Harapan rakyat jelata sederhana, namun tak berjawab. Janji calon presiden sesak janji-janji, hampa di ruang pemahaman.
Novri mengeluhkan pundi nafkahnya seret menjelang Pemilihan Umum Presiden 2009. Harapan hajat politik akbar seperti pemilu dan pilpres menggembungkan celengannya menguap sudah.
Pedagang berusia 29 tahun asal Minang ini mengira akan menangguk untung besar seperti pada pemilu legislatif April lalu. Saat itu Novri menangguk untung besar dari menjual perlengkapan kampanye partai politik peserta pemilu.
Namun apa mau dikata, limpahan rezeki tak berulang. Selama masa kampanye pilpres, Novri hanya manyun di rumah kontrakannya, menonton debat kandidat presiden di televisi. “Memang sekarang susah cari uang. Hampir semua teman saya sesama pedagang juga begitu,” katanya.
Novri mengaku kesulitan mendapat modal dagang. Pesanan barang yang mengalir tak digubris lantaran modal cekak. “Kalau ada capres yang punya program meminjamkan modal ke pedagang muda, kenapa tidak (dipilih)?” ujarnya.
Fery Fajri, 27 tahun, staf accounting maintenance ANZ-Panin Bank, Jakarta, mengaku paham dengan program yang ditawarkan para calon presiden. Namun jawabannya tak pasti ketika ditanya soal detail program yang dijanjikan para capres. Dia berpendapat, iklan atau jargon politik lebih renyah “dikunyah” rakyat. “Lebih simpel, lebih dipahami daripada program,” ujarnya.
Satu suara dengan Fery Fajri, Sabarudin, buruh pabrik furniture Indovickers, Jakarta, mengaku nggak ngeh dengan program yang diumbar para capres. Program yang dipahaminya hanya yang nyangkut kepentingan buruh. “Nggak 100 persen paham. Tapi yang janjinya masuk kriteria saya, ke depannya lebih bagus. Misalnya program menghapuskan outsourcing,” katanya.
Beda lagi Tumpal Parulian Simanjuntak, mahasiswa semester akhir jurusan hubungan internasional sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta. Dia mengaku paham betul program ekonomi dan politik yang dijual para capres ketika kampanye. Dengan fasih dia menjelaskan makna istilah neoliberalisme yang sering dijadikan materi perang opini para capres.
“Neoliberalisme itu pasar di mana yang bermain hanya negara maju. Kalau negara berkembang ikut dalam pasar itu hanya dijadikan alat untuk kepentingan nasional negara maju,” jelas Tumpal.
Terlepas benar atau tidak tafsiran Tumpal, deretan komentar tadi menunjukkan pemahaman rakyat sejatinya jauh lebih sederhana dibandingkan ocehan para capres di atas panggung debat yang megah.
Semakin jauh dari Jakarta, pemahaman masyarakat mengenai janji program kerja para capres semakin lamur. Tentu bukan karena rakyat bodoh, tapi karena mimpi sederhana mereka tidak mampu dipahami “otak cerdas” para capres.
“Kulo ngertose calon presiden niku sae-sae omonge. Dadi reregan meh dimurahi tur ono sekolah-
sekolah do rak mbayar. (Saya tahunya calon presiden itu ngomongnya baik-baik. Semua harga akan dijadikan murah dan sekolah-sekolah gratis),” kata Jumini, pedagang sayur di Pasar Bangetayu, Semarang, mengenai program ekonomi para calon presiden.
Dalam kesederhanaan pemahaman itu Jumini berniat ora milih alias golongan putih dalam Pilpres 2009. Dia tidak lagi percaya janji para capres. Ketimbang membuang waktu berangkat ke tempat pemungutan suara, Jumini memilih berjualan. “Mboten usah milih, tho. Pas coblosan dhodhol wae kan luwih migunani kanggo keluarga (Tidak usah memilih saja. Pada hari pemilihan berjualan saja, lebih berguna untuk keluarga).”
Sikap serupa juga ditunjukkan Sherly, pekerja seks komersial di lokalisasi Dolly, Surabaya. Dia bahkan menolak mencerna janji para capres selama kampanye. “Untuk apa dipahami? Lha wong kami tidak pernah diperhatikan oleh mereka,” ujarnya.
Meski golput, Sherly tetap menginginkan presiden terpilih tidak mengabaikan PSK. Pemerintah baru harus mampu membebaskan PSK dari cengkeraman prostitusi. “Jangan gunakan kami sebagai sampah. Setelah dipakai langsung dibuang. Intinya, ciptakan lapangan kerja dan bantuan modal bagi PSK agar kami bisa lepas dari tempat ini,” katanya.
Harapan sederhana menjadi sebuah kemewahan ketika tidak ada pihak yang mampu mewujudkannya. Janji perubahan yang mengawang terdengar kian membosankan.
Novri mengeluhkan pundi nafkahnya seret menjelang Pemilihan Umum Presiden 2009. Harapan hajat politik akbar seperti pemilu dan pilpres menggembungkan celengannya menguap sudah.
Pedagang berusia 29 tahun asal Minang ini mengira akan menangguk untung besar seperti pada pemilu legislatif April lalu. Saat itu Novri menangguk untung besar dari menjual perlengkapan kampanye partai politik peserta pemilu.
Namun apa mau dikata, limpahan rezeki tak berulang. Selama masa kampanye pilpres, Novri hanya manyun di rumah kontrakannya, menonton debat kandidat presiden di televisi. “Memang sekarang susah cari uang. Hampir semua teman saya sesama pedagang juga begitu,” katanya.
Novri mengaku kesulitan mendapat modal dagang. Pesanan barang yang mengalir tak digubris lantaran modal cekak. “Kalau ada capres yang punya program meminjamkan modal ke pedagang muda, kenapa tidak (dipilih)?” ujarnya.
Fery Fajri, 27 tahun, staf accounting maintenance ANZ-Panin Bank, Jakarta, mengaku paham dengan program yang ditawarkan para calon presiden. Namun jawabannya tak pasti ketika ditanya soal detail program yang dijanjikan para capres. Dia berpendapat, iklan atau jargon politik lebih renyah “dikunyah” rakyat. “Lebih simpel, lebih dipahami daripada program,” ujarnya.
Satu suara dengan Fery Fajri, Sabarudin, buruh pabrik furniture Indovickers, Jakarta, mengaku nggak ngeh dengan program yang diumbar para capres. Program yang dipahaminya hanya yang nyangkut kepentingan buruh. “Nggak 100 persen paham. Tapi yang janjinya masuk kriteria saya, ke depannya lebih bagus. Misalnya program menghapuskan outsourcing,” katanya.
Beda lagi Tumpal Parulian Simanjuntak, mahasiswa semester akhir jurusan hubungan internasional sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta. Dia mengaku paham betul program ekonomi dan politik yang dijual para capres ketika kampanye. Dengan fasih dia menjelaskan makna istilah neoliberalisme yang sering dijadikan materi perang opini para capres.
“Neoliberalisme itu pasar di mana yang bermain hanya negara maju. Kalau negara berkembang ikut dalam pasar itu hanya dijadikan alat untuk kepentingan nasional negara maju,” jelas Tumpal.
Terlepas benar atau tidak tafsiran Tumpal, deretan komentar tadi menunjukkan pemahaman rakyat sejatinya jauh lebih sederhana dibandingkan ocehan para capres di atas panggung debat yang megah.
Semakin jauh dari Jakarta, pemahaman masyarakat mengenai janji program kerja para capres semakin lamur. Tentu bukan karena rakyat bodoh, tapi karena mimpi sederhana mereka tidak mampu dipahami “otak cerdas” para capres.
“Kulo ngertose calon presiden niku sae-sae omonge. Dadi reregan meh dimurahi tur ono sekolah-
sekolah do rak mbayar. (Saya tahunya calon presiden itu ngomongnya baik-baik. Semua harga akan dijadikan murah dan sekolah-sekolah gratis),” kata Jumini, pedagang sayur di Pasar Bangetayu, Semarang, mengenai program ekonomi para calon presiden.
Dalam kesederhanaan pemahaman itu Jumini berniat ora milih alias golongan putih dalam Pilpres 2009. Dia tidak lagi percaya janji para capres. Ketimbang membuang waktu berangkat ke tempat pemungutan suara, Jumini memilih berjualan. “Mboten usah milih, tho. Pas coblosan dhodhol wae kan luwih migunani kanggo keluarga (Tidak usah memilih saja. Pada hari pemilihan berjualan saja, lebih berguna untuk keluarga).”
Sikap serupa juga ditunjukkan Sherly, pekerja seks komersial di lokalisasi Dolly, Surabaya. Dia bahkan menolak mencerna janji para capres selama kampanye. “Untuk apa dipahami? Lha wong kami tidak pernah diperhatikan oleh mereka,” ujarnya.
Meski golput, Sherly tetap menginginkan presiden terpilih tidak mengabaikan PSK. Pemerintah baru harus mampu membebaskan PSK dari cengkeraman prostitusi. “Jangan gunakan kami sebagai sampah. Setelah dipakai langsung dibuang. Intinya, ciptakan lapangan kerja dan bantuan modal bagi PSK agar kami bisa lepas dari tempat ini,” katanya.
Harapan sederhana menjadi sebuah kemewahan ketika tidak ada pihak yang mampu mewujudkannya. Janji perubahan yang mengawang terdengar kian membosankan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar