Warta Jatim, Surabaya – Anak-anak korban lumpur Lapindo terpaksa tidak melanjutkan sekolah. Penyebabnya adalah akses ke sekolah yang terlalu jauh serta tidak adabantuan kendaraan antar jemput sekolah dari Pemerintah Kabupaten Sidoarjo.
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia Hadi Supeno mengatakan, 29 anak pengungsi korban lumpur Lapindo terpaksa droup out dari SD dan SMP. Mereka dulu ikut mengungsi di Pasar Baru Porong dan kini tinggal di kebun tebu milik PTPN X di Prambon, Krian.
Hadi mendesak Pemkab Sidoarjo lebih memperhatikan kepentingan anak-anak pengungsi korban lumpur Lapindo, terutama menyangkut pendidikan yang selama ini menjadi masalah. "Bagaimanapun, pendidikan adalah modal utama bagi kelangsungan masa depan anak-anak korban lumpur Lapindo," katanya.
Hadi menyatakan Pemkab Sidoarjo melanggar Konvensi Internasional tentang Perlindungan Anak, karena membiarkan anak-anak korban lumpur hidup dalam pengungsian lebih dari setahun. Berdasarkan aturan, anak-anak tersebut hanya dibolehkan tinggal di pengungsian paling lama enam bulan.
Dampak sosial yang dialami anak-anak pengungsi korban lumpur Lapindo sangat besar. Di antaranya minimnya akses pendidikan dan bermain. Juga perkembangan mental yang tidak baik. "Bayangkan saja kalau anak-anak tersebut sampai melihat orang tuanya melakukan hubungan seksual (karena keterbatasan tempat). Ini jelas akan mempengaruhi pola pikir mereka," kata Hadi Supeno di Surabaya. (red)
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia Hadi Supeno mengatakan, 29 anak pengungsi korban lumpur Lapindo terpaksa droup out dari SD dan SMP. Mereka dulu ikut mengungsi di Pasar Baru Porong dan kini tinggal di kebun tebu milik PTPN X di Prambon, Krian.
Hadi mendesak Pemkab Sidoarjo lebih memperhatikan kepentingan anak-anak pengungsi korban lumpur Lapindo, terutama menyangkut pendidikan yang selama ini menjadi masalah. "Bagaimanapun, pendidikan adalah modal utama bagi kelangsungan masa depan anak-anak korban lumpur Lapindo," katanya.
Hadi menyatakan Pemkab Sidoarjo melanggar Konvensi Internasional tentang Perlindungan Anak, karena membiarkan anak-anak korban lumpur hidup dalam pengungsian lebih dari setahun. Berdasarkan aturan, anak-anak tersebut hanya dibolehkan tinggal di pengungsian paling lama enam bulan.
Dampak sosial yang dialami anak-anak pengungsi korban lumpur Lapindo sangat besar. Di antaranya minimnya akses pendidikan dan bermain. Juga perkembangan mental yang tidak baik. "Bayangkan saja kalau anak-anak tersebut sampai melihat orang tuanya melakukan hubungan seksual (karena keterbatasan tempat). Ini jelas akan mempengaruhi pola pikir mereka," kata Hadi Supeno di Surabaya. (red)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar