Warta Jatim, Surabaya - Keberadaan wayang potehi sangat memprihatinkan. Di Surabaya, praktis hanya Klenteng Hong Tik Hian di Jalan Dukuh yang masih rutin menggelar wayang khas Tiongkok ini. Itu pun, nyaris tanpa penonton.
Menurut Mulyanto, anggota tim Merpati Lima yang bertugas memainkan wayang potehi,
saat ini sulit mencari orang, khususnya generasi muda, yang suka wayang potehi. Meski demikian, tidak menyurutkan niatnya untuk mementaskan wayang potehi.
Cerita yang ditampilkan dalam pementasan wayang potehi fleksibel, dapat mengikuti perkembangan dan situasi terkini. Dalam sehari dapat berlangsung tiga kali pementasan wayang potehi. Tidak jarang hanya sekali pertunjukan dalam sehari dan sepi penonton.
“Jika memasuki musim Imlek dan hari dewa di klenteng ini, pementasan bisa berlangsung tiga kali, dengan durasi dua jam per penampilan. Sepi atau ramai penonton, setiap hari kami pasti pentaskan wayang potehi,” ujar Mulyanto.
Perlu perjuangan keras untuk mempertahankan eksistensi wayang potehi. Apalagi, pada masa Orde Baru hampir semua kesenian asal China seperti dipasung.
Kini tim Merpati Lima menargetkan membentuk generasi penerus untuk melestarikan wayang potehi. Tidak peduli dari etnis Tionghoa ataupun bukan. “Tim Merpati Lima sebagian besar etnis Jawa dan beragama Islam. Soal seni, tidak bisa dibatasi oleh apa pun, termasuk etnis dan agama,” kata Mulyanto.
Potehi merupakan wayang boneka dari kain. Wayang ini perbaduan kesenian Tionghoa dan Indonesia. Potehi berasal dari kata poo (kain), tay (kantung), dan hie (wayang). Diperkirakan jenis kesenian ini sudah ada pada masa Dinasti Jin pada abad ke 3-5 Masehi dan berkembang pada Dinasti Song di abad 10-13 Masehi. Wayang Potehi masuk ke tanah air melalui orang-orang Tionghoa sekitar abad 16 – 19 saat belum terbentuk negara bernama Indonesia. (red)
Menurut Mulyanto, anggota tim Merpati Lima yang bertugas memainkan wayang potehi,
saat ini sulit mencari orang, khususnya generasi muda, yang suka wayang potehi. Meski demikian, tidak menyurutkan niatnya untuk mementaskan wayang potehi.
Cerita yang ditampilkan dalam pementasan wayang potehi fleksibel, dapat mengikuti perkembangan dan situasi terkini. Dalam sehari dapat berlangsung tiga kali pementasan wayang potehi. Tidak jarang hanya sekali pertunjukan dalam sehari dan sepi penonton.
“Jika memasuki musim Imlek dan hari dewa di klenteng ini, pementasan bisa berlangsung tiga kali, dengan durasi dua jam per penampilan. Sepi atau ramai penonton, setiap hari kami pasti pentaskan wayang potehi,” ujar Mulyanto.
Perlu perjuangan keras untuk mempertahankan eksistensi wayang potehi. Apalagi, pada masa Orde Baru hampir semua kesenian asal China seperti dipasung.
Kini tim Merpati Lima menargetkan membentuk generasi penerus untuk melestarikan wayang potehi. Tidak peduli dari etnis Tionghoa ataupun bukan. “Tim Merpati Lima sebagian besar etnis Jawa dan beragama Islam. Soal seni, tidak bisa dibatasi oleh apa pun, termasuk etnis dan agama,” kata Mulyanto.
Potehi merupakan wayang boneka dari kain. Wayang ini perbaduan kesenian Tionghoa dan Indonesia. Potehi berasal dari kata poo (kain), tay (kantung), dan hie (wayang). Diperkirakan jenis kesenian ini sudah ada pada masa Dinasti Jin pada abad ke 3-5 Masehi dan berkembang pada Dinasti Song di abad 10-13 Masehi. Wayang Potehi masuk ke tanah air melalui orang-orang Tionghoa sekitar abad 16 – 19 saat belum terbentuk negara bernama Indonesia. (red)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar