Pemerintah dan LSM saling tuding soal penyebab banjir. Sementara penanggulangannya gagal.
BANJIR yang merendam ribuan rumah ini membuat berbagai pihak langsung mendirikan posko dan tenda-tenda pengungsian. Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana dan Pengungsi Gresik langsung bergerak dengan mendirikan dapur umum dan menyalurkan bantuan kepada warga yang menjadi korban banjir.
Penyaluran bantuan sedikit menimbulkan masalah. Warga mengaku belum mendapatkan bantuan dari pemerintah. Mereka mengaku selama ini mendapatkan bantuan dari warga yang bersimpati serta kerabat yang tinggal di wilayah bebas banjir.
Melihat kondisi masyarakat korban banjir ini muncul pertanyaan tentang penyebab utamanya. Satu penyebab pasti adalah ulah manusia yang merusak lingkungan. Namun, siapa yang paling bertanggung jawab? Pemerintah, pengusaha, atau masyarakat sendiri?
Pemangku jabatan Gubernur Jawa Timur, Setia Purwaka, menuding berdirinya 7.000 bangunan di sepanjang bantaran Kali Surabaya sebagai penyebab utama banjir. Ia memerintahkan setiap jajaran pemerintahan di Surabaya dan Gresik segera membebaskan bantaran sungai dari bangunan apa pun.
Setia Purwaka mengatakan, Perda 7/2007 tentang Penataan Kali Surabaya dan Wonokromo mengatur bantaran sungai bebas dari bangunan 5 meter dari bibir sungai. Padahal idealnya 25 meter. “Karena itu, saya meminta kepada instansi terkait untuk menertibkan keberadaan bangunan-bangunan itu. Terutama lapak-lapak dan bangunan liar yang tidak memiliki izin,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Ecological Observation and Wetlands Observation (Ecoton) Prigi Arisandi menuding Pemprov Jatim lalai menjaga kelestarian Kali Surabaya. Pemberian izin pendirian bangunan pabrik dan fasilitas umum lainnya yang begitu mudah adalah salah satu penyebab banjir. Dalam catatannya, sepanjang Januari 2009 sebanyak 4 bangunan komersial didirikan di sepanjang bantaran Kali Surabaya. Yakni, lapangan futsal di bawah jembatan tol Waru, Gunungsari; lapangan futsal PT Suparma di Warugunung, Karangpilang, Surabaya; Pasar Desa Cangkir di Driyorejo, Gresik; dan bangunan pabrik PT Multi Manau Indonesia di Driyorejo, Gresik.
Lembaga yang bergerak di bidang ekologi dan konservasi lahan basah ini sudah berkali-kali melaporkan persoalan itu ke Dinas Pekerjaan Umum Pengairan Jatim, namun tidak ada tanggapan. Prigi Arisandi menduga ada permainan dalam pemberian izin pendirian bangunan-bangunan di sepanjang Kali Surabaya, terutama pabrik dan tempat-tempat umum lainnya.
Prigi menjelaskan, seharusnya Pemprov bersikap tegas terhadap semua pihak yang melanggar aturan, karena mengacu pada Perda 23/2000 tentang Dinas Pekerjaan Umum Pengairan Provinsi Jatim. Dinas itu berwenang memberikan perizinan untuk mendirikan, mengubah, ataupun membongkar bangunan yang berada di dalam, di atas, ataupun yang melintasi sumber air atau saluran irigasi lintas kabupaten/kota.
Jika kesalahan yang terjadi berlangsung secara sistematis seperti itu, rakyat kecil akan terus menjadi korban. Dan kita tidak boleh berharap dapat terbebas dari banjir. (Habis)
BANJIR yang merendam ribuan rumah ini membuat berbagai pihak langsung mendirikan posko dan tenda-tenda pengungsian. Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana dan Pengungsi Gresik langsung bergerak dengan mendirikan dapur umum dan menyalurkan bantuan kepada warga yang menjadi korban banjir.
Penyaluran bantuan sedikit menimbulkan masalah. Warga mengaku belum mendapatkan bantuan dari pemerintah. Mereka mengaku selama ini mendapatkan bantuan dari warga yang bersimpati serta kerabat yang tinggal di wilayah bebas banjir.
Melihat kondisi masyarakat korban banjir ini muncul pertanyaan tentang penyebab utamanya. Satu penyebab pasti adalah ulah manusia yang merusak lingkungan. Namun, siapa yang paling bertanggung jawab? Pemerintah, pengusaha, atau masyarakat sendiri?
Pemangku jabatan Gubernur Jawa Timur, Setia Purwaka, menuding berdirinya 7.000 bangunan di sepanjang bantaran Kali Surabaya sebagai penyebab utama banjir. Ia memerintahkan setiap jajaran pemerintahan di Surabaya dan Gresik segera membebaskan bantaran sungai dari bangunan apa pun.
Setia Purwaka mengatakan, Perda 7/2007 tentang Penataan Kali Surabaya dan Wonokromo mengatur bantaran sungai bebas dari bangunan 5 meter dari bibir sungai. Padahal idealnya 25 meter. “Karena itu, saya meminta kepada instansi terkait untuk menertibkan keberadaan bangunan-bangunan itu. Terutama lapak-lapak dan bangunan liar yang tidak memiliki izin,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Ecological Observation and Wetlands Observation (Ecoton) Prigi Arisandi menuding Pemprov Jatim lalai menjaga kelestarian Kali Surabaya. Pemberian izin pendirian bangunan pabrik dan fasilitas umum lainnya yang begitu mudah adalah salah satu penyebab banjir. Dalam catatannya, sepanjang Januari 2009 sebanyak 4 bangunan komersial didirikan di sepanjang bantaran Kali Surabaya. Yakni, lapangan futsal di bawah jembatan tol Waru, Gunungsari; lapangan futsal PT Suparma di Warugunung, Karangpilang, Surabaya; Pasar Desa Cangkir di Driyorejo, Gresik; dan bangunan pabrik PT Multi Manau Indonesia di Driyorejo, Gresik.
Lembaga yang bergerak di bidang ekologi dan konservasi lahan basah ini sudah berkali-kali melaporkan persoalan itu ke Dinas Pekerjaan Umum Pengairan Jatim, namun tidak ada tanggapan. Prigi Arisandi menduga ada permainan dalam pemberian izin pendirian bangunan-bangunan di sepanjang Kali Surabaya, terutama pabrik dan tempat-tempat umum lainnya.
Prigi menjelaskan, seharusnya Pemprov bersikap tegas terhadap semua pihak yang melanggar aturan, karena mengacu pada Perda 23/2000 tentang Dinas Pekerjaan Umum Pengairan Provinsi Jatim. Dinas itu berwenang memberikan perizinan untuk mendirikan, mengubah, ataupun membongkar bangunan yang berada di dalam, di atas, ataupun yang melintasi sumber air atau saluran irigasi lintas kabupaten/kota.
Jika kesalahan yang terjadi berlangsung secara sistematis seperti itu, rakyat kecil akan terus menjadi korban. Dan kita tidak boleh berharap dapat terbebas dari banjir. (Habis)