Mau UANG???... Buruan GRATIS Registrasi KLIK DISINI

Rabu, 08 Juni 2011

Luka Lapindo di Keluarga Purwaningsih


Lumpur Lapindo tak hanya menenggelamkan Sidoarjo. Membakar harapan dan kehidupan.

Suara berderit mengiringi upaya Purwaningsih turun dari dipan. Dengan kedua kaki diperban, perempuan 52 tahun ini akhirnya berhasil turun dari dipan, sekadar untuk melepas penat.

Purwaningsih adalah korban ledakan gas metan lumpur Lapindo di Desa Siring, Porong, , Sidoarjo, 7 September 2010. Hingga hampir setahun penderitaan Purwaningsih belum berakhir. Luka bakarnya masih sekitar 70 persen. Devi Purbawiyata, 22 tahun, sang anak, yang mengalami luka bakar serius, saat ini tinggal menjalani fase pemulihan kulit.

Purwaningsih capek berada di dalam kamar setiap hari di rumahnya di Jalan WR Supratman 3, RT 7 RW 2, Desa Gedang, Kecamatan Porong. Namun, ia tidak berdaya. Luka bakarnya belum juga pulih. Jangankan untuk berjalan, untuk berdiri saja, bisa dipastikan darah akan mengucur dari luka bakar di kedua kakinya. 

Akibatnya, selama delapan bulan ini dia tidak pernah mandi. Segala aktivitas dasar dilakukan di atas ranjang, dari makan, minum, hingga buang air besar.

Satu-satunya yang menguatkan adalah perhatian dan kesetiaan Devi dan Hardi Wiyoto, suaminya. Keduanya tidak lelah merawat Purwaningsih. "Saya bersyukur memiliki suami dan anak yang setia merawat. Ini berkat yang luar biasa dari Tuhan," ujar Purwaningsih.

Janji Pemerintah
Pengobatan yang harus dijalani Purwaningsih tidak mudah. Ia harus rutin mengontrol kondisi luka bakar di kedua kakinya. Di antaranya dua minggu sekali rawat jalan di Rumah Sakit Vincentius A Paulo, Surabaya.

Biaya yang dikeluarkan pun tidak sedikit. Sekali rawat jalan, harus mengeluarkan Rp 500 ribu hingga Rp 700 ribu. Angka yang terbilang sangat besar bagi keluarga Purwaningsih, karena suaminya tidak bekerja lagi setelah usaha toko sembako mereka pailit pada tahun 2007.

Ongkos rawat jalan itu memang masih terbilang lebih murah, dibandingkan saat harus menjalani operasi di Rumah Sakit Vincentius A Paulo. Purwaningsih harus menjalani operasi tiga kali dengan biaya sekitar Rp 60 Juta.

Untuk memenuhi biaya operasi, keluarga Purwaningsih menggadaikan sertifikat rumah sebesar Rp 50 juta. Itu pun masih kurang. Namun, Purwaningsih bersyukur, karena kekurangan biaya operasi dan pengobatan dibantu jemaat gereja dan masyarakat yang peduli.

Purwaningsih mengaku geram terhadap Pemerintah Kabupaten Sidoarjo, Pemeintah Provinsi Jawa  Timur, dan Badan Pelaksana Lumpur Sidoarjo. Sebab, ketiga instansi tersebut ingkar janji. Wakil Gubernur Saifullah Yusuf, misalnya, berjanji menanggung seluruh biaya pengobatan hingga sembuh. Namun, kenyataannya Purwaningsih dipaksa pulang oleh Rumah Sakit Daerah Sidoarjo sebelum sembuh.

Purwaningsih menjalani perawatan di rumah sakit milik pemerintah itu selama 35 hari. Namun, dengan pelayanan buruk. Bahkan, dia disuruh pulang dengan alasan luka bakar mulai membaik. Padahal, menurut Purwaningsih, sebenarnya pihak rumah sakit mengaku tidak bisa terus merawat karena biaya pengobatan sudah dihentikan oleh pemerintah dan BPLS. 

"Dengan menahan luka bakar yang masih sakit, saya dipaksa meninggalkan rumah sakit. Marah sekali rasanya saat itu," tuturnya.

Melihat kondisi kesehatan dan keluarganya, Purwaningsih masih berharap pemerintah menepati janji membiayai pengobatan dirinya. Dia meminta suami dan anaknya menemui Bupati Sidoarjo Saiful Illah dan Wakil Gubernur Saifullah Yusuf.

Purwaningsih masih berharap pemerintah mau mendengar jeritannya. Apalagi saat ini seluruh kehidupan keluarganya menjadi tanggungan tetangga, jemaat gereja, serta masyarakat yang peduli. Terlebih sejak sang suami mengalami kecelakaan yang hampir merenggut nyawa. Sang anak pun drop out dari Universitas Surabaya akibat kondisi ekonomi keluarga yang terus memburuk.

Malam Petaka
Purwaningsih masih mengingat dengan jelas petaka 7 September 2010. Malam itu dia bersama suami dan anaknya sedang menonton televisi sembari menunggu pembeli di warung makannya.

Tiba-tiba api menyambar dan membakar rumah, setelah muncul bau gas metan yang menyengat. Api menyambar tubuh Purwaningsih yang berada di warung. Devi pun tak luput dari jilatan api. Hardi sedikit beruntung, karena bisa menyelamatkan diri dengan masuk ke bak mandi.

Purwaningsih terkapar dengan tubuh dan pakaian ludes terbakar. Dengan sisa tenaga dia berteriak minta tolong. Jeritannya didengar Suparno, tetangga, yang kemudian menolong membawa Purwaningsih ke rumah sakit di Sidoarjo.

Selain rumah Purwaningsih, api juga membakar dua rumah tetangga, Okki Andrianto dan Suncono. Bubble atau pusat semburan air lumpur bercampur gas metan pun membara. Petugas pemadam kebakaran dan ahli gas yang didatangkan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo kewalahan memadamkan bubble yang terbakar.

Lokasi rumah yang terbakar dengan pusat semburan lumpur Lapindo Brantas berjarak sekitar 1 kilometer. Desa Siring Barat berada di barat tanggul atau Jalan Raya Porong. Meski tidak terdampak langsung lumpur Lapindo, warga setiap hari dihantui ketakutan akan ledakan gas lumpur Lapindo. Apalagi perkampungan penduduk Siring Barat sudah dikepung bubble gas metan.

Kini Purwaningsih hanya bisa berharap luka bakarnya segera sembuh dan dia bisa kembali bekerja. Setidaknya bisa memulai usaha warung makan yang dulu  menjadi penopang kehidupan keluarganya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar