampung halaman. Dari komunitas inilah, para buruh migran, mampu membentuk dirinya sebagai pribadi yang ulet dan kreatif, meski terkadang harus main "petak umpet" dengan sang majikan. 

Ironisnya, kesuksesan mereka sering dimanfaatkan oleh pemerintah melalui kampanye bahwa menjadi kehidupan buruh migran tidak selalu berakhir dengan nestapa. 

Gitadi mengharapkan adanya reformasi kebijakan soal buruh migran. Apalagi, selama ini tidak ada undang-undang dan peraturan daerah yang mampu bersinergi dalam mengatur hak dan kewajiban buruh migran. Salah satunya adalah mengenai  pendidikan bagi buruh migran. Selama ini, buruh migran sering ditipu oleh oknum di KJRI. Mereka sering mendapati ijazah yang dikeluarkan KJRI dinyatakan tidak berlaku bagi pemerintah Hong Kong.  

Surat Berdarah untuk Presiden hanyalah sebagian kecil dari cerita yang dialami buruh migran Indonesia. Tapi inilah gambaran sebenarnya tentang buruh migran. Setidaknya cerita itu mewakili perasaan 135.000 buruh migran yang bekerja di Hongkong, seperti yang dituangkan Kiswatul Mafudhoh, buruh migran asal Purwokerto, Jawa Tengah: 

Wahai Pemimpin Bangsaku, 
Jikalau engkau sungguh-sungguh ingin menjadi pemimpin bangsa, awalilah dengan niat untuk memperjuangkan nasib seluruh rakyatmu. 
Janganlah engkau hanya memikirkan dirimu sendiri, agar terkenal, disegani masyarakat sebagai orang yang tinggi jabatannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar