Sedulur papat, limo pancer. Kesatuan utuh yang tidak bisa dipisahkan bagi masyarakat Jawa. Konsep yang memuat sifat dan ciri manusia sejati di mana terkandung kekuatan, semangat, kecerdikan, dan kesucian, akan membawa manusia menuju sosok sejati atau manunggaling kawula gusti. Sosok manusia yang bisa menghargai diri sendiri, orang lain, dan alam semesta.
Konsep manusia sejati dirangkai Romo Vincensius Kirjito Pr dalam membina kerukunan antarumat beragama di lereng Merapi. Melalui pameran foto bertajuk Sedulur Merapi yang digelar 1-14 Februari 2010, romo yang telah 9 tahun mengabdikan diri pada masyarakat lereng Merapi ini mencoba menunjukkan gambaran manusia sejati pada masyarakat Surabaya.
Pameran foto Sedulur Merapi secara jelas memperlihatkan bagaimana manusia berinteraksi dengan alam dan seisinya. Satu manusia merusak, manusia lain akan jadi korbannya. Pameran 50 foto yang melibatkan 27 wartawan foto dari dalam dan luar negeri ini menyadarkan kita akan kerukunan dan kebersamaan serta sikap saling gotong royong antara alam dan manusia.
Alam sebagai GuruGP Sindhunata SJ, romo yang juga budayawan, mengatakan alam adalah guru yang dengan keras mengajarkan manusia harus berani berdamai dengan apa pun dan siapa pun, termasuk hal yang mungkin tidak kita sukai.
Dari alam kita juga bisa belajar bahwa tak ada perdamaian tanpa keadilan. Dan tak mungkin ada keadilan jika manusia tidak berhati-hati dalam mengolah kekayaan alam yang terbatas ini. Alamlah yang akhirnya mengajari manusia bahwa tidak akan ada perdamaian di antara manusia tanpa perdamaian dengan alam.
Sedulur Merapi mengingatkan kita bahwa alam adalah realitas terakhir yang akan membuat kita terkejut dan akan membuat wajah kita tertampar, di mana ada satu fakta yang menyebutkan tidak ada gunanya kita berpegang teguh pada prinsip kebenaran ilahi, termasuk prinsip kebenaran agama yang kita anut masing-masing, jika kita masih masih berada di bawah ancaman keterbatasan sumber daya alam dan sakitnya alam karena keserakahan manusia.
Keterbatasan sumber daya alam harus membuat manusia membuang segala perbedaan dan bekerja sama mencari jalan keluar, agar dapat menyambung kehidupan menjadi jauh lebih baik. Manusia juga harus berani hidup rukun dan damai. Sebab, jika tidak demikian, manusia akan punah akibat “sakit”nya alam suatu saat nanti.
Democracy of All Creation
Romo Kirjito mengatakan, kehidupan di lereng Merapi yang begitu ramah namun “ganas” mewajibkan seluruh warga desa di Kecamatan Dukun, Magelang, bahu-membahu dalam membangun alam sekitar. Ceroboh sedikit, bahaya besar pasti mengancam, apalagi bila wedus gembel atau debu dari letusan Gunung Merapi datang menerjang.
“Dari kondisi alam di lereng Merapi inilah manusia tidak boleh sombong dengan ego masing-masing. Mereka harus runtang-runtung (bergandengan) dalam membangun ekologis alam,” kata romo yang juga kepala paroki Gereja Katolik Gubug Selo Merapi ini.
Romo Kirjito yang mendapat sebutan Romo Ndeso ini menegaskan, di lereng Merapi tidak ada istilah manusia Islam, Katolik, Kejawen, Hindu, dan sebagainya. Yang ada mereka adalah satu kesatuan utuh yang hidup berdampingan dengan binatang dan alam. Sebab, pada hakikat dan makrifatnya, semua unsur tersebut mempunyai hak dan kedudukan yang sama di hadapan Gusti Kang Maha Suci.
Menurut Romo Kirjito, kehidupan di lereng Merapi tidak ubahnya magma yang tersimpan di bawah perut Merapi. Diam, tenang, dan tiba-tiba “muntah” bila ada yang menyakiti. Misalnya saja, pada saat merebak penambangan pasir di kali yang digunakan untuk penampungan lahar. Para penduduk melakukan protes keras terhadap penambangan itu dengan cara berkreasi melalui seni dan budaya, yang mengambarkan kerusakan lingkungan akibat perbuatan para penambang pasir.
Mereka juga menunjukkan kepada masyarakat perkotaan yang cenderung egosentris dengan tarian-tarian dan kegiatan lain yang mengambarkan kebersamaan, baik dalam pesta perkawinan, Idul Fitri, maupun perayaan Natal. Mereka melakukannya bersama-sama, meski berbeda keyakinan.
Masyarakat di lereng Merapi telah banyak memberikan pelajaran berharga bagi semua umat di bumi. Terlebih, kata Sindhunata, mereka berhasil menciptakan democracy of all creation. Mereka juga mengajarkan kepada makhluk yang hidup di kota untuk menyertakan alam semesta dalam kehidupannya.
Dari konsep lereng Merapi itu, manusia dan alam terikat secara radikal. Karena diikat oleh alam, manusia menjadi terikat satu dengan yang lain secara radikal. Jika semua manusia memiliki kesadaran tersebut, hidup di bumi pasti akan membawa kedamaian dan bisa menciptakan paseduluran atau persaudaraan, persis seperti Sedulur Merapi yang digagas Romo Ndeso.
Warga di lereng Merapi memberikan pelajaran makna hidup. Mereka yang dianggap sebagai orang desa, petani, miskin, dan cenderung diabaikan oleh arus besar kebudayaan dan politik, tetap bertahan dengan menunjukkan harga diri dan martabat sebagai manusia sejati, yang mampu menghadapi bahaya buaya atau harimau yang setiap saat siap menerkam.
Satu pesan penting terakhir yang dititipkan oleh para Sedulur Merapi adalah manusia harus mampu menjadi pungkasaning rasa sejati dengan menghargai alam semesta, sehingga kita bisa menikmati samaggi phala atau buah persatuan dari paseduluran.(red)
Konsep manusia sejati dirangkai Romo Vincensius Kirjito Pr dalam membina kerukunan antarumat beragama di lereng Merapi. Melalui pameran foto bertajuk Sedulur Merapi yang digelar 1-14 Februari 2010, romo yang telah 9 tahun mengabdikan diri pada masyarakat lereng Merapi ini mencoba menunjukkan gambaran manusia sejati pada masyarakat Surabaya.
Pameran foto Sedulur Merapi secara jelas memperlihatkan bagaimana manusia berinteraksi dengan alam dan seisinya. Satu manusia merusak, manusia lain akan jadi korbannya. Pameran 50 foto yang melibatkan 27 wartawan foto dari dalam dan luar negeri ini menyadarkan kita akan kerukunan dan kebersamaan serta sikap saling gotong royong antara alam dan manusia.
Alam sebagai GuruGP Sindhunata SJ, romo yang juga budayawan, mengatakan alam adalah guru yang dengan keras mengajarkan manusia harus berani berdamai dengan apa pun dan siapa pun, termasuk hal yang mungkin tidak kita sukai.
Dari alam kita juga bisa belajar bahwa tak ada perdamaian tanpa keadilan. Dan tak mungkin ada keadilan jika manusia tidak berhati-hati dalam mengolah kekayaan alam yang terbatas ini. Alamlah yang akhirnya mengajari manusia bahwa tidak akan ada perdamaian di antara manusia tanpa perdamaian dengan alam.
Sedulur Merapi mengingatkan kita bahwa alam adalah realitas terakhir yang akan membuat kita terkejut dan akan membuat wajah kita tertampar, di mana ada satu fakta yang menyebutkan tidak ada gunanya kita berpegang teguh pada prinsip kebenaran ilahi, termasuk prinsip kebenaran agama yang kita anut masing-masing, jika kita masih masih berada di bawah ancaman keterbatasan sumber daya alam dan sakitnya alam karena keserakahan manusia.
Keterbatasan sumber daya alam harus membuat manusia membuang segala perbedaan dan bekerja sama mencari jalan keluar, agar dapat menyambung kehidupan menjadi jauh lebih baik. Manusia juga harus berani hidup rukun dan damai. Sebab, jika tidak demikian, manusia akan punah akibat “sakit”nya alam suatu saat nanti.
Democracy of All Creation
Romo Kirjito mengatakan, kehidupan di lereng Merapi yang begitu ramah namun “ganas” mewajibkan seluruh warga desa di Kecamatan Dukun, Magelang, bahu-membahu dalam membangun alam sekitar. Ceroboh sedikit, bahaya besar pasti mengancam, apalagi bila wedus gembel atau debu dari letusan Gunung Merapi datang menerjang.
“Dari kondisi alam di lereng Merapi inilah manusia tidak boleh sombong dengan ego masing-masing. Mereka harus runtang-runtung (bergandengan) dalam membangun ekologis alam,” kata romo yang juga kepala paroki Gereja Katolik Gubug Selo Merapi ini.
Romo Kirjito yang mendapat sebutan Romo Ndeso ini menegaskan, di lereng Merapi tidak ada istilah manusia Islam, Katolik, Kejawen, Hindu, dan sebagainya. Yang ada mereka adalah satu kesatuan utuh yang hidup berdampingan dengan binatang dan alam. Sebab, pada hakikat dan makrifatnya, semua unsur tersebut mempunyai hak dan kedudukan yang sama di hadapan Gusti Kang Maha Suci.
Menurut Romo Kirjito, kehidupan di lereng Merapi tidak ubahnya magma yang tersimpan di bawah perut Merapi. Diam, tenang, dan tiba-tiba “muntah” bila ada yang menyakiti. Misalnya saja, pada saat merebak penambangan pasir di kali yang digunakan untuk penampungan lahar. Para penduduk melakukan protes keras terhadap penambangan itu dengan cara berkreasi melalui seni dan budaya, yang mengambarkan kerusakan lingkungan akibat perbuatan para penambang pasir.
Mereka juga menunjukkan kepada masyarakat perkotaan yang cenderung egosentris dengan tarian-tarian dan kegiatan lain yang mengambarkan kebersamaan, baik dalam pesta perkawinan, Idul Fitri, maupun perayaan Natal. Mereka melakukannya bersama-sama, meski berbeda keyakinan.
Masyarakat di lereng Merapi telah banyak memberikan pelajaran berharga bagi semua umat di bumi. Terlebih, kata Sindhunata, mereka berhasil menciptakan democracy of all creation. Mereka juga mengajarkan kepada makhluk yang hidup di kota untuk menyertakan alam semesta dalam kehidupannya.
Dari konsep lereng Merapi itu, manusia dan alam terikat secara radikal. Karena diikat oleh alam, manusia menjadi terikat satu dengan yang lain secara radikal. Jika semua manusia memiliki kesadaran tersebut, hidup di bumi pasti akan membawa kedamaian dan bisa menciptakan paseduluran atau persaudaraan, persis seperti Sedulur Merapi yang digagas Romo Ndeso.
Warga di lereng Merapi memberikan pelajaran makna hidup. Mereka yang dianggap sebagai orang desa, petani, miskin, dan cenderung diabaikan oleh arus besar kebudayaan dan politik, tetap bertahan dengan menunjukkan harga diri dan martabat sebagai manusia sejati, yang mampu menghadapi bahaya buaya atau harimau yang setiap saat siap menerkam.
Satu pesan penting terakhir yang dititipkan oleh para Sedulur Merapi adalah manusia harus mampu menjadi pungkasaning rasa sejati dengan menghargai alam semesta, sehingga kita bisa menikmati samaggi phala atau buah persatuan dari paseduluran.(red)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar