Gizi buruk masih menghantui anak Indonesia yang kaya sumber alam. Kemiskinan selalu menjadi sebabnya.
DI sebuah kamar kontrakan di kawasan Dukuh Pakis, Surabaya, tergolek sosok anak kurus di atas tempat tidur. Dengan nafas tersengal, ia menatap tajam siapa pun yang masuk kamar tersebut. Anak itu belum bisa berbicara. Ia hanya diam dan menangis kalau menginginkan sesuatu. Jika bosan berada di kamar, ia meminta ibunya agar dibawa “melihat” sejenak dunia di luar rumah di perkampungan sempit dan terhimpit gedung tinggi dan rumah toko. Itulah aktivitas sehari-hari Figo Ramadhan, 2 tahun, penderita gizi buruk, setelah menjalani perawatan di RSUD dr Soewandhie Surabaya.
Siapa pun yang melihat kondisi Figo akan mengelus dada. Bagaimana tidak? Anak seusia Figo semestinya berbobot 10 kg hingga 11 kg. Namun, karena mengalami gizi buruk, bobotnya hanya 5 kg, dengan tinggi sekitar 72 cm.
Isa Raayanti, sang Ibu, bercerita, semula Figo anak yang ceria dan tidak menunjukkan gejala mengalami gizi buruk. Meski kurus, Figo masih bisa bermain dan bercanda dengan kedua kakaknya, Frenly, 3 tahun, dan Nur Aini, 12 tahun. “Memang hampir setiap hari Figo dan kedua kakaknya lebih banyak makan mi instan dan nasi putih. Namun, kami tidak menyangka Figo akan seperti ini,” kata Isa.
Isa menuturkan, kondisi kesehatan Figo menurun drastis sejak awal September lalu. Figo sering mual dan muntah disertai sesak nafas. Dari berobat ke Puskesmas Dukuh Kupang, tim medis hanya memberikan oralit dan susu formula sebagai penambah kalori.
Beberapa kali kontrol di puskesmas itu tak membuat kondisi Figo berubah. Sebaliknya, berat badannya menurun dari 8 kg kini hanya 5 kg. Begitu pula diare dan sesak nafas kian memburuk. “Karena tidak memiliki cukup uang untuk membawa Figo ke rumah sakit, saya hanya bisa pasrah kepada Tuhan atas semua kehendak kepada Figo,” kata Isa.
Hingga akhirnya aparat kelurahan dan kecamatan membawa Figo ke RSUD dr Soewandhie, Jumat 25 September lalu. Di rumah sakit Figo mendapatkan perawatan maksimal. Dengan bantuan alat pernafasan, anak ini juga mendapatkan asupan gizi yang disalurkan lewat infus yang “ditancapkan” di tangan kanannya. Figo juga mendapatkan “bantuan” susu formula.
Isa mengaku bersyukur karena Figo tidak mendapatkan perlakuan diskriminatif oleh tim medis. Padahal, sudah rahasia umum biasanya rumah sakit pemerintah bersikap garang terhadap pasien yang berbekal surat keterangan miskin (SKM) dan Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) seperti Figo. Ia juga dibebaskan dari seluruh biaya perawatan, termasuk obat dan susu formula.
Usai menjalani perawatan selama satu minggu, berangsur kondisi Figo membaik. Meski masih sesak nafas, diarenya sembuh. Berat badannya juga naik menjadi 7 kg. Figo pun diperbolehkan pulang pada Senin 5 Oktober.
Kini Figo tampak lebih segar. Bahkan terlihat tersenyum dan mengajak bercanda siapa pun yang menyapa dirinya. Selanjutnya, ia tinggal menunggu waktu untuk kontrol di puskesmas guna mengetahui perkembangan kesehatannya.
Menurut Isa, awal bencana yang menimpa Figo karena ia tak mampu menafkahi anak-anaknya secara layak. Saat ini Isa merupakan orang tua tunggal untuk tiga anaknya. Suaminya, Sugiyanto, yang berprofesi sebagai sopir meninggalkan keluarganya sejak tahun 2007. Ia mengaku bekerja ke Kalimantan, tapi tak pernah pulang. Mengirim uang untuk keluarga pun tak pernah.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup yang semakin mencekik, Isa bekerja menjadi buruh cuci dan tukang pijit panggilan. Penghasilannya per hari Rp 20 ribu, namun tak tetap. Jika tidak mendapatkan panggilan mencuci, Isa hanya pasrah sembari memanfaatkan sisa uang. “Yang paling rutin ya dari upah sebagai buruh cuci. Sedangkan dari hasil pijit, tidak bisa diandalkan, karena tergantung situasi dan kondisi.”
Dalam sebulan pendapatan maksimal Isa berkisar Rp 600 ribu. Itu pun masih dipotong Rp 150 ribu untuk biaya sewa kamar per bulan dan Rp 90 ribu untuk uang saku sekolah Nur Aini, anak sulung yang kini kelas 1 SMP Negeri 10 Surabaya. Sisa pendapatan yang hanya Rp 350 ribu dikelola untuk memenuhi kebutuhan dirinya dan tiga anak.
DI sebuah kamar kontrakan di kawasan Dukuh Pakis, Surabaya, tergolek sosok anak kurus di atas tempat tidur. Dengan nafas tersengal, ia menatap tajam siapa pun yang masuk kamar tersebut. Anak itu belum bisa berbicara. Ia hanya diam dan menangis kalau menginginkan sesuatu. Jika bosan berada di kamar, ia meminta ibunya agar dibawa “melihat” sejenak dunia di luar rumah di perkampungan sempit dan terhimpit gedung tinggi dan rumah toko. Itulah aktivitas sehari-hari Figo Ramadhan, 2 tahun, penderita gizi buruk, setelah menjalani perawatan di RSUD dr Soewandhie Surabaya.
Siapa pun yang melihat kondisi Figo akan mengelus dada. Bagaimana tidak? Anak seusia Figo semestinya berbobot 10 kg hingga 11 kg. Namun, karena mengalami gizi buruk, bobotnya hanya 5 kg, dengan tinggi sekitar 72 cm.
Isa Raayanti, sang Ibu, bercerita, semula Figo anak yang ceria dan tidak menunjukkan gejala mengalami gizi buruk. Meski kurus, Figo masih bisa bermain dan bercanda dengan kedua kakaknya, Frenly, 3 tahun, dan Nur Aini, 12 tahun. “Memang hampir setiap hari Figo dan kedua kakaknya lebih banyak makan mi instan dan nasi putih. Namun, kami tidak menyangka Figo akan seperti ini,” kata Isa.
Isa menuturkan, kondisi kesehatan Figo menurun drastis sejak awal September lalu. Figo sering mual dan muntah disertai sesak nafas. Dari berobat ke Puskesmas Dukuh Kupang, tim medis hanya memberikan oralit dan susu formula sebagai penambah kalori.
Beberapa kali kontrol di puskesmas itu tak membuat kondisi Figo berubah. Sebaliknya, berat badannya menurun dari 8 kg kini hanya 5 kg. Begitu pula diare dan sesak nafas kian memburuk. “Karena tidak memiliki cukup uang untuk membawa Figo ke rumah sakit, saya hanya bisa pasrah kepada Tuhan atas semua kehendak kepada Figo,” kata Isa.
Hingga akhirnya aparat kelurahan dan kecamatan membawa Figo ke RSUD dr Soewandhie, Jumat 25 September lalu. Di rumah sakit Figo mendapatkan perawatan maksimal. Dengan bantuan alat pernafasan, anak ini juga mendapatkan asupan gizi yang disalurkan lewat infus yang “ditancapkan” di tangan kanannya. Figo juga mendapatkan “bantuan” susu formula.
Isa mengaku bersyukur karena Figo tidak mendapatkan perlakuan diskriminatif oleh tim medis. Padahal, sudah rahasia umum biasanya rumah sakit pemerintah bersikap garang terhadap pasien yang berbekal surat keterangan miskin (SKM) dan Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) seperti Figo. Ia juga dibebaskan dari seluruh biaya perawatan, termasuk obat dan susu formula.
Usai menjalani perawatan selama satu minggu, berangsur kondisi Figo membaik. Meski masih sesak nafas, diarenya sembuh. Berat badannya juga naik menjadi 7 kg. Figo pun diperbolehkan pulang pada Senin 5 Oktober.
Kini Figo tampak lebih segar. Bahkan terlihat tersenyum dan mengajak bercanda siapa pun yang menyapa dirinya. Selanjutnya, ia tinggal menunggu waktu untuk kontrol di puskesmas guna mengetahui perkembangan kesehatannya.
Menurut Isa, awal bencana yang menimpa Figo karena ia tak mampu menafkahi anak-anaknya secara layak. Saat ini Isa merupakan orang tua tunggal untuk tiga anaknya. Suaminya, Sugiyanto, yang berprofesi sebagai sopir meninggalkan keluarganya sejak tahun 2007. Ia mengaku bekerja ke Kalimantan, tapi tak pernah pulang. Mengirim uang untuk keluarga pun tak pernah.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup yang semakin mencekik, Isa bekerja menjadi buruh cuci dan tukang pijit panggilan. Penghasilannya per hari Rp 20 ribu, namun tak tetap. Jika tidak mendapatkan panggilan mencuci, Isa hanya pasrah sembari memanfaatkan sisa uang. “Yang paling rutin ya dari upah sebagai buruh cuci. Sedangkan dari hasil pijit, tidak bisa diandalkan, karena tergantung situasi dan kondisi.”
Dalam sebulan pendapatan maksimal Isa berkisar Rp 600 ribu. Itu pun masih dipotong Rp 150 ribu untuk biaya sewa kamar per bulan dan Rp 90 ribu untuk uang saku sekolah Nur Aini, anak sulung yang kini kelas 1 SMP Negeri 10 Surabaya. Sisa pendapatan yang hanya Rp 350 ribu dikelola untuk memenuhi kebutuhan dirinya dan tiga anak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar