Gedung ini tempat berlindung etnis Tionghoa dari pembantaian. Mereka yang selamat beranak-pinak di sini. Kini penghuni khawatir digusur.
Suasana kampung Banyu Urip Wetan, Surabaya, pagi itu ramai sekali lalu-lalang orang. Tampak di antara mereka menempatkan rombong atau gerobak yang berisi sayur, daging, dan barang-barang lainnya. Ya, itulah suasana kehidupan sehari-hari warga di sekitar “gedung setan”. Sebagian besar pedagang itu para penghuni “gedung setan”, yang mayoritas etnis Tionghoa. Mereka tidak canggung berbaur dengan para pedagang dari etnis Madura, Jawa, Batak, dan Bugis.
Menurut Hadi Utomo, salah satu pengurus “gedung setan”, para penghuni gedung dan warga Banyu Urip Wetan IA menjunjung tinggi pluralisme. Mereka tidak mudah terkotak-kotak oleh isu-isu agama.
Penghuni gedung itu korban diskriminasi peristiwa tahun 1965. Warga di kampung Banyu Urip juga pernah digoyang isu rasial pada era reformasi tahun 1998, namun semuanya dapat digagalkan karena keguyuban warga setempat.
Hadi Utomo menuturkan, sejak tahun 1948 hingga 1965 penghuni “gedung setan” hanya etnis Tionghoa. Mereka ditampung di gedung tersebut karena menjadi korban kekerasan rasial pada zaman itu. Banyak etnis Tionghoa di kota Surabaya dibunuh oleh tentara dan “rakyat pribumi”. Untuk mengamankan dan menghindari lebih banyak jatuhnya korban jiwa, Teng Kun Gwan, pengusaha kaya pada saat itu, merelakan bangunan miliknya sebagai tempat berlindung. “Sejak saat itu kehidupan di “gedung setan” terus berkembang. Sekarang sudah ada sekitar 40 keluarga yang hidup di gedung ini,” katanya.
Seiring berjalannya waktu, jumlah komunitas Tionghoa “asli” di “gedung setan” mulai berkurang. Banyak di antara mereka menikah dengan etnis Jawa dan Madura. Dari pernikahan beda etnis inilah kehidupan ala Tionghoa yang biasanya cenderung eksklusif sudah tidak ada lagi. Mereka mampu menghapus sekat perbedaan.
Berkurangnya jumlah penduduk di “gedung setan” juga dikarenakan banyak penghuni yang memiliki rumah pribadi di Surabaya, Gresik, dan Sidoarjo. Mereka hanya sesekali berkunjung ke rumah lama untuk mengobati rasa kangen.
Akankah Tinggal Kenangan?
Hadi Utomo mengatakan, pengalaman hidup di “gedung setan” mungkin tidak akan dilupakannya hingga akhir hayat. Pria kelahiran tahun 1930 ini menghabiskan hidupnya di “gedung setan” sejak usia 11 tahun.
Di “gedung setan” ia mempunyai banyak kenangan dan mendapatkan pelajaran hidup. Mulai dari menghargai sesama hingga menolong orang yang membutuhkan. Baginya, seluruh penghuni “gedung setan” adalah sebuah keluarga. Jika ada yang sakit, semuanya juga ikut merasakan. Begitu pula sebaliknya.
Saat mendengar rencana Pemerintah Kota Surabaya akan menetapkan “gedung setan” sebagai salah satu bangunan cagar budaya, Hadi Utomo tidak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya berkata, sebagai warga negara, ia dan seluruh penghuni akan manut pada keputusan pemerintah.
Meski demikian, Hadi Utomo meminta pemerintah memperhatikan nasib para penghuni yang sekarang kebanyakan kaum jompo. Jika penghuni harus digusur, Hadi meminta pemerintah memberikan tempat atau ganti rugi yang layak. Apalagi mereka bukan penduduk liar. Mereka memiliki kartu tanda penduduk dan kartu keluarga serta membayar pajak, listrik, dan iuran lainnya. “Kami ini warga negara dan penghuni yang sah. Bukti yang kami miliki sudah cukup kuat,” katanya.
Bagaimana jika Pemerintah Kota Surabaya tidak bersedia memberikan tempat pengganti atau ganti rugi? Soal itu, Hadi Utomo akan menyerahkan secara penuh kepada penghuni. Jika penghuni memutuskan menolak, dia siap melawan. Demikian juga sebaliknya.
Wali Kota Surabaya Bambang DH mengatakan memang sedang mendata semua bangunan di Surabaya yang masuk dalam kategori cagar budaya. Tidak terkecuali “gedung setan”. Ia memastikan akan menertibkan bangunan cagar budaya yang sudah berubah fungsi.
Khusus untuk “gedung setan”, Bambang DH mengaku tidak ada keinginan memindahkan para penghuninya. Ia lebih memilih untuk menata kembali dan memperbaikinya agar bisa dikembangkan sebagai tempat wisata. “Jika dikelola dengan baik, ‘gedung setan’ akan menjadi tempat wisata unggulan di Surabaya. Adanya penghuni di tempat itu menjadi bukti sejarah perjalanan panjang bangsa Indonesia, dan ini harus dikembangkan,” katanya.
Suasana kampung Banyu Urip Wetan, Surabaya, pagi itu ramai sekali lalu-lalang orang. Tampak di antara mereka menempatkan rombong atau gerobak yang berisi sayur, daging, dan barang-barang lainnya. Ya, itulah suasana kehidupan sehari-hari warga di sekitar “gedung setan”. Sebagian besar pedagang itu para penghuni “gedung setan”, yang mayoritas etnis Tionghoa. Mereka tidak canggung berbaur dengan para pedagang dari etnis Madura, Jawa, Batak, dan Bugis.
Menurut Hadi Utomo, salah satu pengurus “gedung setan”, para penghuni gedung dan warga Banyu Urip Wetan IA menjunjung tinggi pluralisme. Mereka tidak mudah terkotak-kotak oleh isu-isu agama.
Penghuni gedung itu korban diskriminasi peristiwa tahun 1965. Warga di kampung Banyu Urip juga pernah digoyang isu rasial pada era reformasi tahun 1998, namun semuanya dapat digagalkan karena keguyuban warga setempat.
Hadi Utomo menuturkan, sejak tahun 1948 hingga 1965 penghuni “gedung setan” hanya etnis Tionghoa. Mereka ditampung di gedung tersebut karena menjadi korban kekerasan rasial pada zaman itu. Banyak etnis Tionghoa di kota Surabaya dibunuh oleh tentara dan “rakyat pribumi”. Untuk mengamankan dan menghindari lebih banyak jatuhnya korban jiwa, Teng Kun Gwan, pengusaha kaya pada saat itu, merelakan bangunan miliknya sebagai tempat berlindung. “Sejak saat itu kehidupan di “gedung setan” terus berkembang. Sekarang sudah ada sekitar 40 keluarga yang hidup di gedung ini,” katanya.
Seiring berjalannya waktu, jumlah komunitas Tionghoa “asli” di “gedung setan” mulai berkurang. Banyak di antara mereka menikah dengan etnis Jawa dan Madura. Dari pernikahan beda etnis inilah kehidupan ala Tionghoa yang biasanya cenderung eksklusif sudah tidak ada lagi. Mereka mampu menghapus sekat perbedaan.
Berkurangnya jumlah penduduk di “gedung setan” juga dikarenakan banyak penghuni yang memiliki rumah pribadi di Surabaya, Gresik, dan Sidoarjo. Mereka hanya sesekali berkunjung ke rumah lama untuk mengobati rasa kangen.
Akankah Tinggal Kenangan?
Hadi Utomo mengatakan, pengalaman hidup di “gedung setan” mungkin tidak akan dilupakannya hingga akhir hayat. Pria kelahiran tahun 1930 ini menghabiskan hidupnya di “gedung setan” sejak usia 11 tahun.
Di “gedung setan” ia mempunyai banyak kenangan dan mendapatkan pelajaran hidup. Mulai dari menghargai sesama hingga menolong orang yang membutuhkan. Baginya, seluruh penghuni “gedung setan” adalah sebuah keluarga. Jika ada yang sakit, semuanya juga ikut merasakan. Begitu pula sebaliknya.
Saat mendengar rencana Pemerintah Kota Surabaya akan menetapkan “gedung setan” sebagai salah satu bangunan cagar budaya, Hadi Utomo tidak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya berkata, sebagai warga negara, ia dan seluruh penghuni akan manut pada keputusan pemerintah.
Meski demikian, Hadi Utomo meminta pemerintah memperhatikan nasib para penghuni yang sekarang kebanyakan kaum jompo. Jika penghuni harus digusur, Hadi meminta pemerintah memberikan tempat atau ganti rugi yang layak. Apalagi mereka bukan penduduk liar. Mereka memiliki kartu tanda penduduk dan kartu keluarga serta membayar pajak, listrik, dan iuran lainnya. “Kami ini warga negara dan penghuni yang sah. Bukti yang kami miliki sudah cukup kuat,” katanya.
Bagaimana jika Pemerintah Kota Surabaya tidak bersedia memberikan tempat pengganti atau ganti rugi? Soal itu, Hadi Utomo akan menyerahkan secara penuh kepada penghuni. Jika penghuni memutuskan menolak, dia siap melawan. Demikian juga sebaliknya.
Wali Kota Surabaya Bambang DH mengatakan memang sedang mendata semua bangunan di Surabaya yang masuk dalam kategori cagar budaya. Tidak terkecuali “gedung setan”. Ia memastikan akan menertibkan bangunan cagar budaya yang sudah berubah fungsi.
Khusus untuk “gedung setan”, Bambang DH mengaku tidak ada keinginan memindahkan para penghuninya. Ia lebih memilih untuk menata kembali dan memperbaikinya agar bisa dikembangkan sebagai tempat wisata. “Jika dikelola dengan baik, ‘gedung setan’ akan menjadi tempat wisata unggulan di Surabaya. Adanya penghuni di tempat itu menjadi bukti sejarah perjalanan panjang bangsa Indonesia, dan ini harus dikembangkan,” katanya.
Sejarah Gedung Setan
Asal-usul atau sejarah bangunan tua berwarna putih kusam ini memang belum diketahui secara autentik. Namun, dari cerita Hadi Utomo, “gedung setan” memang sengaja diberi kesan angker karena dulu banyak pencuri yang menyasar gedung yang dulu juga menjadi rumah walet ini.
Diperkirakan bangunan gedung ini dibangun pada masa pendudukan Belanda. Teng Kun Gwan atau Gunawan Santoso merupakan pemilik gedung ini.
Pada zaman dulu, gedung ini merupakan kompleks persemayaman warga Tionghoa dan berada dalam satu kompleks dengan pemakaman Cina. Para penghuni menempati secara turun-temurun, sejak gedung ini menjadi tempat penampungan pengungsi keturunan etnis Cina-Jawa, sekitar tahun 1948-1949.
Setelah peristiwa 1965, “gedung setan” menjadi bong (pemakaman Cina) dan berubah menjadi hunian penduduk. Sampai saat ini para penghuni awal dan keturunannya masih terus menempati gedung ini. Gedung dua lantai seluas 400 meter persegi ini dihuni 40 keluarga atau sekitar 150 jiwa. Kebanyakan mereka etnis Tionghoa dan beberapa di antaranya keturunan Tionghoa-Jawa. Di lantai dua terdapat gereja Pantekosta, tempat penghuni dan penduduk sekitar beribadah.
Asal-usul atau sejarah bangunan tua berwarna putih kusam ini memang belum diketahui secara autentik. Namun, dari cerita Hadi Utomo, “gedung setan” memang sengaja diberi kesan angker karena dulu banyak pencuri yang menyasar gedung yang dulu juga menjadi rumah walet ini.
Diperkirakan bangunan gedung ini dibangun pada masa pendudukan Belanda. Teng Kun Gwan atau Gunawan Santoso merupakan pemilik gedung ini.
Pada zaman dulu, gedung ini merupakan kompleks persemayaman warga Tionghoa dan berada dalam satu kompleks dengan pemakaman Cina. Para penghuni menempati secara turun-temurun, sejak gedung ini menjadi tempat penampungan pengungsi keturunan etnis Cina-Jawa, sekitar tahun 1948-1949.
Setelah peristiwa 1965, “gedung setan” menjadi bong (pemakaman Cina) dan berubah menjadi hunian penduduk. Sampai saat ini para penghuni awal dan keturunannya masih terus menempati gedung ini. Gedung dua lantai seluas 400 meter persegi ini dihuni 40 keluarga atau sekitar 150 jiwa. Kebanyakan mereka etnis Tionghoa dan beberapa di antaranya keturunan Tionghoa-Jawa. Di lantai dua terdapat gereja Pantekosta, tempat penghuni dan penduduk sekitar beribadah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar