Lumpur Lapindo tak terbendung. Sekolah-sekolah bubar, para siswa terpencar.
Pukul 11 siang. Anisa Khotimah, siswa kelas V SD Pejarakan, bersiap pulang. Satu per satu buku dimasukkan ke dalam tas merah muda, warna kesukaannya.
Anisa tinggal di Desa Besuki Timur, sekitar 6 kilometer dari sekolahnya di Kecamatan Jabon, Sidoarjo. Setiap hari Anisa berjalan kaki ke sekolah. Jika beruntung, dia mendapat tumpangan sepeda atau motor dari teman atau tetangga.
Dulu keluarga Anisa tinggal di Desa Besuki. Mereka pindah setelah Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) memutuskan Desa Besuki masuk wilayah proyek perluasan tanggul lumpur Lapindo Brantas.
Berdasarkan Peraturan Presiden tentang BPLS, Desa Besuki, Pejarakan, dan Kedungcangkring, dinyatakan tidak layak huni dan masuk wilayah peta terdampak.
SD Pejarakan menjadi sekolah terakhir yang masih berdiri di kawasan peta terdampak. Sekolah tidak lagi menerima siswa baru dan harus segera tutup jika BPLS memerintahkan.
Kini setiap kali melewati bekas rumahnya sepulang sekolah, Anisa selalu menyempatkan menoleh. Sekadar melepas rindu pada rumahnya yang sebentar lagi musnah.
Satu Demi Satu Pergi
”Sedih rasanya kalau sekolah harus hilang. Begitu juga teman-teman yang harus pindah,” kata Anisa.
Salah seorang teman Anisa, Ahmad Syarifuddin, akan pindah ke SD Gempol, Pasuruan, setelah kenaikan kelas Juni mendatang. Orang tua Ahmad sudah mengurus semua keperluan pindah, termasuk mencarikan sekolah baru.
Santo, orang tua Ahmad, mengaku hanya pasrah jika kampungnya dijadikan tanggul lumpur.
Penjual kerupuk keliling ini telah membeli tanah di daerah Japanan, Pasuruan, dari uang ganti rugi. Di atas tanah seluas 6x12 meter tersebut dia membangun rumah sekaligus tempat membuat kerupuk. ”Meski harus memulai dari baru, usaha kerupuk tidak boleh mati. Usaha ini satu-satunya penopang ekonomi keluarga,” ujarnya.
Sejak tahun 2006, siswa SD Pejarakan terpaksa akrab bergaul dengan bau gas metan akibat semburan lumpur Lapindo Brantas. Setiap hari mereka khawatir tanggul lumpur yang hanya berjarak 20 meter dari sekolah sewaktu-waktu jebol.
September lalu kegiatan belajar sempat terhenti karena lumpur menyembur dari kamar mandi dan ruang kelas VI. Ruang kelas serta halaman sekolah dipenuhi air bercampur lumpur yang mengeluarkan bau gas.
Amirul Muhminin, siswa kelas V, mengaku muntah-muntah karena menghirup gas metan dari semburan tersebut. Beberapa siswa juga pusing dan sesak nafas. ”Badan ini rasanya lemas sekali. Saya juga merasakan pening, mual, dan muntah akibat mencium gas dari lumpur,” kata Amirul.
Sekolah Berhenti
Muzakir Fakih, Kepala SD Pejarakan, mungkin orang yang paling kehilangan jika sekolah ini ditutup. Muzakir yang pensiun tahun depan mengaku tidak akan dapat melupakan cium tangan para murid setiap selesai upacara Senin pagi.
Apa mau dikata. Murid-murid SD Pejarakan terus berkurang setiap tahun. Menurut Muzakir yang memimpin SD Pejarakan sejak tahun 2008, jumlah murid tahun ajaran 2009-2010 hanya 137 anak dan turun menjadi 114 siswa pada tahun ajaran 2010-2011. Tahun depan SD Pejarakan berhenti menerima siswa baru.
Kebanyakan siswa berasal dari Desa Besuki dan Pejarakan, yang rumahnya terkena proyek perluasan tanggul lumpur Lapindo. ”Wali murid yang sudah mendapatkan ganti rugi langsung mengajukan surat pindah sekolah. Sebagian pindah ke Japanan,” kata Muzakir.
Muzakir mengaku pernah membuat proposal memindahkan sekolah ke Dinas Pendidikan dan Bupati Sidoarjo. Hingga diputuskan SD Pejarakan berhenti menerima siswa baru, Dinas Pendidikan Sidoarjo tidak menjawab proposal tersebut. Untuk sementara waktu para siswa SD Pejarakan dapat belajar di bangunan sekolah.
Nasib guru honorer paling tidak jelas. Berkurangnya jumlah siswa otomatis mengurangi jam mengajar guru honorer. Muzakir berjanji mengupayakan mencari tempat mengajar baru bagi para guru honorer. (red)
Pukul 11 siang. Anisa Khotimah, siswa kelas V SD Pejarakan, bersiap pulang. Satu per satu buku dimasukkan ke dalam tas merah muda, warna kesukaannya.
Anisa tinggal di Desa Besuki Timur, sekitar 6 kilometer dari sekolahnya di Kecamatan Jabon, Sidoarjo. Setiap hari Anisa berjalan kaki ke sekolah. Jika beruntung, dia mendapat tumpangan sepeda atau motor dari teman atau tetangga.
Dulu keluarga Anisa tinggal di Desa Besuki. Mereka pindah setelah Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) memutuskan Desa Besuki masuk wilayah proyek perluasan tanggul lumpur Lapindo Brantas.
Berdasarkan Peraturan Presiden tentang BPLS, Desa Besuki, Pejarakan, dan Kedungcangkring, dinyatakan tidak layak huni dan masuk wilayah peta terdampak.
SD Pejarakan menjadi sekolah terakhir yang masih berdiri di kawasan peta terdampak. Sekolah tidak lagi menerima siswa baru dan harus segera tutup jika BPLS memerintahkan.
Kini setiap kali melewati bekas rumahnya sepulang sekolah, Anisa selalu menyempatkan menoleh. Sekadar melepas rindu pada rumahnya yang sebentar lagi musnah.
Satu Demi Satu Pergi
”Sedih rasanya kalau sekolah harus hilang. Begitu juga teman-teman yang harus pindah,” kata Anisa.
Salah seorang teman Anisa, Ahmad Syarifuddin, akan pindah ke SD Gempol, Pasuruan, setelah kenaikan kelas Juni mendatang. Orang tua Ahmad sudah mengurus semua keperluan pindah, termasuk mencarikan sekolah baru.
Santo, orang tua Ahmad, mengaku hanya pasrah jika kampungnya dijadikan tanggul lumpur.
Penjual kerupuk keliling ini telah membeli tanah di daerah Japanan, Pasuruan, dari uang ganti rugi. Di atas tanah seluas 6x12 meter tersebut dia membangun rumah sekaligus tempat membuat kerupuk. ”Meski harus memulai dari baru, usaha kerupuk tidak boleh mati. Usaha ini satu-satunya penopang ekonomi keluarga,” ujarnya.
Sejak tahun 2006, siswa SD Pejarakan terpaksa akrab bergaul dengan bau gas metan akibat semburan lumpur Lapindo Brantas. Setiap hari mereka khawatir tanggul lumpur yang hanya berjarak 20 meter dari sekolah sewaktu-waktu jebol.
September lalu kegiatan belajar sempat terhenti karena lumpur menyembur dari kamar mandi dan ruang kelas VI. Ruang kelas serta halaman sekolah dipenuhi air bercampur lumpur yang mengeluarkan bau gas.
Amirul Muhminin, siswa kelas V, mengaku muntah-muntah karena menghirup gas metan dari semburan tersebut. Beberapa siswa juga pusing dan sesak nafas. ”Badan ini rasanya lemas sekali. Saya juga merasakan pening, mual, dan muntah akibat mencium gas dari lumpur,” kata Amirul.
Sekolah Berhenti
Muzakir Fakih, Kepala SD Pejarakan, mungkin orang yang paling kehilangan jika sekolah ini ditutup. Muzakir yang pensiun tahun depan mengaku tidak akan dapat melupakan cium tangan para murid setiap selesai upacara Senin pagi.
Apa mau dikata. Murid-murid SD Pejarakan terus berkurang setiap tahun. Menurut Muzakir yang memimpin SD Pejarakan sejak tahun 2008, jumlah murid tahun ajaran 2009-2010 hanya 137 anak dan turun menjadi 114 siswa pada tahun ajaran 2010-2011. Tahun depan SD Pejarakan berhenti menerima siswa baru.
Kebanyakan siswa berasal dari Desa Besuki dan Pejarakan, yang rumahnya terkena proyek perluasan tanggul lumpur Lapindo. ”Wali murid yang sudah mendapatkan ganti rugi langsung mengajukan surat pindah sekolah. Sebagian pindah ke Japanan,” kata Muzakir.
Muzakir mengaku pernah membuat proposal memindahkan sekolah ke Dinas Pendidikan dan Bupati Sidoarjo. Hingga diputuskan SD Pejarakan berhenti menerima siswa baru, Dinas Pendidikan Sidoarjo tidak menjawab proposal tersebut. Untuk sementara waktu para siswa SD Pejarakan dapat belajar di bangunan sekolah.
Nasib guru honorer paling tidak jelas. Berkurangnya jumlah siswa otomatis mengurangi jam mengajar guru honorer. Muzakir berjanji mengupayakan mencari tempat mengajar baru bagi para guru honorer. (red)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar