Buruh migran itu masih menjalani perawatan di rumah sakit jiwa. Tak bisa menemui anak-anaknya.
SESAAT setelah “tersadar” dari tindakan, Elin dibawa ke RSUD Jombang, atas inisiatif para tetangga dan Women Crisis Centre (WCC) Jombang. Selama dirawat di Ruang Cempaka, tak jarang Elin mengamuk. Ia semakin tidak terkendali dan semakin membabi buta.
Elin dibawa tim dokter ke ruang isolasi. Tangan dan kakinya diikat dengan kain dan tali. Namun, tak jarang Elin bisa melepas ikatan tersebut. Karena dirasa membahayakan pengunjung dan pasien lain, tangan dan kaki Elin diborgol. Tidak itu saja, setiap kali kumat, suntikan selalu menembus urat nadinya.
Selang seminggu kemudian Elin dirujuk ke Rumah Sakit Jiwa Menur Surabaya. Ia dibebaskan dari segala tanggung jawab pembayaran, karena WCC menyiasati dengan mengikutsertakan Elin dalam Jaminan Kesehatan Daerah. Meski hanya menanggung biaya perawatan 21 hari, setidaknya bisa meringankan beban hidup Elin.
“Soal jangka waktu Jamkesda sudah bisa kami atasi. Jadi, tidak ada masalah. Mungkin, yang sedikit menjadi persoalan adalah kurang optimalnya pengawasan kami terhadap Elin. Kami juga tidak bisa mengharapkan suaminya, karena ada kesan lepas tangan,” terang Sholahuddin.
Selama menjalani perawatan di RSJ Menur, kondisi kejiwaan Elin mulai stabil. Ia tidak lagi berteriak histeris dan marah tanpa sebab jelas. Ia juga mulai bisa berkomunikasi dengan siapa pun yang dijumpai, meski masih memerlukan kepekaan memori dalam mengingat sesuatu.
Meski demikian, tidak menutup kemungkinan kesembuhan Elin hanya sesaat. Ia akan dihadapkan pada permasalahan yang jauh lebih besar, yakni terpisah dari kedua anaknya yang masih di bangku sekolah dasar. Hal ini tak lepas dari peran Noor Affandi, suaminya, yang sengaja memisahkan anak-anak Elin dari kasih ibunya.
Dalam setiap kesempatan, Noor Affandi selalu melarang anak-anaknya bertemu dengan sang ibu. Ironisnya, ia selalu bilang bila ibu mereka gila dan sangat membahayakan bila didekati. Hal ini berbanding terbalik dengan sikap Elin yang ingin bertemu kedua buah hatinya.
Kedua anak Elin sangat ketakutan bagai melihat monster yang jahat jika bertemu sang ibu.
Bukan itu saja, dalam kehidupan rumah tangga, Elin pun seperti orang tua tunggal, karena harus memenuhi kebutuhan keluarga. Sedangkan sang suami, yang mengaku sebagai buruh tani lebih banyak menganggur dan cangkruk (nongkrong) di warung kopi. Biaya hidup kedua anak mereka disokong para tetangga yang jatuh iba.
“Terus terang saya sangat terenyuh melihat penderitaan kedua anak mereka. Ayahnya seperti itu, ibunya juga mengalami tekanan jiwa yang berat,” ungkap Solihin, tetangga Elin.
Persoalaan Elin pun tidak berhenti. PT MLS Surabaya, yang menyalurkan ke Singapura, tidak membantu meringankan penderitaan Elin. Selama ini PT MLS hanya memberikan sumbangan Rp 1 juta dan beras 50 kg. Bahkan, berdasarkan penuturan Noor Afandi, PT MLS mengancam memperkarakan ke pengadilan jika keluarga melibatkan pihak lain dalam masalah ini.
Pada akhirnya PT MLS bersedia membantu penyelesaian pembayaran asuransi dan sisa gaji Elin selama bekerja di Singapura. Mereka berjanji menyelesaikan persoalan tersebut dalam waktu satu bulan. (selesai)
SESAAT setelah “tersadar” dari tindakan, Elin dibawa ke RSUD Jombang, atas inisiatif para tetangga dan Women Crisis Centre (WCC) Jombang. Selama dirawat di Ruang Cempaka, tak jarang Elin mengamuk. Ia semakin tidak terkendali dan semakin membabi buta.
Elin dibawa tim dokter ke ruang isolasi. Tangan dan kakinya diikat dengan kain dan tali. Namun, tak jarang Elin bisa melepas ikatan tersebut. Karena dirasa membahayakan pengunjung dan pasien lain, tangan dan kaki Elin diborgol. Tidak itu saja, setiap kali kumat, suntikan selalu menembus urat nadinya.
Selang seminggu kemudian Elin dirujuk ke Rumah Sakit Jiwa Menur Surabaya. Ia dibebaskan dari segala tanggung jawab pembayaran, karena WCC menyiasati dengan mengikutsertakan Elin dalam Jaminan Kesehatan Daerah. Meski hanya menanggung biaya perawatan 21 hari, setidaknya bisa meringankan beban hidup Elin.
“Soal jangka waktu Jamkesda sudah bisa kami atasi. Jadi, tidak ada masalah. Mungkin, yang sedikit menjadi persoalan adalah kurang optimalnya pengawasan kami terhadap Elin. Kami juga tidak bisa mengharapkan suaminya, karena ada kesan lepas tangan,” terang Sholahuddin.
Selama menjalani perawatan di RSJ Menur, kondisi kejiwaan Elin mulai stabil. Ia tidak lagi berteriak histeris dan marah tanpa sebab jelas. Ia juga mulai bisa berkomunikasi dengan siapa pun yang dijumpai, meski masih memerlukan kepekaan memori dalam mengingat sesuatu.
Meski demikian, tidak menutup kemungkinan kesembuhan Elin hanya sesaat. Ia akan dihadapkan pada permasalahan yang jauh lebih besar, yakni terpisah dari kedua anaknya yang masih di bangku sekolah dasar. Hal ini tak lepas dari peran Noor Affandi, suaminya, yang sengaja memisahkan anak-anak Elin dari kasih ibunya.
Dalam setiap kesempatan, Noor Affandi selalu melarang anak-anaknya bertemu dengan sang ibu. Ironisnya, ia selalu bilang bila ibu mereka gila dan sangat membahayakan bila didekati. Hal ini berbanding terbalik dengan sikap Elin yang ingin bertemu kedua buah hatinya.
Kedua anak Elin sangat ketakutan bagai melihat monster yang jahat jika bertemu sang ibu.
Bukan itu saja, dalam kehidupan rumah tangga, Elin pun seperti orang tua tunggal, karena harus memenuhi kebutuhan keluarga. Sedangkan sang suami, yang mengaku sebagai buruh tani lebih banyak menganggur dan cangkruk (nongkrong) di warung kopi. Biaya hidup kedua anak mereka disokong para tetangga yang jatuh iba.
“Terus terang saya sangat terenyuh melihat penderitaan kedua anak mereka. Ayahnya seperti itu, ibunya juga mengalami tekanan jiwa yang berat,” ungkap Solihin, tetangga Elin.
Persoalaan Elin pun tidak berhenti. PT MLS Surabaya, yang menyalurkan ke Singapura, tidak membantu meringankan penderitaan Elin. Selama ini PT MLS hanya memberikan sumbangan Rp 1 juta dan beras 50 kg. Bahkan, berdasarkan penuturan Noor Afandi, PT MLS mengancam memperkarakan ke pengadilan jika keluarga melibatkan pihak lain dalam masalah ini.
Pada akhirnya PT MLS bersedia membantu penyelesaian pembayaran asuransi dan sisa gaji Elin selama bekerja di Singapura. Mereka berjanji menyelesaikan persoalan tersebut dalam waktu satu bulan. (selesai)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar