Mau UANG???... Buruan GRATIS Registrasi KLIK DISINI

Kamis, 09 Desember 2010

Menjaga Api Tidak Padam

Bukan soal kekuatan, melainkan kesetiaan.

Pukul 3 petang, perut Hiratetty Yoga mulas seperti mau melahirkan. Tidak jelas penyebabnya. Meski sakit, Tetty tetap pergi mencari susu ke supermarket dekat rumah. Suami dan kedua anak laki-lakinya biasa minum susu di malam hari.

Sibuk mencari susu di Makro Ciputat, Tetty dipanggil ke loket informasi. Ada telepon dari rumah. “Ibu Tetty, harap segera menuju pusat informasi,” kata petugas melalui pengeras suara.

Tetty gugup mengangkat telepon. Suara Sari, anak pertamanya, di seberang sambungan kian membuatnya khawatir. “Mama jangan pulang, nanti dijemput.” Tetty penasaran. “Elang tertembak, Ma.”

Hati sang ibu langsung gelap. Kepalanya menengadah. “Ya Allah, lindungi anak saya,” kata Tetty dalam hati.

Mobil meluncur menuju RS Sumber Waras, Grogol, tak jauh dari kampus Universitas Trisakti. Tentara berjaga di sepanjang jalan, membuat Tetty semakin gundah. 

Tiba di rumah sakit, semua orang langsung menyalami. “Ikut berduka, Bu.” Tetty menjerit histeris.

Elang Mulya Lesmana, anak kedua Tetty, ditembak di kampus Trisakti, sekitar pukul 3 sore.

Elang satu dari 4 mahasiswa Trisakti yang ditembak tentara pada 12 Mei 1998. Saat itu ribuan mahasiswa berunjuk rasa menuntut 6 agenda reformasi. Aparat yang kalap menghadapi aksi mahasiswa dengan bedil dan pentungan.

Selain Elang, mahasiswa yang tewas adalah Hafidin Royan, Heri Hartanto, dan Hendriawan Sie. Dua warga yang menonton unjuk rasa juga tewas dimangsa peluru. Puluhan mahasiswa lain luka-luka.

Di ruangan serbaguna kampus Trisakti, jenazah Elang disemayamkan. Di sudut ruangan, berdiri Panglima Daerah Militer Jakarta Raya Mayjen TNI Sjafrie Sjamsudin. Mahasiswa yang berada di luar gedung berteriak mencaci tentara.

Suasana masih tegang. Mayjen Sjafrie Sjamsudin menghampiri Tetty yang menangis histeris. “Asal Bapak tahu, ini cucu jenderal juga. Dia bukan perampok. Dia bukan penjahat. Kenapa anak saya dibunuh?” kata Tetty kepada Sjafrie.

Elang lahir dari keluarga tentara. Kakeknya pernah menjadi ajudan Jenderal Abdul Haris Nasution. Beberapa hari setelah Elang dimakamkan, Jenderal Nasution datang di rumah duka di Ciputat. “Yang sabar ya,” kata Nasution kepada Tetty.

Johana Sunarti Nasution, istri AH Nasution berbisik. “Ibu datang khusus untuk Tetty. Orang bilang yang sabar, yang kuat, mereka tidak merasakan. Ibu merasakan kehilangan anak dan ditembak sama seperti anak Tetty. Jadi, kamu jangan sekali-kali ingin tahu siapa dalang penembaknya. Kita serahin saja pada Allah.”

Dengan perasaan yang berkecamuk, Tetty meresapi pesan Johana Nasution. Pak Nas yang ketika peristiwa G-30-S tahun 1965 menjabat Wakil Panglima Besar Komando Tertinggi ABRI saja tidak mampu menemukan pembunuh anaknya, Ade Irma Suryani.

Tetty ragu keluarganya mampu mencari keadilan atas pembunuhan Elang. Tetty kemudian disadarkan oleh semangat Boy Bagus Yoga Nandita, suaminya, yang terus berjuang mendapatkan keadilan. Berkat desakan Boy Bagus dan keluarga korban lainnya, akhirnya terbentuk Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM Kasus Trisakti.

Boy Bagus rajin mendatangi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Juga menyampaikan desakan ke Kejaksaan Agung dan DPR. Komnas HAM kemudian menyatakan kasus Trisakti pelanggaran berat hak asasi manusia.

Pada tahun 2003 terbentuk Panitia Khusus DPR untuk Kasus Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II. Mereka menyatakan kasus Trisakti bukan pelanggaran berat HAM. “Sejak itu suami saya stres dan depresi sampai akhirnya meninggal,” kata Tetty.

Boy Bagus sakit 8 bulan. Sempat dirawat 1,5 bulan di salah satu rumah sakit di Jakarta Selatan, kondisinya tidak membaik. “Dokter tahu tidak, anak saya mati ditembak tentara,” kata Tetty menirukan ucapan suaminya kepada dokter.

Sebelum meninggal, Boy meminta Tetty masuk Partai Perhimpunan Indonesia Baru. Boy terkesan atas upaya Dr Sjahrir, Ketua PIB, yang mendukung penuntasan kasus Trisakti. Melalui PIB harapan penuntasan kasus penembakan Elang dititipkan.

Tahun 2004 Tetty menjadi calon legislatif nomor urut 2 untuk Partai Perhimpunan Indonesia Baru daerah pemilihan DKI Jakarta. PIB kalah dalam Pemilu 2004. Belakangan Sjahrir menjadi penasihat Presiden Yudhoyono.

Tetty patah arang. “Beliau (Sjahrir) jadi penasihat Presiden, ya sudah. Politik itu jahat. Makanya saya putuskan, sudahlah. Anak saya sudah tenang di sisi Allah,” ujarnya.

Tetty sempat kembali berharap ketika bersama keluarga korban lainnya berkesempatan bertemu Presiden Yudhoyono. Kepada keluarga korban, Presiden mengaku akan berusaha maksimal menyelesaikan kasus pelanggaran HAM.

Sekali lagi, janji tinggal janji. “Sekarang mau ngotot kepada pemerintah, memangnya didengar? Saya berharap sejarah saja nanti yang membuka. Kalau Allah berkehendak, semua akan terbuka,” kata Tetty.

Setelah Boy Bagus meninggal, rumah keluarga di Ciputat dijual. Tetty sempat mengontrak di Meruya, Jakarta Barat, lalu pindah ke Bintaro, Jakarta Selatan. Hari tua dihabiskannya dengan mengikuti pengajian dan mengurus cucu.

Payung Duka Depan Istana

Setiap Kamis pukul 4 sore, tak peduli panas dan hujan, puluhan payung hitam mekar di depan Istana Negara. Payung hitam lambang duka.

Pakaian serba hitam juga dikenakan para pembawa payung. Mereka korban dan keluarga korban pelanggaran HAM yang tak jemu menuntut keadilan. “Saya tidak merasa jenuh. Saya merasa harapan itu selalu ada. Putus asa tidak, lelah iya. Masih ada yang bisa saya kerjakan. Demo Kamisan masih ada. Dan sejak 2007 mulai ramai,” kata Sumarsih.

Awal tahun 1998 merupakan masa bahagia bagi Maria Katarina Sumarsih. Anak pertamanya, Benardinus Realino Norma Irmawan, aktif di berbagai kegiatan kampus. Wawan anggota Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRK) di Universitas Katolik Atmajaya. Anak keduanya, Benecdicta Raosalia Irma Normaningsih, mulai dewasa.

Sumarsih sedikit gelisah ketika ribuan mahasiswa kembali menggelar unjuk rasa menentang Sidang Istimewa MPR, November 1998. Kampus Atmajaya jadi titik pertemuan mahasiswa Jakarta yang akan menggelar demo ke gedung DPR.

“Wan, kamu di rumah saja ya,” kata Sumarsih kepada anaknya yang bersiap berangkat ke kampus. Wawan meyakinkan ibunya bahwa dia berangkat untuk melaksanakan tugas kemanusiaan. Dengan berat hati Sumarsih mengizinkan.

Kebahagiaan Sumarsih dirampas ketika Wawan tewas ditembak aparat di kampusnya. Wawan tewas ketika membantu mahasiswa yang terluka.

Naluri ibu membuat Sumarsih tidak berdiam diri. Dia mulai aktif mendesak Komnas HAM menyelidiki kasus Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II. Sumarsih semakin sering muncul di media untuk menyuarakan kasus Wawan ke publik.

“Saat itu saya merasa ada di lorong yang gelap. Tapi di lorong gelap itu selalu ada sinar yang menerangi jalan saya,” ujar Sumarsih.

Bagi Sumarsih, menjaga nyala cahaya dalam lorong gelap tidak mudah. Kadang, kesedihan karena kehilangan Wawan membuatnya jatuh dan sulit berdiri kembali. “Saya pasrah. Apa pun yang Tuhan berikan, saya terima, dalam kondisi apa pun. Saya tidak akan mengelak. Saya minta keluarga korban agar jangan nrimo terhadap pertentangan dan ketidakadilan.”

Sumarsih masih ingat ucapan salah seorang politikus Partai Golkar yang menunjukkan sikap pengecut, takut membuka kasus Semanggi. “Kalau Golkar menyatakan terjadi pelanggaran berat HAM, risikonya tentara akan marah. Kalau tentara marah, korbannya akan banyak sekali,” kata Sumarsih mengingat kalimat politikus tersebut.

Dengan tegas Sumarsih menjawab, “Golkar menyatakan terjadi pelanggaran HAM berat atau Bapak akan memelihara terjadinya pelanggaran HAM berat secara terus-menerus? Kalau (terjadi pelanggaran HAM) terus, akhirnya (korban) banyak juga. Sekarang Bapak pilih mana?”

Pernyataan Sumarsih tidak digubris meski dasarnya jelas. Penyelidikan Komnas HAM menyatakan diduga terjadi pelanggaran berat HAM dalam kasus Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II. “Saya merasa nyawa Wawan dipermainkan oleh negara,” kata Sumarsih.

Sumarsih yakin perjuangannya akan membuahkan hasil. “Untuk menjaga itu semua, saya dikuatkan iman. Kasih dan cinta saya terhadap Wawan yang menguatkan perjuangan saya. Lelah iya, tapi harapan masih ada,” ujarnya.

Menolak Bungkam

Kerutan wajah Daniel Utomo Rahardjo bagai kulit kayu. Keras dipahat hujan panas kehidupan. Seperti kerasnya tekad Utomo mengungkap penculikan anaknya, Bimo Petrus.

Utomo mengetahui aktivitas bawah tanah anaknya. Dia tahu Bimo hijrah dari Malang ke Jakarta membangun Solidaritas Mahasiswa untuk Demokrasi (SMID). SMID cikal bakal Partai Rakyat Demokratik yang keras menentang Orde Baru.

“Bagi saya yang penting adalah kejelasan kasus penculikan tersebut. Bagaimana nasib anak saya, apakah masih hidup atau sudah mati. Semuanya harus dijelaskan,” kata Utomo.

Utomo termasuk keluarga korban yang tegar menjaga stamina perjuangan. Bukan hanya menguatkan diri sendiri, Utomo bahkan mampu menjaga api semangat Ketua Kontras Usman Hamid yang sempat “dirayu” Presiden agar mau menjadi staf ahli.

“Yang perlu dicatat, apa yang dilakukan Presiden SBY tidak lebih sebagai cara untuk membungkam suara kebenaran dan keadilan. Termasuk yang getol disuarakan oleh para aktivis HAM, termasuk Usman Hamid,” kata Utomo.

Menurut Utomo, masuk partai sama dengan masuk lingkaran kekuasaan. Itu ancaman bagi kelangsungan HAM. “Tinggal Usman mau memakannya atau tidak. Jika diterima, itu sah-sah saja. Jika tidak, puji Tuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar