Syarat berat selembar surat. Bukan berarti kita nggak cinta.
Abu Malik tampak gagah mengenakan kemeja putih lengan panjang. Disebelahnya, Lina Heriyani, istrinya, sibuk mengusap keringat di kening khawatir bedak tebalnya luntur.
Ini hari penting buat Malik. Setelah berkeluarga 10 tahun, Malik dan Lina akhirnya dapat mengukuhkan cinta mereka pada selembar surat nikah.
Status mereka tidak lagi pasangan nikah siri. Kedua anak mereka kini boleh memiliki akta lahir. ”Daripada kami ’kumpul kebo’, lebih baik kami menikah siri. Meski belum diakui secara sah oleh negara, namun dalam agama hal itu bukan jadi masalah,” kata Abu Malik.
Tapi, lama-lama Malik gerah mendengar bisik-bisik tetangga. Cap negatif status nikah siri, ternyata tidak lebih baik ketimbang kumpul kebo. Apalagi, beban itu belakangan juga harus ditanggung anak pertamanya yang mulai masuk sekolah.
”Istri saya sering mengeluh soal ini. Saya terus memberikan semangat, bahwa perjalanan rumah tangga kami pasti ada jalan keluarnya. Nikah massal ini mungkin jawaban dari kesabaran kami,” ujar Abu Malik.
Siang itu, 180 pasangan dinikahkan massal. Mereka rata-rata bekerja sebagai pemulung di seputaran Surabaya. Sebagian berstatus nikah siri, sebagian lagi hidup bersama tanpa ikatan.
Herlina dan Slamet salah satu pasangan nikah massal. Herlina yang sedang hamil 8 bulan, mengaku sudah tenang menikah resmi karena akan mendapat surat nikah dari KUA.
Malah Slamet yang grogi. Berkali-kali Slamet keliru mengucap ijab kabul. Sang penghulu potong kompas, langsung mengesahkan pernikahan Slamet dan Herlina. ”Sah.. sah?” kata penghulu yang disambut nafas lega Slamet.
Lain lagi pasangan Solikin dan Hasanah. Pemulung di tempat pembuangan akhir Benowo ini menikah siri sejak tahun 1990 karena tidak punya biaya menikah resmi. Tiga anak lahir dari pernikahan tersebut.
Solikin yang tinggal di gubuk tak jauh dari kompleks Gelanggang Olah Raga Bung Tomo, mengaku sudah berkali-kali mendaftar nikah massal. Tapi selalu ditolak, karena tidak punya KTP.
Solikin kerepotan jika harus mengurus KTP ke kampungnya di Kudus, Jawa Tengah. ”Tidak mungkin pulang kampung. Biaya tidak sedikit,” ujar Solikin.
Dia mengaku tidak mempermasalahkan status pernikahannya. Namun, dia kasihan dengan 3 anaknya yang harus menanggung akibat karena orang tuanya berstatus nikah siri.
Hasan, anak paling tua, hanya bisa sekolah hingga SMP. Untuk melanjutkan ke SMA, dibutuhkan surat identitas yang tidak mungkin dimiliki anak hasil menikah siri.
”Anak saya yang tua bisa sekolah hingga SMP. Itupun atas bantuan orang yang iba dengan anak saya. Semoga, nasib kedua anak saya lainnya lebih baik dibandingkan kakaknya,” kata Solikin.
Pasangan pengantin kini diarak menuju komplek Pantai Ria Kenjeran. Tertawa riang, calon nganten anyar melambai-lambai pada warga yang menonton. Dibawah tenda biru, mereka berucap janji. (red)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar