Terapi psikologi. Anak-anak terjebak trauma.
Irsyad sibuk mengeluarkan perangkat gamelan dari rumahnya. Di pelataran rumah beberapa anak-anak usia SD tak kalah sibuk menggunting koran dan karton warna warni.
Sejak Januari 2009 Irsyad mendirikan sanggar Al Faz. Sanggar ini menjadi alternatif sarana belajar sekitar 30 anak-anak korban lumpur Lapindo Brantas. Disini anak-anak belajar seni musik, tari, dan bahasa Inggris. Semuanya gratis.
Menurut Irsyad, ide mendirikan sanggar muncul karena prihatin melihat kondisi anak-anak korban Lapindo. Psikologi anak korban Lapindo terganggu karena harus tinggal di pengungsian atau kehilangan teman karena pindah ke lain desa. Sedangkan perhatian orang tua fokus pada perjuangan mendapatkan ganti rugi yang belum selesai hingga hari ini.
Setelah lahan pertanian habis ditenggelamkan lumpur, para orang tua sibuk mencari pekerjaan baru. Akibatnya anak kurang perhatian dan terpaksa menyelesaikan masalah sosialnya sendiri.
Irsyad yang tidak punya pekerjaan, nekat mendirikan sanggar sebagai tempat belajar dan bermain anak-anak korban Lapindo. Satu tahun setelah berdiri, Sanggar Al Faz mulai mendapat bantuan buku, perangkat gamelan, dan beberapa alat kesenian.
Belajar Melupakan Lapindo
Dewi bergabung bersama Sanggar Al Faz untuk menyalurkan hobi menari. Tapi yang utama, bermain bersama teman-teman sebayanya. ”Dengan aktif di sanggar, saya belajar banyak hal,” kata Dewi.
Dewi tinggal di Desa Besuki Timur. Tak jauh dari tanggul penahan lumpur. Dia mengaku sering ketakutan karena tanggul langganan bocor dan longsor.
Desa Besuki Timur bakal terisolasi. Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo berencana membangun tanggul baru di Desa Besuki, Pejarakan, dan Siring yang menutup akses jalan menuju Jalan Raya Porong.
Agus anak korban Lapindo, mengaku mendapat banyak manfaat bergabung bersama Sanggar Al Faz. Agus dulu dikenal pemurung. Agus kehilangan kawan karena banyak yang pindah ke desa lain akibat semburan lumpur.
Menurut Slamet, sejak lumpur Lapindo meneggelamkan desa-desa di Porong anaknya berubah menjadi pendiam. Agus jadi jarang bergaul dan lebih banyak mengurung diri di rumah. Perangai Agus membaik setelah bergabung dengan Sanggar Al Faz.
”Meski kami masih diliputi rasa was-was, perubahan Agus membuat kami bahagia,” ujar Slamet.
Sanggar Al Faz bertahan karena ketekunan dan kesabaran Irsyad. Ketika pertama kali berdiri, sanggar ini belum memiliki buku bacaan atau perangkat bermain anak lainnya.
Irsyad yang bekerja serabutan tidak memiliki modal melengkapi sanggar. Pelan-pelan dia mulai mengumpulkan buku sumbangan dari beberapa kawan dan donatur. Sanggar Al Faz kini memiliki perpustakaan kecil di ruang tamu rumah Irsyad.
”Ini dari sumbangan kawan dan donatur. Sanggar ini mulai maju memberikan pelatihan komputer, seni tari, musik, hingga bahasa inggris kepada anak-anak,” kata Irsyad.
Sekitar 75 anak bergabung ketika Sanggar Al Faz ketika pertama kali berdiri. Kegiatan belajar dan bermain digelar tiap sore di teras rumah Irsyad.
Kegiatan Irsyad ternyata tidak disetujui beberapa guru dari sekolah di sekitar desa. Mereka melarang muridnya ikut kegiatan sanggar dengan alasan mengganggu pelajaran.
”Imbas dari peristiwa itu jumlah anak yang ikut Sanggar Al Faz mulai menurun. Hingga akhirnya yang bertahan tinggal 30 siswa.”
Selain sebagai tempat bermain, Sanggar Al Faz yang terletak di Desa Besuki Timur, Kecamatan Jabon ini, juga menjadi tempat pertemuan warga korban Lapindo. Di sanggar ini korban Lapindo menggelar diskusi tiap dua minggu sekali.
Diskusi tidak hanya terkait persoalan lumpur Lapindo. Masalah kesehatan dan pendidikan juga dibahas. Selain mengumpulkan warga, Irsyad mengundang lurah atau camat untuk berdialog.
Irsyad berharap sanggar memiliki bangunan sendiri tidak menumpang di rumahnya. ”Biar siswa lebih bebas mengekspresikan apa yang mereka impikan.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar