Dijebloskan di penjara Arab Saudi. Gaji ditilep PJTKI.
SELAMA menjalani persidangan Siti Romlah tidak didampingi oleh satu pun perwakilan KBRI. Ia “dipaksa” berjuang melawan pengadilan yang mendakwanya “bersalah”. Tanpa advokasi, Siti divonis 6 bulan penjara ditambah 20 kali hukuman cambuk di punggung.
“Saya sangat menyesalkan sikap KBRI yang seakan tidak peduli dengan keadaan kami. Mungkin selama ini pemerintah hanya menilai BMI layak dijadikan sapi perah, demi keuntungan negara,” kata Siti Romlah.
Siti menuturkan, selama menjalani hukuman di penjara ia dan ribuan tenaga kerja wanita lain, baik dari Indonesia maupun negara lain, mendapat perlakuan yang baik. Ia mendapatkan jaminan makan bergizi dan uang pembinaan 100 riyal (sekaitar Rp 300 ribu) per bulan selama 6 bulan di dalam penjara.
Usai menjalani masa hukuman, Siti Romlah dan 22 buruh migran Indonesia lainnya dideportasi. Segala urusan paspor dan biaya akomodasi serta biaya perjalanan ditanggung KBRI.
Sesampai di Bandara Soekarno – Hatta, Cengkareng, Siti Romlah dan rekan sejawatnya diterima jajaran Departemen Luar Negeri dan Depnakertrans. Mereka kemudian diangkut ke PT Sapta Rejeki dengan menggunakan minibus. Namun, dasar apes, beberapa barang berharga milik Siti Romlah raib, dicuri salah satu BMI.
Di kantor PT Sapta Rejeki, Siti Romlah didata. Pada 15 Januari 2009 dia dipulangkan ke kampung halaman Desa Ringinsari, Kecamatan Kandat, Kediri. Siti sangat bahagia berkumpul kembali dengan suami Agus Santoso dan dua anaknya, setelah berpisah sejak tahun 2006.
Ternyata kebahagiaan itu hanya sesaat. Siti harus menjalani pemeriksaan di RSUD Palem, Pare, Kediri. Dokter menyatakan Siti menderita sakit jantung. Siti bertambah shock tatkala mengetahui kiriman uang 5.000 riyal (sekitar Rp 15 juta) tidak sampai kepada suami. Siti dan Agus yang berprofesi sebagai penjual bakso pentol keliling dan buruh tani bertekad mencari keadilan.
Berbekal sedikit uang sisa hasil bekerja di Arab Saudi, keduanya berjuang menuntut hak. Tujuan pertama PT Ceria Jaya di Kediri. Keduanya diberi PJTKI itu biaya perjalanan ke Jakarta untuk menemui PT Sapta Rejeki. Di Jakarta keduanya malah disalahkan oleh PT Sapta Rejeki. PJTKI tersebut menuduh Siti Romlah tidak bekerja dengan baik dan sering melawan majikan.
Beberapa kali Siti mencoba mendapatkan haknya, namun selalu gagal. Siti dan Agus kecewa dan patah semangat. Mereka tidak tahu lagi harus berbuat apa. Siti ingin menyewa pengacara, namun tidak punya uang. Namun, kalau dibiarkan uang 5.000 riyal itu sangat berarti bagi mereka.
Siti Romlah semakin panik. Mertuanya meminta ongkos perawatan kedua anaknya. Dia menyatakan tak sanggup memenuhi permintaan itu dan diusir dari rumah mertua. “Penderitaan saya sepertinya tidak pernah berhenti. Kalau sudah seperti ini, kepada siapa lagi saya harus berkeluh kesah?” kata Siti sembari menyeka air mata.
Kini Siti Romlah hanya bisa meminta Tuhan mengirim malaikat penolong dari segala penderitaan. Termasuk, menolong mendapatkan kembali 5.000 riyal hasil jerih payahnya.
SELAMA menjalani persidangan Siti Romlah tidak didampingi oleh satu pun perwakilan KBRI. Ia “dipaksa” berjuang melawan pengadilan yang mendakwanya “bersalah”. Tanpa advokasi, Siti divonis 6 bulan penjara ditambah 20 kali hukuman cambuk di punggung.
“Saya sangat menyesalkan sikap KBRI yang seakan tidak peduli dengan keadaan kami. Mungkin selama ini pemerintah hanya menilai BMI layak dijadikan sapi perah, demi keuntungan negara,” kata Siti Romlah.
Siti menuturkan, selama menjalani hukuman di penjara ia dan ribuan tenaga kerja wanita lain, baik dari Indonesia maupun negara lain, mendapat perlakuan yang baik. Ia mendapatkan jaminan makan bergizi dan uang pembinaan 100 riyal (sekaitar Rp 300 ribu) per bulan selama 6 bulan di dalam penjara.
Usai menjalani masa hukuman, Siti Romlah dan 22 buruh migran Indonesia lainnya dideportasi. Segala urusan paspor dan biaya akomodasi serta biaya perjalanan ditanggung KBRI.
Sesampai di Bandara Soekarno – Hatta, Cengkareng, Siti Romlah dan rekan sejawatnya diterima jajaran Departemen Luar Negeri dan Depnakertrans. Mereka kemudian diangkut ke PT Sapta Rejeki dengan menggunakan minibus. Namun, dasar apes, beberapa barang berharga milik Siti Romlah raib, dicuri salah satu BMI.
Di kantor PT Sapta Rejeki, Siti Romlah didata. Pada 15 Januari 2009 dia dipulangkan ke kampung halaman Desa Ringinsari, Kecamatan Kandat, Kediri. Siti sangat bahagia berkumpul kembali dengan suami Agus Santoso dan dua anaknya, setelah berpisah sejak tahun 2006.
Ternyata kebahagiaan itu hanya sesaat. Siti harus menjalani pemeriksaan di RSUD Palem, Pare, Kediri. Dokter menyatakan Siti menderita sakit jantung. Siti bertambah shock tatkala mengetahui kiriman uang 5.000 riyal (sekitar Rp 15 juta) tidak sampai kepada suami. Siti dan Agus yang berprofesi sebagai penjual bakso pentol keliling dan buruh tani bertekad mencari keadilan.
Berbekal sedikit uang sisa hasil bekerja di Arab Saudi, keduanya berjuang menuntut hak. Tujuan pertama PT Ceria Jaya di Kediri. Keduanya diberi PJTKI itu biaya perjalanan ke Jakarta untuk menemui PT Sapta Rejeki. Di Jakarta keduanya malah disalahkan oleh PT Sapta Rejeki. PJTKI tersebut menuduh Siti Romlah tidak bekerja dengan baik dan sering melawan majikan.
Beberapa kali Siti mencoba mendapatkan haknya, namun selalu gagal. Siti dan Agus kecewa dan patah semangat. Mereka tidak tahu lagi harus berbuat apa. Siti ingin menyewa pengacara, namun tidak punya uang. Namun, kalau dibiarkan uang 5.000 riyal itu sangat berarti bagi mereka.
Siti Romlah semakin panik. Mertuanya meminta ongkos perawatan kedua anaknya. Dia menyatakan tak sanggup memenuhi permintaan itu dan diusir dari rumah mertua. “Penderitaan saya sepertinya tidak pernah berhenti. Kalau sudah seperti ini, kepada siapa lagi saya harus berkeluh kesah?” kata Siti sembari menyeka air mata.
Kini Siti Romlah hanya bisa meminta Tuhan mengirim malaikat penolong dari segala penderitaan. Termasuk, menolong mendapatkan kembali 5.000 riyal hasil jerih payahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar