Mau UANG???... Buruan GRATIS Registrasi KLIK DISINI

Jumat, 07 Januari 2011

Mangrove, tak Sekedar Kayu


Mangrove berguna bagi kesehatan manusia. Namun, keberadaannya terancam, seiring 80 % lahannya dikuasai pengembang.

Matahari bersinar terang, saat Mohson, koordinator petani mangrove Wonorejo Surabaya, menyusuri jalan setapak yang ada di kawasan itu. Dengan bekal, sebuah gunting, keranjang dan capit (jepitan) yang terbuat dari bambu, ia siap memanen Acanthus Ilicifolius Linn (Daruju), Brugulera Gymnorhiza dan Sonneratia Caseolaris (bogem). Ketiganya adalah jenis mangrove yang ada di Pantai Timur Surabaya (Pamurbaya), khususnya Wonorejo.

Pria kelahiran Bojonegoro, 49 tahun silam ini, tidak sendiri. Ia ditemani oleh keempat “pasukannya”, yang juga siap untuk memanen beberapa jenis Mangrove di daerah tersebut.

Bagi sebagian orang, mungkin Mangrove tidak memiliki manfaat apapun, kecuali kayunya. Namun, bagi Mohson atau yang lebih akrab dipanggil Sony ini, Mangrove adalah merupakan sebuah anugrah yang harus dimanfaatkan sebaik mungkin. Karena itulah, ia pun mencanangkan gerakan ayo memetik Mangrove dan bukan malah menebangnya.


Manfaat Mangrove
Menurut Muhson, Mangrove sebenarnya bisa digunakan untuk berbagai macam manfaat. Salah satunya adalah untuk obat herbal, teh, sirup hingga dijadikan beras, yang bisa digunakan untuk makan sehari-hari.

Muhson mencontohkan, Acanthus Ilicifolius Linn (Daruju). Tanaman ini jika diolah dengan baik, memiliki khasiat untuk menyembuhkan penyakit kanker, hepatitis akut dan kronis, serta pembesaran limpa, TBC kelenjar, parotitis, asma dan nyeri lambung, sakit dan luka terkena racun anak panah. Sedangkan bagi anak kecil, Daruju bisa digunakan sebagai obat cacing.

Sedangkan, tanaman Brugulera Gymnorhiz, yang mengandung tanin, dapat menyembuhkan sakit perut. Namun, untuk penggunaannya harus ekstra waspada, karena jika dipakai dalam jumlah banyak justru akan menjadi racun.

Tanaman jenis ini, oleh Muhson, digunakan bahan alternatif tepung dan beras. Tidak itu saja, Brugulera Gymnorshiz juga bisa digunakan sebagai bahan alternatif pembuatan kerupuk dan cireng. Muhson juga memanfaatkan Sonneratia Caseolaris (bogem), sebagai sirup mangrove dan jenang ( makanan ringan khas Jawa).

Untuk menjadikan beberapa jenis tumbuhan yang hidup di kawasan Mangrove Wonorejo, bukan persoalan mudah. Muhson, harus belajar bertahun-tahun, sebelum akhirnya mampu menguasai, segala jenis tumbuhan Mangrove dan manfaatnya.

Sebelum dibuat menjadi berbagai macam makanan, minuman dan obat, Muhson bekerja sama dengan Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya (ITS), untuk meneliti kandungan zat yang ada di masing-masing tanaman Mangrove.

Proses pembuatan Mangrove menjadi makanan, minuman dan obat, secara umum tidak sulit. Karena tinggal dipilah, dirajang (diiris), dan dijemur hingga kering, sebelum akhirnya diproses lebih lanjut. Soal bahan-bahan tambahan, biasanya Muhson akan memberinya sesuai dengan selera dan permintaan.

“ Bahan yang pasti diperlukan adalah gula, tepung atau vanili. Sedangkan yang lainnya, sesuai dengan kebutuhan,” ujar Muhson.

Hasil olahan yang dibuat dari berbagai macam tumbuhan Mangrove, tidak berbeda jauh dari makanan atau minuman lain. Hanya saja, Muhson berani menjamin, olahan Mangrove miliknya, bebas dari pestisida dan zat-zat kimia lainnya.

Kelompok Tani Mangrove
Untuk bisa menjadi seperti saat ini, Muhson mengaku butuh perjuangan keras. Ia mulai bergerak untuk menyelamatkan Mangrove di Pamurbaya, sejak tahun 1998. Perjuangan terberatnya adalah bagaimana menyadarkan masyarakat, akan pentingnya Mangrove bagi ekosistem dan kehidupan.

Berbagai macam cobaan terus dijalani dan dihadapi Muhson, sampai akhirnya ia berhasil membentuk Kelompok Tani Mangrove Wonorejo. Saat ini anggota kelompok tani tersebut, sudah mencapai kurang lebih seratus orang. Namun untuk anggota aktif, hanya berkisar antara 20 hingga 30 orang.

Dari kelompok tani itu, berkat keteguhan dan kekuatan Mohson, mereka pun berhasil membentuk koperasi, yang diberi nama Koperasi Mina Mangrove Sejahtera. Koperasi ini, didirikan untuk kesejahteraan para nelayan maupun petani mangrove di Wonorejo.

Muhson mengatakan, hasil karya Kelompok Tani Mangrove baru mendapat pengakuan dan sertifikasi dari Departemen Kesehatan di tahun 2007. Padahal, Muhson dan kelompok taninya, sudah mulai memproduksi sirup dan teh Mangrove sejak tahun 2004.

Semenjak mendapat pengakuan dari Departemen Kesehatan, hasil karya Muhson pelan namun pasti mulai dikenal di pelosok negeri. Bahkan, ia juga selalu diberi kesempatan untuk memamerkan hasil karyanya di beberapa kegiatan, seperti pameran home industri.

Badai Menghantam
Pepatah kata yang berbunyi semakin tinggi pohon, akan semakin kencang angin yang meniupnya, tampaknya berlaku pula pada Muhson. Ia mendapatkan banyak cobaan dan ujian dari beberapa kelompok masyarakat yang tidak suka dengan sepak terjangnya. Mulai dari lurah, camat hingga beberapa pejabat lainnya.

Selain mendapat fitnahan dari beberapa kelompok masyarakat, hingga sabotase dari lurah dan camat. Muhson juga mendapat ujian dari Institut Sepuluh November Surabaya (ITS) yang mengklaim sirup mangrove sebagai karya milik mereka.  

Peristiwa itu diketahui oleh Muhson, setelah dirinya mendapatkan kabar dari Dinas Kesehatan soal adanya mahasiswa ITS yang mendaftarkan sirup mangrove sebagai hasil karya mereka.

Kejadian yang berlangsung di tahun 2008 itu, membuat Muhson mengambil langkah untuk mensomasi kampus perjuangan itu. Tujuan dari somasi tersebut adalah meminta kepada ITS untuk mencabut pernyataannya, soal sirup mangrove.

“ Somasi itu bukan bertujuan apa-apa. Kami hanya meminta supaya ITS mencabut pernyataannya,” terang Muhson.

Pasca melewati dua cobaan itu. Muhson mengaku masih ada satu pekerjaan rumah lagi yang harus diselesaikan. Yakni, terus memberikan pelatihan dan pendampingan terhadap para nelayan dan petani mangrove.

Hal ini dinilai Muhson sangat penting, karena sekitar 80 % dari luas 2400 hektare Mangrove, lahannya sudah dikuasai oleh pengembang. Sedangkan sisanya, 15 % dimiliki oleh perseorangan yang bukan penduduk asli Wonorejo. Dan hanya 5 % saja, yang masih menjadi milik warga pribumi.

Muhson tidak mengetahui secara pasti sampai kapan Mangrove bisa bertahan. Karena itulah, sebelum semuanya berubah fungsi. Muhson ingin meninggalkan ilmu bagi masyarakat. Sama seperti yang ia canangkan selama ini, yakni Mari Memetik Mangrove, dan Jangan Menebangnya.(red)

  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar