Buruh migran itu stres akibat trauma di negeri seberang. Gaji tak dibayar. Dijadikan hadiah taruhan oleh majikan.
SEORANG perempuan muda berparas cantik tertidur pulas di ruang paviliun Cempaka RSUD Jombang. Dia adalah Elin Prasetyawati, 29 tahun, seorang buruh migran yang baru saja pulang dari Singapura. Tidak ada aktivitas yang dilakukan perempuan beranak empat ini kecuali tidur, menjerit, dan marah-marah tanpa sebab yang jelas.
Apa yang menyebabkan Elin menjadi seperti itu? Kabarnya ia mengalami trauma selama bekerja di Singapura. Tidak itu saja, kondisi kejiwaan Elin juga diperburuk dengan adanya disharmoni dalam kehidupan rumah tangganya.
Koordinator Divisi Pendampingan Woman Crisis Centre Jombang Sholahuddin yang setia mendampingi Elin mengatakan, proses perjalanan Elin sebelum dan selama bekerja di Singapura tak ubah dengan buruh migran lain. Ia harus terjerat dalam lingkaran mafia yang sering membelenggu dan menjebak keberadaan para buruh migran.
Elin berangkat ke Singapura pada 10 Juni 2008 melalui PT MLS Surabaya. Ia berangkat penuh keterpaksaan karena perintah suami, Noor Afandi, 34 tahun. Ia juga keberatan karena harus meninggal buah hatinya yang masih berumur dua bulan. Elin pun harus berangkat bermusafir ke Negeri Singa, dengan harapan bisa memperoleh sedikit rezeki dari negara mungil ini. Ia berangkat dengan tekad memperbaiki ekonomi keluarga.
Setiba di Singapura ia diterima sebuah agen buruh migran di sana. Namun, dasar apes, ternyata agen tersebut merupakan jaringan mafia yang memperalat buruh migran. Selama bekerja di Singapura, Elin pun harus berganti majikan selama empat kali. Tidak itu saja, ia juga menjadi korban perdagangan manusia oleh jaringan mafia di Singapura.
Elin dijadikan taruhan para majikan di Singapura. Dalam taruhan tersebut, yang menang berhak mendapatkan Elin untuk dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga. “Tidak menutup kemungkinan Elin dijadikan korban eksploitasi seksual oleh para majikan di sana. Tanda-tanda itu muncul saat kami menyinggung soal ini ke Elin,” kata Sholahuddin.
Tidak tahan dengan perlakuan majikan, Elin memutuskan pulang ke tanah kelahirannya di Desa Genukwatu, Kecamatan Ngoro, Jombang, pada 31 Mei 2009.
Setiba di Bandara Juanda Surabaya, Elin melanjutkan perjalanan ke Terminal Bungurasih. Namun, nasib sial kembali menimpa. Ia dirampok oleh sopir taksi yang ditumpanginya. Uang Rp 600 ribu, paspor, dan surat-surat penting lain dibawa kabur perampok.
Elin yang saat itu kebingungan hanya bisa berjalan ke sana-kemari di Terminal Bungurasih yang terkenal tidak ramah dengan warga pendatang. Namun, Dewi Fortuna masih mendekat ke Elin. Ia ditemukan oleh salah satu tetangga desanya, kemudian dipulangkan ke kampung halamannya.
Selama berada di kampung halaman, kondisi kejiwaan Elin semakin tidak stabil. Terlebih dia mendapati kenyataan buah hati yang ditinggalkannya dalam usia dua bulan kini telah tiada. Dari keterangan Muhtadin, ketua RT setempat, anak keempat Elin meninggal pada usia 8 bulan karena sakit. Sebelumnya anak ketiga juga meninggal karena sakit, beberapa bulan sebelum Elin berangkat ke Singapura.
Elin yang semula ceria lambat laun menjadi menjadi pendiam dan penyendiri. Puncaknya terjadi pada 19 Juni lalu. Pada saat itu Elin mengamuk dan melempari kaca rumahnya hingga pecah. Bahkan, ia sering mengejar dan melempari siapa pun yang berada di dekatnya. (bersambung)
SEORANG perempuan muda berparas cantik tertidur pulas di ruang paviliun Cempaka RSUD Jombang. Dia adalah Elin Prasetyawati, 29 tahun, seorang buruh migran yang baru saja pulang dari Singapura. Tidak ada aktivitas yang dilakukan perempuan beranak empat ini kecuali tidur, menjerit, dan marah-marah tanpa sebab yang jelas.
Apa yang menyebabkan Elin menjadi seperti itu? Kabarnya ia mengalami trauma selama bekerja di Singapura. Tidak itu saja, kondisi kejiwaan Elin juga diperburuk dengan adanya disharmoni dalam kehidupan rumah tangganya.
Koordinator Divisi Pendampingan Woman Crisis Centre Jombang Sholahuddin yang setia mendampingi Elin mengatakan, proses perjalanan Elin sebelum dan selama bekerja di Singapura tak ubah dengan buruh migran lain. Ia harus terjerat dalam lingkaran mafia yang sering membelenggu dan menjebak keberadaan para buruh migran.
Elin berangkat ke Singapura pada 10 Juni 2008 melalui PT MLS Surabaya. Ia berangkat penuh keterpaksaan karena perintah suami, Noor Afandi, 34 tahun. Ia juga keberatan karena harus meninggal buah hatinya yang masih berumur dua bulan. Elin pun harus berangkat bermusafir ke Negeri Singa, dengan harapan bisa memperoleh sedikit rezeki dari negara mungil ini. Ia berangkat dengan tekad memperbaiki ekonomi keluarga.
Setiba di Singapura ia diterima sebuah agen buruh migran di sana. Namun, dasar apes, ternyata agen tersebut merupakan jaringan mafia yang memperalat buruh migran. Selama bekerja di Singapura, Elin pun harus berganti majikan selama empat kali. Tidak itu saja, ia juga menjadi korban perdagangan manusia oleh jaringan mafia di Singapura.
Elin dijadikan taruhan para majikan di Singapura. Dalam taruhan tersebut, yang menang berhak mendapatkan Elin untuk dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga. “Tidak menutup kemungkinan Elin dijadikan korban eksploitasi seksual oleh para majikan di sana. Tanda-tanda itu muncul saat kami menyinggung soal ini ke Elin,” kata Sholahuddin.
Tidak tahan dengan perlakuan majikan, Elin memutuskan pulang ke tanah kelahirannya di Desa Genukwatu, Kecamatan Ngoro, Jombang, pada 31 Mei 2009.
Setiba di Bandara Juanda Surabaya, Elin melanjutkan perjalanan ke Terminal Bungurasih. Namun, nasib sial kembali menimpa. Ia dirampok oleh sopir taksi yang ditumpanginya. Uang Rp 600 ribu, paspor, dan surat-surat penting lain dibawa kabur perampok.
Elin yang saat itu kebingungan hanya bisa berjalan ke sana-kemari di Terminal Bungurasih yang terkenal tidak ramah dengan warga pendatang. Namun, Dewi Fortuna masih mendekat ke Elin. Ia ditemukan oleh salah satu tetangga desanya, kemudian dipulangkan ke kampung halamannya.
Selama berada di kampung halaman, kondisi kejiwaan Elin semakin tidak stabil. Terlebih dia mendapati kenyataan buah hati yang ditinggalkannya dalam usia dua bulan kini telah tiada. Dari keterangan Muhtadin, ketua RT setempat, anak keempat Elin meninggal pada usia 8 bulan karena sakit. Sebelumnya anak ketiga juga meninggal karena sakit, beberapa bulan sebelum Elin berangkat ke Singapura.
Elin yang semula ceria lambat laun menjadi menjadi pendiam dan penyendiri. Puncaknya terjadi pada 19 Juni lalu. Pada saat itu Elin mengamuk dan melempari kaca rumahnya hingga pecah. Bahkan, ia sering mengejar dan melempari siapa pun yang berada di dekatnya. (bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar