Pemerintah menggenjot jumlah siswa sekolah menengah kejuruan. Minim sarana praktik dan tenaga pengajar memaksa SMK menguber lesatan laju teknologi.
Lebih dari dua pekan Arif tidak bekerja. Bisnis desain grafisnya sepi order. Pemuda perantau berusia 29 tahun, asal Medan, Sumatera Utara, ini tiba di Jakarta tahun 2005. Sejak itu dia mencari penghidupan sebagai pekerja lepas desain grafis dan tata letak (lay out) di sejumlah koran dan majalah. Sebagai bisnis sampingan, Arif membuka rental pengetikan skripsi dan percetakan kecil-kecilan.
Arif tidak pernah mencita-citakan profesi yang dilakoninya saat ini. “Saya tadinya bercita-cita jadi teknisi di Telkom,” ujar Arif pada suatu malam di kios pengetikannya yang sederhana.
Lulus sekolah menengah pertama tahun 1995, Arif dipaksa ayahnya masuk sekolah menengah teknologi (STM). Alasannya, lulusan STM lebih siap kerja dibandingkan lulusan SMA. “Ayah pensiun tahun 1992. Karena keterbatasan dana, dia memaksa saya masuk STM, karena lulusannya siap pakai. Kalau masuk SMA, dia harus menyiapkan duit kuliah, karena lulusan SMA tidak punya keterampilan.”
Arif sebenarnya lebih menginginkan masuk SMA. Dia ingin kuliah ke perguruan tinggi. Dengan nilai kelulusan (NEM) 47, Arif tergolong anak cerdas. Bermodal nilai kelulusan itu dia sebenarnya dapat masuk sekolah favorit di Medan. Namun apa lacur. Sebagai anak dia harus menuruti perintah sang ayah. Mengabaikan tes penerimaan siswa STM Negeri 2 (sekarang SMK Negeri 2) Medan, Arif dipaksa masuk ke Jurusan Elektronik STM Medan Putri.
Meleset dari harapan ayahnya, Arif hingga kini tak pernah menjadi teknisi elektronik. Sempat kuliah program diploma I jurusan operasi program komputer, Arif alhirnya malah malang melintang menjadi pekerja desain grafis dan tata letak di sejumlah surat kabar harian di Medan. Perwajahan harian Sumatera, harian Analog, dan koran Medan Bisnis pernah digarapnya.
Arif mengaku tak berminat menjadi teknisi elektronik. Meski pengetahuan yang diperolehnya di STM dapat menjadi modal membuka usaha kecil servis TV dan radio. “Minimal buka servis di depan rumah,” ujarnya.
Kemampuan teknis Arif tidak diimbangi kemampuan wirausaha. Inilah yang menyebabkan lulusan STM hanya dianggap calon tukang, ketimbang calon pengusaha. “Kegamangan waktu kita tamat, kita nggak berani buka usaha sendiri. Karena tidak pernah diajari cara membuka usaha. Hanya diajari jadi pekerja. Seharusnya paling tidak ada pelajaran hitung-hitungan. Misalnya, buka bengkel sepeda motor berapa modal awalnya.”
Jurang Hitam Dunia Industri
Kisah Arif menunjukkan betapa dalam jurang angkatan kerja dengan ketersediaan lapangan kerja yang dibutuhkan dunia industri. Pada pemerintahan Orde Baru, jurang itu pernah dijembatani dengan mimpi menjadikan Indonesia sebagai negara industri. Caranya dengan mendirikan sekolah menengah kejuruan di seantero negeri. Presiden Soeharto kal itu membayangkan lulusan SMK menjadi sendi penyokong industri Indonesia.
Program ini justru mengantarkan para lulusan SMK hanya sebagai bakal tukang, calon buruh. Akibatnya, lulusan SMK saat itu banyak yang memilih merantau ke Jepang yang berani memberi upah lebih besar.
Tumbangnya Orde Baru mengubur popularitas SMK. Menurut pengamat pendidikan Darmaningtyas, krisis ekonomi 1998 menyebabkan banyak industri gulung tikar dan membuyarkan masa depan para lulusan SMK. “Ketika perusahaan tutup akibat krisis, dengan sendirinya, alumni SMK banyak yang nganggur,” katanya.
Sebelas tahun reformasi bergulir, sektor industri masih malas bergeliat. Pemerintah menanggapinya dengan memopulerkan kembali SMK. Lulusan sekolah menengah pertama dianjurkan masuk sekolah kejuruan. Serupa dengan tujuan pemerintah Orde Baru, lulusan SMK diharapkan mampu merangsang laju pertumbuhan industri.
Direktur Jenderal Pembinaan Sekolah Kejuruan Departemen Pendidikan Nasional Joko Sukirno mengatakan, 75% lulusan SMA adalah calon pengangguran. Sebab, hanya 25% lulusan SMA yang melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Sisanya adalah anak-anak muda yang miskin kemampuan kerja.
“Lulusan SMA sekarang satu juta orang,” kata Joko. Jika angka itu ditambah 800 ribu lulusan SMK, tahun ini sekitar 1, 4 juta anak muda belum dipastikan mendapat pekerjaan.
Pemerintah menargetkan hingga tahun 2014 sebanyak 67% lulusan SMP melanjutkan ke SMK. Target ini dua kali lebih tinggi dibandingkan target lulusan SMP yang melanjutkan pendidikan ke SMA. Jika program ini berhasil, diperkirakan pada tahun 2014 sekolah kejuruan di seluruh Indonesia akan dihuni 6,5 juta siswa.
Namun percepatan teknologi menjadi penghalang utama para siswa SMK meraih cita-cita. Banyak SMK yang masih menggunakan kurikulum jadul, yang tidak lagi menjawab tantangan dunia industri modern.
Minim Fasilitas dan Pengajar
Sebagai lembaga pendidikan yang mengajarkan hal-hal praktis, fasilitas ajar adalah modal utama SMK. Sayang, fasilitas yang dimiliki kebanyakan SMK saat ini masih jauh dari tujuan sekolah kejuruan.
“Pendirian SMK pasti dikaitkan dengan pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan industri yang ada di sekitar SMK tersebut,” kata Joko Sukirno.
Akselerasi fasilitas pendidikan yang tidak seiring dengan pertumbuhan ekonomi, menjadi batu sandungan bagi sekolah kejuruan. SMK Grafika Desa Putra Jakarta, misalnya, harus mengeluarkan duit miliaran rupiah untuk membeli mesin praktik demi mengikuti teknologi dan kebutuhan industri.
Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan SMK Grafika Desa Putra Priyono mengatakan, demi mengejar kebutuhan pasar kerja, sekolahnya membeli mesin cetak empat warna CTO Speedmaster seharga Rp 3 miliar lebih. Dana sebesar itu itu belum termasuk harga mesin cetak dua warna seharga Rp 500 juta.
Demi mengejar tuntutan perkembangan teknologi, SMK yang bernaung pada Yayasan Budi Mulia ini menyediakan 24 unit komputer merek Apple. Jenis komputer canggih ini terkenal mumpuni untuk desain grafis.
Namun fasilitas yang disediakan SMK swasta tidak semutakhir yang disediakan SMK negeri. Perbedaan kian mencolok pada SMK negeri yang baru dibangun.
Menurut Darmaningtyas, anggaran negara yang terbatas menyebabkan pemerintah seret menyediakan fasilitas prakrik bagi SMK negeri yang baru didirikan. “Karena SMK baru baru mengejar ruang belajar-mengajar, praktiknya belakangan. Pengadaan ruang dan peralatan itu butuh biaya mahal, tapi anggarannya terbatas,” ujar pengamat pendidikan ini.
SMK Negeri 9 Surabaya menjadi salah satu korban minimnya anggaran pemerintah untuk sekolah kejuruan. Kepala Sekolah Djoko Pratmodjo menuturkan, tahun 2009 Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tidak mengalir ke sekolahnya. Sementara janji bantuan dari Pemerintah Kota dan Pemerintah Provinsi baru sebatas janji. “Soal bangku sekolah, kami bahkan harus menyewa,” kata Djoko.
Dari segi fasilitas, SMKN 9 yang membuka jurusan teater, musik, karawitan, pedalangan, dan tari ini masih kelimpungan. SMK yang sukses mencetak dalang Jawa Timur-an beken seperti Ki Sinarto dan Ki Surono ini menyewa alat pertunjukan wayang untuk praktik dalang. Perangkat praktik yang tersisa di sekolah sudah kuno dan ketinggalan zaman.
“Kalau untuk membeli, jelas kami butuh bantuan, karena harganya (peralatan dalang) 70 juta hingga 200 juta rupiah per set. Jika ada pementasan, kami harus menyewa perlengkapan wayang seharga 2 juta rupiah,” keluh Djoko Pratmodjo.
Masalah lain yang tidak kalah tragis adalah penyesuaian bidang keilmuan. Pengamat pendidikan Darmaningtyas mengatakan, penyesuaian kurikulum sekolah kejuruan dengan perubahan teknologi sangat sulit dilakukan. Jalan yang mungkin ditempuh untuk mengantisipasi ketidakseimbangan percepatan teknologi dengan kurikulum, adalah dengan mengajarkan ilmu-ilmu dasar yang prinsipil.
Darmaningtyas memberikan contoh, guru harus memperkuat pengetahuan murid SMK terhadap rumus dasar matematika dalam teknologi otomotif. Dengan pemahaman yang fasih terhadap rumus dasar otomotif, murid diharapkan dapat mengembangkan variasi teknisnya. “Katakan misalnya matematika, rumusnya kan tetap dalam membuat teknologi. Yang berbeda variasinya. Biasanya guru-guru terjebak pada variasi, bukan pada penguasaan ilmu dasar. Tapi belajar ilmu dasar menjemukan. Murid-murid sering tidak tahan belajar ilmu dasar.”
Selain sarana dan kurikulum, Direktur Jenderal Pembinaan Sekolah Kejuruan Departemen Pendidikan Nasional Joko Sukirno mengakui ketersediaan tenaga pengajar menjadi hambatan terbesar dalam pengembangan siswa SMK. Bertambahnya 500 siswa SMK tahun ini setidaknya membutuhkan 24 ribu guru. Satu guru dirasiokan mengajar 30 siswa.
Untuk menutup bolong tenaga pengajar itu, pemerintah memasok guru dari sekolah swasta dan mahasiswa tingkat akhir yang bidang studinya sesuai dengan jurusan SMK. “Kalau dipasok lewat pegawai negeri, tidak ada pegawai negeri untuk kejuruan. Belum pernah ada dalam sejarah. Padahal ini ada anak menunggu untuk diajar,” kata Joko.
Pendidikan Mental
Meski banyak hambatan, Joko Sukirno yakin lulusan SMK tidak dipersiapkan sekadar menjadi tukang dan buruh. “Kita ingin mencetak sumber daya manusia tingkat menengah yang tidak hanya bisa bekerja, tapi juga bisa bekerja dengan dirinya sendiri. Kita akan cetak enterpreneur,” katanya.
Menurut Joko, inilah yang membedakan SMK sekarang dengan sekolah kejuruan yang didirikan pada zaman Orde Baru. Pada SMK “masa depan” ini murid tidak hanya diajar bidang keahlian, tapi juga dilatih menjalankan bisnis sesuai bidang keahlian.
Tidak hanya itu, SMK juga akan menerapkan ilmu pengetahuan yang menyiapkan siswa melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Kebijakan ini membuka kesempatan bagi siswa SMK menjadi teknokrat sesuai bidang keahlian. “Sekarang kita desain ilmu-ilmu untuk mempersiapkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi,” kata Joko.
Sejalan dengan Joko, Darmaningtyas menyebut pembekal ilmu kewirausahaan bagi siswa sekolah kejuruan sebagai perubahan sikap mental. Membentuk mental siswa SMK agar mandiri, akan melenyapkan ketergantungan pada lahan pekerjaan yang terbatas. Namun, jika ini tidak digarap serius, dia khawatir dorongan pemerintah agar lulusan sekolah menengah pertama melaju ke SMK hanya akan menciptakan pengangguran baru.
Darmaningtyas mengingatkan, peningkatan jumlah siswa SMK harus dibarengi rangsangan pertumbuhan ekonomi negara. Sebab, ekonomi yang mandek akan menyurutkan industri dan mempersempit lapangan kerja. Jika demikian, lulusan SMK akan terperosok dalam lumpur isap pengangguran. (red)