Mau UANG???... Buruan GRATIS Registrasi KLIK DISINI

Senin, 31 Agustus 2009

Musim Sengsara Kaum Tani


Kemarau panjang memaksa para petani alih profesi. Gagal panen selalu menghantui.

SINAR matahari yang menyengat tak mengurungkan niat Syaifi menapaki pematang sawah di belakang rumahnya. Tangan terampilnya mulai mengaduk tanah dan mencampurnya dengan air, kemudian dicetak menjadi bata. Itulah aktivitas lelaki 57 tahun ini akhir-akhir ini.

Selama musim kemarau, di tempat tinggalnya di Desa Joho, Kecamatan Pace, Nganjuk, Jawa Timur, hampir semua petani beralih profesi menjadi pembuat bata. Profesi musiman ini sedikit bisa menjadi penyambung hidup.

Syafii yang kecanduan minum kopi ini menuturkan, seribu bata dihargai Rp 350 ribu. Ia bersyukur masih ada pemborong yang membeli bata buatannya. Tidak sedikit tetangga yang gigit jari karena bata bikinan mereka tidak laku. “Membuat bata memang unik. Selain memerlukan kecekatan, memerlukan juga ketelitian, agar bata tidak mudah pecah,” ujarnya.

Sebagai petani tulen, Syafii sangat menggantungkan hidup dari bercocok tanam. Namun, setiap musim kemarau, sawahnya tidak bisa ditanami karena irigasinya sangat tergantung pada air hujan. Kondisi wilayah yang gersang membuat asupan air tidak mudah tersimpan tanah.

Setiap musim hujan Syafii hanya bisa menanami sawahnya dengan padi, jagung, dan ketela pohon. Jika beruntung, terkadang dia mencoba menanam tembakau serta sayuran seperti bayam, cabai, dan mentimun. Memasuki musim kemarau dia tak bisa lagi menanami sawahnya yang kering kerontang.

Untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, Syafii menyiasati dengan menimbun gabah yang dipanen. Jika uang dapur tak cukup, Syafii menjual gabah seharga Rp 3.000 per kilogram. Jika masih kurang, tak jarang dia menjual jagung dan ketela pohon yang harganya Rp 750 hingga Rp 2.500 per kilogram.

Syafii mengaku pendapatan turun drastis, terlebih pada musim kemarau ini. Meski tidak menghitung secara pasti, dia memperkirakan pendapatannya tidak seberapa banyak, karena masih harus dikurangi biaya tanam dan panen.

Tahun ini kondisi ekonomi keluarga Syafii memburuk karena gagal panen. Padi di dua petak sawahnya gagal panen, karena kekurangan air. Dia pun menanggung rugi sekitar Rp 500 ribu.

Pohon-pohon mangga Syafii juga terancam gagal panen, karena musim semakin tidak menentu. “Mestinya pohon mangga sudah mengembang. Kalau telat, keburu musim hujan datang lagi. Kalau sudah begitu, ya harus ikhlas merugi lagi,” ujarnya.

Nasib yang jauh lebih buruk dialami Mulyadi, tetangga Syafii. Pria yang memiliki empat anak ini harus membanting tulang untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Terlebih dia hanya buruh tani. Dalam keseharian, Mulyadi yang sederhana ini berusaha mencari tambahan rezeki dengan menawarkan diri kepada siapa saja yang memerlukan tenaganya.

Bagi Mulyadi, musim kemarau tak ubah panas neraka yang sangat menyiksa. Sebagai buruh tani di daerah yang kering, dia harus beralih profesi sebagai buruh lainnya. Bahkan tidak jarang dia boro ke luar kota atau bahkan luar pulau untuk mencari pekerjaan sampingan. “Bagi orang seperti saya, kerjaan apa saja oke. Apalagi saya hanya tamatan SD,” ujarnya.

Pekerjaan yang dijalani Mulyadi pun beraneka ragam. Mulai dari tukang tebon (penebang tebu), tukang angkut kayu, pembuat bata, hingga kuli bangunan. Semua itu dilaluinya dengan senyum, meski dengan bercucuran keringat.

Dari tambahan rezeki yang didapat, Mulyadi bisa menyekolahkan anaknya. Sayang, Rosi, anak pertamanya, tidak dapat melanjutkan ke SMP, karena harus mengalah kepada ketiga adiknya yang masih memerlukan biaya sekolah. Tidak itu saja, Rosi harus bekerja di usia dini, untuk membantu memenuhi kebutuhan keluarga.

Beragam pekerjaan dijalani Rosi. Mulai dari pembantu rumah tangga di Surabaya hingga menjadi pelayan toko, dengan gaji yang sangat kecil. Meski kehilangan masa-masa terindah di dunia pendidikan, Rosi mengaku ikhlas membantu orang tua memenuhi kebutuhan hidup keluarga. “Biarkan adik saja yang bisa mengenyam pendidikan lebih tinggi. Saya merelakan diri untuk membantu memenuhi biaya pendidikan adik-adik,” tuturnya.

Selain Rosi, masih banyak juga anak-anak yang seharusnya sekolah, namun terpaksa bekerja sebagai tukangangkut airuntuk membantu memenuhi kebutuhan keluarga. Tidak sedikit abak-anak itu yang bernasib buruk karena terpaksa bekerja di panti pijat dan menjadi wanita panggilan, baik di Surabaya maupun Jakarta. Mereka termakan rayuan mucikari yang menawarkan kemapanan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar