Mau UANG???... Buruan GRATIS Registrasi KLIK DISINI

Kamis, 24 Juli 2008

Yovinus Guntur Wicaksono : Surono, Antara Pengorbanan dan Realitas

Cuaca panas yang menyengat di desa Wonoayu, kecamatan Wonoayu, kabupaten Sidoarjo, tidak menyurutkan langkahku mengikuti kampanye Sutjipto - Ridwan (SR) yang digelar PDI Perjuangan. Tiba-tiba mataku tertuju pada sosok lelaki kurus berjaket merah, yang ternyata kuketahui bernama Surono. Meski bergelar Insinyur, pria yang dibesarkan dan tinggal di Lampung ini, tidak tampak seperti undangan lainnya. Seperti cagub PDI Perjuangan Ir. Sutjipto, CEO Jawa Pos Group Dahlan Iskan, dan Walikota Surabaya Bambang DH.
Ada sebuah kenyataan yang sangat menghentak otakku, saat mengetahui pria bernama Surono yang ada di depanku, adalah seorang penemu benih padi EMESPE, MSP I, MSP II dan Sertani. Sebuah pemandangan yang jauh dari dugaanku, karena seorang pemikir, pakar dan peneliti biasanya rapi dan parlente.Tapi tidak dengan Surono. Pria ini kurus, tinggi dan wajahnya terlihat tua di usianya yang mencapai 59 tahun.

Dalam sebuah kesempatan, Surono mengatakan, ia ingin mengabdikan hidupnya untuk kesejahteraan petani di Indonesia. Karena itu, pria yang juga anak didik Kwik Kian Gie ini, rela �menghilang� selama 22 tahun dari dalam perut bumi, untuk menciptakan benih padi. Dalam kurun waktu itulah, Surono mengaku melakukan penelitian dengan seadanya, tanpa ada fasilitas dan alat bantu apapun. Hebat bukan !!! Orang Indonesia mana lagi yang mau melakukan hal ini???

Aku semakin kagum dengan pria ini, saat ia menegaskan ingin menghabiskan sisa hidupnya bagi kesejahteraan petani dan bangsa Indonesia. Sebuah cita-cita luhur dari anak bangsa. Tidak hanya itu saja, ia juga mengaku tidak mau dibayar dalam bentuk apapun terkait hasil penemuannya itu. Nah sampai sini, aku jadi berpikir berapa banyak biaya yang Surono keluarkan untuk menciptakan ketahanan pangan, yang selama ini hanya jadi cita-cita kosong bagai bayang-bayang ilusi.

Perasaan trenyuh, dan marah bergelanyut di dalam hati, saat tahu, hasil karya berharga Surono, belum dipatenkan, karena keterbatasan biaya. Untungnya, seorang pahlawan yang bernama Dahlan Iskan, membuka pintu �rumah�nya bagi Surono, untuk mematenkan hasil karya �mahal�nya itu. Sebuah uluran tangan yang sangat mengharukan, karena masih ada yang peduli dengan hasil karya anak bangsa sendiri.

Pengorbanan Surono memang besar bagi kesejahteraan bangsa Indonesia, karena itu sudah selayaknya dihargai oleh siapapun. Baik oleh kader dan simpatisan PDI Perjuangan atau masyarakat umum lainnya. Aku merasa, sudah waktunya bangsa ini bisa berbuat sesuatu untuk anak-anak nya dengan menghargai jerih payah dan pikirannya. Tidak itu saja, kita juga harus meninggalkan budaya import yang telah meracuni kehidupan bangsa ini.

Aku merasa tanpa ada orang-orang seperti Surono, apa jadinya bangsa ini. Siapakah yang mau berkorban untuk kelangsungan hidup petani, sekaligus mensejahterakannya? Aku sendiri merasa tak mampu untuk melakukan itu. Bukan karena apa? Aku sadar, bila tak mampu menahan beban seperti Surono, lelaki perkasa seperti tokoh film Hercules ini.

Kini aku hanya bisa mencari siapa orang yang mau berbuat seperti itu? Presiden, Wakil Rakyat atau kalangan pejabat lainnya? Yang pasti jawabannya hanya satu, orang-orang yang memiliki nilai nasionalisme sejati semacam Surono inilah yang harus muncul di Indonesia. Atau setidaknya seperti Prof Lie, seorang peneliti asal Republik Rakyat Tiongkok. Di usia yang mencapai 79 tahun, masih memilih tinggal di tengah sawah.

Yang membedakan keduanya adalah sikap dan perlakukan dari pemerintah masing-masing negara. Bila di RRT, hasil penemuan Prof Lie, sangat dihargai oleh pemerintah setempat. Sedangkan di negara kita, hal ini belum ditemukan pada hasil penemuan Surono. Apalagi bila mengetahui kalau Surono kader PDI Perjuangan, maka jangan harap ada penghargaan yang pantas baginya.

Inilah yang membuat aku semakin miris dengan keadaan Indonesia saat ini. Situasi yang semakin rumit dengan kenaikan harga bahan pokok, BBM dan harga-harga lainnya. Dan itu belum lagi dengan keputusan pemerintah untuk mengimpor beras dan jagung. Padahal, secara realita bangsa Indonesia adalah bangsa agraris dengan petani sebagai mata pencaharian utamanya. Gila bukan???

Lalu sampai kapan ini akan terjadi? Apa kita hanya tinggal diam menungu kehancuran bangsa ini? Dan menurutku kita harus bergerak melangkah ke depan, untuk bisa membawa perubahan di Indonesia. Atau setidaknya kita menemukan orang-orang baru semacam Surono. Semoga !!!

Ditulis di desa Wonoayu, kecamatan Wonoayu, kabupaten Sidoarjo (160708).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar