Warta Jatim,Surabaya - Sekitar 300 anak di kompleks lokalisasi Dolly, Surabaya, menjadi korban kekerasan. Sebagian besar anak mendapatkan kekerasan seksual, fisik, dan kekerasan dalam rumah tangga.
Sebagian besar pelaku kekerasan terhadap anak adalah orang-orang terdekat, seperti orang tua, saudara, dan tetangga. Korban rata-rata usia 10 - 16 tahun dan kebanyakan perempuan. Demikian temuan Lembaga Wahana Visi, Surabaya, baru-baru ini.
Anak-anak korban kekerasan rata-rata mengalami trauma berat. Mereka tidak mau bergaul dan memilih menyendiri serta menjadi pendiam. “Dari rata-rata kasus yang kami tangani, korban sangat trauma. Butuh waktu lama untuk memulihkannya kembali,” kata Jhoni Sirait Jhoni, staf Lembaga Wahana Visi, Jumat (23/7).
Menurut Jhoni, untuk membawa korban kembali “normal”, dibutuhkan ketelatenan tersendiri. Juga tidak boleh mengungkit pengalaman masa lalu. Jika pengalaman buruk terungkit, dipastikan anak kembali murung dan mengalami trauma.
Secara terpisah, Kepala Divisi Internal Lembaga Bantuan Hukum Surabaya Rizal Alifi mengatakan, penanganan anak korban kekerasan di tingkat kepolisian dan pengadilan belum maksimal. Juga diperlukan pengawasan terhadap putusan pengadilan, baik oleh masyarakat maupun aparat penegak hukum.
Dia menilai sanksi yang dijatuhkan pada pelaku kekerasan terhadap anak sudah sesuai aturan. Namun, tidak ada efek jera atas putusan tersebut. Karena itu diperlukan hukuman atau sanksi yang lain terhadap pelaku.
Rizal Alifi mengingatkan masyarakat untuk memahami dan mengurangi tindakan kekerasan terhadap anak. “Banyak yang mengira menjewer atau memaki anak bukan tindakan kekerasan. Padahal, dalam aturan hukum, bisa dikenakan sanksi atau hukuman atas tindakan tersebut. Karena itu, masyarakat harus berperan (mengatasi kekerasan terhadap anak),” ujarnya.(red)
Sebagian besar pelaku kekerasan terhadap anak adalah orang-orang terdekat, seperti orang tua, saudara, dan tetangga. Korban rata-rata usia 10 - 16 tahun dan kebanyakan perempuan. Demikian temuan Lembaga Wahana Visi, Surabaya, baru-baru ini.
Anak-anak korban kekerasan rata-rata mengalami trauma berat. Mereka tidak mau bergaul dan memilih menyendiri serta menjadi pendiam. “Dari rata-rata kasus yang kami tangani, korban sangat trauma. Butuh waktu lama untuk memulihkannya kembali,” kata Jhoni Sirait Jhoni, staf Lembaga Wahana Visi, Jumat (23/7).
Menurut Jhoni, untuk membawa korban kembali “normal”, dibutuhkan ketelatenan tersendiri. Juga tidak boleh mengungkit pengalaman masa lalu. Jika pengalaman buruk terungkit, dipastikan anak kembali murung dan mengalami trauma.
Secara terpisah, Kepala Divisi Internal Lembaga Bantuan Hukum Surabaya Rizal Alifi mengatakan, penanganan anak korban kekerasan di tingkat kepolisian dan pengadilan belum maksimal. Juga diperlukan pengawasan terhadap putusan pengadilan, baik oleh masyarakat maupun aparat penegak hukum.
Dia menilai sanksi yang dijatuhkan pada pelaku kekerasan terhadap anak sudah sesuai aturan. Namun, tidak ada efek jera atas putusan tersebut. Karena itu diperlukan hukuman atau sanksi yang lain terhadap pelaku.
Rizal Alifi mengingatkan masyarakat untuk memahami dan mengurangi tindakan kekerasan terhadap anak. “Banyak yang mengira menjewer atau memaki anak bukan tindakan kekerasan. Padahal, dalam aturan hukum, bisa dikenakan sanksi atau hukuman atas tindakan tersebut. Karena itu, masyarakat harus berperan (mengatasi kekerasan terhadap anak),” ujarnya.(red)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar