Setiap tahun keluarga dan kerabat memperingati kematian Marsinah. Tak putus asa mencari keadilan.
SIANG hari di rumah Suradji di Desa Nglundo, Kecamatan Sukomoro, Nganjuk, Jawa Timur, tampak kesibukan. Beberapa tetangga dan kerabat dekat juga bergotong-royong mempersiapkan acara yang akan diselenggarakan hari itu. Yadi, tetangga, mengatakan acara yang diselenggarakan setiap 9 Mei tersebut adalah tirakatan rutin yang digelar keluarga Suradji, sejak 16 tahun lalu.
Pada 9 Mei tahun 1993, yang bertepatan dengan Minggu Pon, anak perempuan Suradji ditemukan dibunuh. Tubuh gadis itu ditemukan di sawah, terbenam dalam lumpur bersama batang-batang padi. Perempuan tersebut adalah Marsinah, aktivis buruh yang sangat berani pada masa itu.
Yuni, adik Marsinah, menuturkan, tirakatan tahunan itu dihadiri tetangga dan kerabat dekat, juga beberapa perwakilan buruh. Para buruh itu antara lain dari PT Catur Putra Surya (CPS), tempat dulu Marsinah bekerja, juga dari pabrik-pabrik lain. Mereka juga rela mengeluarkan sedikit uang untuk kelancaran tirakatan. “Selama ini, setiap mengadakan tirakatan, kami selalu mendapatkan bantuan dari perwakilan buruh yang bersimpati kepada Marsinah,” ujar Yuni.
Menurut Yuni, tirakatan itu bukan hanya untuk mengenang Marsinah, melainkan juga untuk mendesak aparat penegak hukum agar membongkar dan mengusut tuntas pembunuhan keji itu. Meski pesimistis, Yuni dan keluarga besar Marsinah tetap bersemangat membongkar kasus tersebut. Bagi mereka, kebenaran akan terungkap, meski membutuhkan waktu lama.
Yuni mengaku kehilangan Marsinah membuat dia dan keluarganya amat sedih. Dia bersama Marsinah merupakan tulang punggung ekonomi keluarga. Setelah pembunuhan Marsinah, perekonomian Suradji sempat goyah selama setahun. Berkat keteguhan dan kerja keras Suradji dan Sini, istrinya, mereka mampu bangkit dari keterpurukan. Meski harus bekerja keras menjadi buruh tani dengan upah tidak pasti, keduanya mampu mengatasi persoalan ekonomi keluarga.
Sanirin, anak Suradji yang berprofesi sebagai polisi, sependapat dengan Yuni, adiknya. Menurut dia, sosok Marsinah menjadi motivator keluarga. Dia mengaku belajar banyak dari pembunuhan Marsinah. Dari kasus tersebut, Sanirin siap memperjuangkan kebenaran dan keadilan, meski harus menebus dengan ongkos mahal, termasuk nyawa sekalipun. “Dari sosok almarhumah, kami sekeluarga bisa belajar banyak untuk lebih memaknai hidup. Intinya, hidup itu harus berani mengambil risiko, termasuk nyawa sebagai taruhan,” tandasnya.
Sanirin menegaskan, setelah pembunuhan Marsinah, keluarga besarnya mendapatkan perlakuan diskriminatif dari aparatur pemerintah pada saat itu. Beberapa urusan administratif, semisal membuat KTP dan surat-surat keperluan lain, selalu dipersulit dengan berbagai alasan. Termasuk, alasan tindakan subversif yang dituduhkan terhadap Marsinah dan keluarga besarnya. Lambat laun sikap diskriminasi tersebut hilang, berkat keteguhan hati keluarga besar Marsinah, dan keruntuhan Orde Baru. (Bersambung).
SIANG hari di rumah Suradji di Desa Nglundo, Kecamatan Sukomoro, Nganjuk, Jawa Timur, tampak kesibukan. Beberapa tetangga dan kerabat dekat juga bergotong-royong mempersiapkan acara yang akan diselenggarakan hari itu. Yadi, tetangga, mengatakan acara yang diselenggarakan setiap 9 Mei tersebut adalah tirakatan rutin yang digelar keluarga Suradji, sejak 16 tahun lalu.
Pada 9 Mei tahun 1993, yang bertepatan dengan Minggu Pon, anak perempuan Suradji ditemukan dibunuh. Tubuh gadis itu ditemukan di sawah, terbenam dalam lumpur bersama batang-batang padi. Perempuan tersebut adalah Marsinah, aktivis buruh yang sangat berani pada masa itu.
Yuni, adik Marsinah, menuturkan, tirakatan tahunan itu dihadiri tetangga dan kerabat dekat, juga beberapa perwakilan buruh. Para buruh itu antara lain dari PT Catur Putra Surya (CPS), tempat dulu Marsinah bekerja, juga dari pabrik-pabrik lain. Mereka juga rela mengeluarkan sedikit uang untuk kelancaran tirakatan. “Selama ini, setiap mengadakan tirakatan, kami selalu mendapatkan bantuan dari perwakilan buruh yang bersimpati kepada Marsinah,” ujar Yuni.
Menurut Yuni, tirakatan itu bukan hanya untuk mengenang Marsinah, melainkan juga untuk mendesak aparat penegak hukum agar membongkar dan mengusut tuntas pembunuhan keji itu. Meski pesimistis, Yuni dan keluarga besar Marsinah tetap bersemangat membongkar kasus tersebut. Bagi mereka, kebenaran akan terungkap, meski membutuhkan waktu lama.
Yuni mengaku kehilangan Marsinah membuat dia dan keluarganya amat sedih. Dia bersama Marsinah merupakan tulang punggung ekonomi keluarga. Setelah pembunuhan Marsinah, perekonomian Suradji sempat goyah selama setahun. Berkat keteguhan dan kerja keras Suradji dan Sini, istrinya, mereka mampu bangkit dari keterpurukan. Meski harus bekerja keras menjadi buruh tani dengan upah tidak pasti, keduanya mampu mengatasi persoalan ekonomi keluarga.
Sanirin, anak Suradji yang berprofesi sebagai polisi, sependapat dengan Yuni, adiknya. Menurut dia, sosok Marsinah menjadi motivator keluarga. Dia mengaku belajar banyak dari pembunuhan Marsinah. Dari kasus tersebut, Sanirin siap memperjuangkan kebenaran dan keadilan, meski harus menebus dengan ongkos mahal, termasuk nyawa sekalipun. “Dari sosok almarhumah, kami sekeluarga bisa belajar banyak untuk lebih memaknai hidup. Intinya, hidup itu harus berani mengambil risiko, termasuk nyawa sebagai taruhan,” tandasnya.
Sanirin menegaskan, setelah pembunuhan Marsinah, keluarga besarnya mendapatkan perlakuan diskriminatif dari aparatur pemerintah pada saat itu. Beberapa urusan administratif, semisal membuat KTP dan surat-surat keperluan lain, selalu dipersulit dengan berbagai alasan. Termasuk, alasan tindakan subversif yang dituduhkan terhadap Marsinah dan keluarga besarnya. Lambat laun sikap diskriminasi tersebut hilang, berkat keteguhan hati keluarga besar Marsinah, dan keruntuhan Orde Baru. (Bersambung).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar