Tanpa banyak koar. Orang biasa bertindak luar biasa.
Caherudin jawara Betawi. Jagoan Pesanggrahan. Kumis baplang, akik besar, dan akar bahar. Siapa berani nyowel nih orang?
Chaerudin bukan jawara sembarangan. Bukan jagoan asal main pukul serampangan. Juga pantang main golok buat bikin ciut nyali orang. “Bahasa gua, kalau jawara mukul, orang bukan mati klenger tapi bagaimana bisa jadi sahabat. Itu namanya jawara. Sabar, ulet, berani. Jangan baru dikatain orang terus marah,” kata Chaerudin dengan logat Betawi klotokan.
Bang Idin, begitu dia biasa disapa, tinggal di pinggiran Kali Pesanggrahan, Karang Tengah, Cilandak, Jakarta Selatan. Saban hari aktivitasnya tak jauh jauh dari Kali Pesanggrahan. Mulai membersihkan sampah hingga menebar bibit ikan.
Perjuangan menjaga Kali Pesanggrahan dilakoni Bang Idin sejak 15 tahun lalu. Menaiki gedebong pisang, disusurinya kali sejauh 38 kilometer itu. “Sungai bukan tempat buang sampah. Bukan tempat tinja dari gedung-gedung. Sungai tempat memahami kehidupan,” kata Idin di empang bantaran Sungai Pesanggrahan, minggu lalu.
Idin ngebongkar cara pikir orang kebanyakan tentang sungai. Limbah rumah tangga dan pabrik diolah di empang-empang untuk pemancingan, sebelum dibuang ke sungai. Bantaran sungai kembali ditanami pohon. Bibit ikan dilepas berkala, untuk memperkaya biota sungai.
Manajemen kearifan alam. Konsep konservasi alam ini yang diimani Bang Idin bertahun-tahun.
Konservasi alam yang melihat lingkungan sebagai sumber hidup. Tidak hanya ditangani secara arif, tapi juga penuh komitmen. Bagi Bang Idin, penyelamatan lingkungan nggak butuh banyak cingcong. Solusi harus diwujudkan dalam tindakan, bukan hanya kesimpulan seminar.
“Jalan keluarnya, dong. Kita bosen dengan pasal-pasal, begono-begini. Apaan itu? Kerjanya kagak ada. Masalah lingkungan bukan masalah sampah doang, melainkan masalah kehidupan,” ujarnya.
Bang Idin terkenal keras. Dia doyan “ribut” dengan masyarakat yang semaunya membuang sampah di kali. Sampah yang dibuang ke sungai, dia pulangin dengan digantung di pagar rumah orang yang membuang sampah. Bau tak sedap mengepung kampung.
Bang Idin nggak takut harus berhadapan dengan pemerintah. Badan Pertanahan Nasional (BPN) paling sering kena semprot. Banyak sertifikat tanah yang dikeluarkan BPN ngaco karena luasnya sampai ke pinggir Kali Pesanggrahan.
Menurut Bang Idin, masyarakat “gedongan” itu punya dasar hukum membangun rumah sampai pinggir kali. Namun, buat dia, tanah bukan hanya milik orang berduit. “Coba dipikir. Ada sertifikat sampai kali, siapa yang buat? BPN, kan? Siapa yang bayar? Orang kaya, kan? Yang salah siapa? Semuanya gila,” katanya.
Ketika mengajak orang menjaga sungai, Bang Idin tidak menggurui. Dia lebih banyak mendongeng soal Pangeran Jayakarta dan Si Jampang yang selalu mengedepankan kepentingan masyarakat.
“Bagaimana pemahaman kita. Alam ini punya kita semua. Bukan punya negara atau pemerintah. Ini punya kita,” katanya.
Hukum buat Bang Idin bukan cuma pasal tersurat di atas kertas, hukum yang bisa “dibeli” demi kepentingan pribadi. Menghadapi alam bukan dengan cara jual-beli. Sebab, “SK” penyelamatan lingkungan berasal dari langit, bukan dari orang berduit.
“Gua bilang, jangan mengotori sungai. Kalau sungai lu kotori, yang kena dampaknya lu juga. Kalau banjir, jangan disalahin kali. Emang kitanya kurang ajar. Itu yang tersirat. Dampaknya ke kita-kita juga. Alam akan ngamuk. Alam ini bukan warisan nenek moyang, melainkan titipan anak cucu. Titipan. Dan harus dirawat,” ujarnya.
Sersan Perang Sampah
Lahan pembuangan sampah akhir di Benowo, Surabaya, diprediksi membeludak pada tahun 2014. Jika tidak ada inovasi mengolah sampah, Kota Pahlawan tidak akan memiliki ruang untuk membuang sampah.
Di tangan Mbah Tampi, sampah menjadi berkah. Pensiunan TNI Angkatan Laut berpangkat sersan satu ini mulai melakoni “operasi penyelamatan” sampah sejak 1989. Misinya cuma satu: tidak menambah persoalan di bumi.
Tampi tidak sedang melakukan operasi militer. Tidak juga memanggul bedil. Pengalaman tugas di Timor Timur dan Irian Jaya, tinggal masa lalu. Kini, perjuangannya membersihkan jalanan dari sampah. Mendorong gerobak sampah dari rumah ke rumah.
Sampah yang dikumpulkan dipilah. Setelah 14 tahun, rumahnya di Kelurahan Genting, Surabaya, jadi tempat penampungan sampah. “Ini tugas berat bagi kami. Sekadar mensosialisasikan persoalan sampah saja, banyak masyarakat yang menentang. Tapi, seiring dengan waktu, semuanya bisa berjalan lancar,” kata Mbah Tampi.
Sampah non-organik kemudian dijual ke salah satu pabrik daur ulang. Beberapa tahun kemudian pabrik pengolah sampah menolak hasil pulungan Mbah Tampi. Dia putar otak mencari cara agar sampah dapat dimanfaatkan.
Sampah organik dijadikan pupuk, sedangkan sampah non-organik masih dicarikan solusi.
Tahun 2003 Tampi menemukan cara mengolah sampah non-organik menjadi botem, batako berbahan sampah plastik. Metode ini dipelajarinya secara autodidak.
Botem berukuran panjang 30 cm dan lebar 12,5 cm, dicetak dalam keadaan basah. Sampah plastik kemudian dijejalkan ke lubang di tengah botem. “Sampah yang tidak bisa didaur ulang dimasukkan ke tengah-tengah botem yang dilubangi. Sebelumnya sampah diikat kuat dalam tas kresek besar,” ujarnya.
Hasil “gerilya” Mbah Tompi mampu mengurangi jumlah sampah yang disetor ke pembuangan sampah akhir Benowo. Untuk 1.000 botem setidaknya membutuhkan 50 meter kubik sampah.
Satu botem kini dijual Rp 1.250. Mbah Tampi mengklaim batako botem tahan panas dan kedap air. “Banyak yang berminat. Terutama masyarakat yang tinggal di kawasan Wonokusumo, yang dekat dengan laut,” tuturnya.
Kini hasil penjualan botem mampu menghidupi Yayasan Among Putra, yang mengelola TK dan play group. Para wali murid mulai sadar mengumpulkan dan mengolah sampah kering untuk dijual bersama.
“Jika kita biarkan sampah di mana-mana, ini membahayakan kesuburan tanah. Mari kita jaga kebersihan lingkungan masing-masing, atau minimal membuang sampah pada tempatnya,” kata Mbah Tampi.
Perjuangan Gila Sariban
Pukul 8 pagi. Sariban mengayuh sepeda ke arah pusat Kota Bandung. Dua keranjang besar nyantel di sisi sepeda. Menjelang tengah hari, sang kakek pulang untuk makan di rumahnya di Gang Cikondang Nomor 30, Sadangserang, Bandung.
Selepas lohor dia kembali bekerja hingga hampir magrib. “Sampah yang saya bersihkan, saya bawa ke tempat penampungan sampah di pasar,” kata Sariban.
Ketika masih dinas di RS Cicendo Bandung tahun 1983, Sariban mulai membersihkan sampah di jalan umum. Kegiatan ini dipengaruhi pekerjaannya semasa kecil, mencabuti rumput untuk pakan sapi. Setelah pensiun, Sariban mendedikasikan waktunya menjadi relawan pembersih sampah.
Seragam kuning dengan caping bertuliskan “Iban dari Bandung” jadi ciri khas Sariban saat bekerja. Di pusat keramaian, Sariban “mengusik” warga melalui pengeras suara, mensosialisasikan pentingnya menjaga kebersihan.
Warga mulai risih. Berisik. Sariban dicap sinting.
Tebal muka senjata pamungkas Sariban. Jari-jari keriputnya hingga kini masih setia memunguti sampah di Jalan Pahlawan, Kota Bandung. Keinginannya menjadikan jalan itu sebagai jalan percontohan lingkungan, terus meletup. “Saya bercita-cita menjadikan Jalan Pahlawan Lingkungan Hidup Iban. Indah, bersih, aman, dan nyaman,” katanya.
Bagi Sariban, kebersihan bagian dari iman. Tak cukup memunguti sampah, dia juga mencabuti paku yang “melukai” pohon-pohon di sepanjang Jalan Pahlawan. “Kasihan,” katanya.
Empat belas karung paku seberat 1 ton kini terkumpul di rumahnya. Tidak untuk dijual. Jika sudah tidak mampu menjadi relawan, Sariban akan menyerahkan paku-paku dan sepedanya kepada Pemerintah Kota Bandung untuk dimasukkan museum.
“Saya ingin ada demo besar-besaran. Bukan demo rusuh, melainkan kampanye serentak seluruh warga memunguti sampah. Mudah-mudahan tahun depan saya bisa sampaikan ke Pak Dada Rosada (Wali Kota Bandung),” kata Sariban.(red)
Caherudin jawara Betawi. Jagoan Pesanggrahan. Kumis baplang, akik besar, dan akar bahar. Siapa berani nyowel nih orang?
Chaerudin bukan jawara sembarangan. Bukan jagoan asal main pukul serampangan. Juga pantang main golok buat bikin ciut nyali orang. “Bahasa gua, kalau jawara mukul, orang bukan mati klenger tapi bagaimana bisa jadi sahabat. Itu namanya jawara. Sabar, ulet, berani. Jangan baru dikatain orang terus marah,” kata Chaerudin dengan logat Betawi klotokan.
Bang Idin, begitu dia biasa disapa, tinggal di pinggiran Kali Pesanggrahan, Karang Tengah, Cilandak, Jakarta Selatan. Saban hari aktivitasnya tak jauh jauh dari Kali Pesanggrahan. Mulai membersihkan sampah hingga menebar bibit ikan.
Perjuangan menjaga Kali Pesanggrahan dilakoni Bang Idin sejak 15 tahun lalu. Menaiki gedebong pisang, disusurinya kali sejauh 38 kilometer itu. “Sungai bukan tempat buang sampah. Bukan tempat tinja dari gedung-gedung. Sungai tempat memahami kehidupan,” kata Idin di empang bantaran Sungai Pesanggrahan, minggu lalu.
Idin ngebongkar cara pikir orang kebanyakan tentang sungai. Limbah rumah tangga dan pabrik diolah di empang-empang untuk pemancingan, sebelum dibuang ke sungai. Bantaran sungai kembali ditanami pohon. Bibit ikan dilepas berkala, untuk memperkaya biota sungai.
Manajemen kearifan alam. Konsep konservasi alam ini yang diimani Bang Idin bertahun-tahun.
Konservasi alam yang melihat lingkungan sebagai sumber hidup. Tidak hanya ditangani secara arif, tapi juga penuh komitmen. Bagi Bang Idin, penyelamatan lingkungan nggak butuh banyak cingcong. Solusi harus diwujudkan dalam tindakan, bukan hanya kesimpulan seminar.
“Jalan keluarnya, dong. Kita bosen dengan pasal-pasal, begono-begini. Apaan itu? Kerjanya kagak ada. Masalah lingkungan bukan masalah sampah doang, melainkan masalah kehidupan,” ujarnya.
Bang Idin terkenal keras. Dia doyan “ribut” dengan masyarakat yang semaunya membuang sampah di kali. Sampah yang dibuang ke sungai, dia pulangin dengan digantung di pagar rumah orang yang membuang sampah. Bau tak sedap mengepung kampung.
Bang Idin nggak takut harus berhadapan dengan pemerintah. Badan Pertanahan Nasional (BPN) paling sering kena semprot. Banyak sertifikat tanah yang dikeluarkan BPN ngaco karena luasnya sampai ke pinggir Kali Pesanggrahan.
Menurut Bang Idin, masyarakat “gedongan” itu punya dasar hukum membangun rumah sampai pinggir kali. Namun, buat dia, tanah bukan hanya milik orang berduit. “Coba dipikir. Ada sertifikat sampai kali, siapa yang buat? BPN, kan? Siapa yang bayar? Orang kaya, kan? Yang salah siapa? Semuanya gila,” katanya.
Ketika mengajak orang menjaga sungai, Bang Idin tidak menggurui. Dia lebih banyak mendongeng soal Pangeran Jayakarta dan Si Jampang yang selalu mengedepankan kepentingan masyarakat.
“Bagaimana pemahaman kita. Alam ini punya kita semua. Bukan punya negara atau pemerintah. Ini punya kita,” katanya.
Hukum buat Bang Idin bukan cuma pasal tersurat di atas kertas, hukum yang bisa “dibeli” demi kepentingan pribadi. Menghadapi alam bukan dengan cara jual-beli. Sebab, “SK” penyelamatan lingkungan berasal dari langit, bukan dari orang berduit.
“Gua bilang, jangan mengotori sungai. Kalau sungai lu kotori, yang kena dampaknya lu juga. Kalau banjir, jangan disalahin kali. Emang kitanya kurang ajar. Itu yang tersirat. Dampaknya ke kita-kita juga. Alam akan ngamuk. Alam ini bukan warisan nenek moyang, melainkan titipan anak cucu. Titipan. Dan harus dirawat,” ujarnya.
Sersan Perang Sampah
Lahan pembuangan sampah akhir di Benowo, Surabaya, diprediksi membeludak pada tahun 2014. Jika tidak ada inovasi mengolah sampah, Kota Pahlawan tidak akan memiliki ruang untuk membuang sampah.
Di tangan Mbah Tampi, sampah menjadi berkah. Pensiunan TNI Angkatan Laut berpangkat sersan satu ini mulai melakoni “operasi penyelamatan” sampah sejak 1989. Misinya cuma satu: tidak menambah persoalan di bumi.
Tampi tidak sedang melakukan operasi militer. Tidak juga memanggul bedil. Pengalaman tugas di Timor Timur dan Irian Jaya, tinggal masa lalu. Kini, perjuangannya membersihkan jalanan dari sampah. Mendorong gerobak sampah dari rumah ke rumah.
Sampah yang dikumpulkan dipilah. Setelah 14 tahun, rumahnya di Kelurahan Genting, Surabaya, jadi tempat penampungan sampah. “Ini tugas berat bagi kami. Sekadar mensosialisasikan persoalan sampah saja, banyak masyarakat yang menentang. Tapi, seiring dengan waktu, semuanya bisa berjalan lancar,” kata Mbah Tampi.
Sampah non-organik kemudian dijual ke salah satu pabrik daur ulang. Beberapa tahun kemudian pabrik pengolah sampah menolak hasil pulungan Mbah Tampi. Dia putar otak mencari cara agar sampah dapat dimanfaatkan.
Sampah organik dijadikan pupuk, sedangkan sampah non-organik masih dicarikan solusi.
Tahun 2003 Tampi menemukan cara mengolah sampah non-organik menjadi botem, batako berbahan sampah plastik. Metode ini dipelajarinya secara autodidak.
Botem berukuran panjang 30 cm dan lebar 12,5 cm, dicetak dalam keadaan basah. Sampah plastik kemudian dijejalkan ke lubang di tengah botem. “Sampah yang tidak bisa didaur ulang dimasukkan ke tengah-tengah botem yang dilubangi. Sebelumnya sampah diikat kuat dalam tas kresek besar,” ujarnya.
Hasil “gerilya” Mbah Tompi mampu mengurangi jumlah sampah yang disetor ke pembuangan sampah akhir Benowo. Untuk 1.000 botem setidaknya membutuhkan 50 meter kubik sampah.
Satu botem kini dijual Rp 1.250. Mbah Tampi mengklaim batako botem tahan panas dan kedap air. “Banyak yang berminat. Terutama masyarakat yang tinggal di kawasan Wonokusumo, yang dekat dengan laut,” tuturnya.
Kini hasil penjualan botem mampu menghidupi Yayasan Among Putra, yang mengelola TK dan play group. Para wali murid mulai sadar mengumpulkan dan mengolah sampah kering untuk dijual bersama.
“Jika kita biarkan sampah di mana-mana, ini membahayakan kesuburan tanah. Mari kita jaga kebersihan lingkungan masing-masing, atau minimal membuang sampah pada tempatnya,” kata Mbah Tampi.
Perjuangan Gila Sariban
Pukul 8 pagi. Sariban mengayuh sepeda ke arah pusat Kota Bandung. Dua keranjang besar nyantel di sisi sepeda. Menjelang tengah hari, sang kakek pulang untuk makan di rumahnya di Gang Cikondang Nomor 30, Sadangserang, Bandung.
Selepas lohor dia kembali bekerja hingga hampir magrib. “Sampah yang saya bersihkan, saya bawa ke tempat penampungan sampah di pasar,” kata Sariban.
Ketika masih dinas di RS Cicendo Bandung tahun 1983, Sariban mulai membersihkan sampah di jalan umum. Kegiatan ini dipengaruhi pekerjaannya semasa kecil, mencabuti rumput untuk pakan sapi. Setelah pensiun, Sariban mendedikasikan waktunya menjadi relawan pembersih sampah.
Seragam kuning dengan caping bertuliskan “Iban dari Bandung” jadi ciri khas Sariban saat bekerja. Di pusat keramaian, Sariban “mengusik” warga melalui pengeras suara, mensosialisasikan pentingnya menjaga kebersihan.
Warga mulai risih. Berisik. Sariban dicap sinting.
Tebal muka senjata pamungkas Sariban. Jari-jari keriputnya hingga kini masih setia memunguti sampah di Jalan Pahlawan, Kota Bandung. Keinginannya menjadikan jalan itu sebagai jalan percontohan lingkungan, terus meletup. “Saya bercita-cita menjadikan Jalan Pahlawan Lingkungan Hidup Iban. Indah, bersih, aman, dan nyaman,” katanya.
Bagi Sariban, kebersihan bagian dari iman. Tak cukup memunguti sampah, dia juga mencabuti paku yang “melukai” pohon-pohon di sepanjang Jalan Pahlawan. “Kasihan,” katanya.
Empat belas karung paku seberat 1 ton kini terkumpul di rumahnya. Tidak untuk dijual. Jika sudah tidak mampu menjadi relawan, Sariban akan menyerahkan paku-paku dan sepedanya kepada Pemerintah Kota Bandung untuk dimasukkan museum.
“Saya ingin ada demo besar-besaran. Bukan demo rusuh, melainkan kampanye serentak seluruh warga memunguti sampah. Mudah-mudahan tahun depan saya bisa sampaikan ke Pak Dada Rosada (Wali Kota Bandung),” kata Sariban.(red)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar