“Tiga kali puasa, tiga kali lebaran, abang tak pulang-pulang…”
SEPENGGAL syair lagu “Bang Thoyib” menemani delapan orang yang duduk di bawah tenda biru di tanggul lumpur Lapindo, Sidoarjo, Jawa Timur. Syair lagu dangdut ini mungkin pas dengan kondisi korban lumpur yang sudah menjalani tiga kali bulan Puasa dan tiga Lebaran di pengungsian. Rumah mereka terendam lumpur sejak tahun 2007.
Selama tiga tahun lumpur sumur minyak Banjar Panji I menggenang dan kian meluas membuat rutinitas kehidupan para korban yang berprofesi tukang ojek dihabiskan di bawah tenda biru, yang berhadapan langsung dengan sumber lumpur. Mereka menunggu para pengunjung yang “berwisata” melihat dari dekat lautan lumpur tersebut. Dengan ongkos Rp 15 ribu per orang, para tukang ojek itu mengantarkan pengunjung berkeliling di sepanjang tanggul lumpur.
Para tukang ojek itu tergabung dalam Paguyuban Ojek Tanggul Lumpur Lapindo. Penghasilan mereka rata-rata Rp 20.000 sampai Rp 30.000 per hari. Pada hari libur mereka sedikit lebih beruntung, karena dapat bisa mendapat penghasilan hingga Rp 50.000. “Penghasilan itu masih kotor lho, karena harus digunakan untuk beli bensin dan ongkos sewa motor Rp 7.500,” kata Mochamad Jafar, Ketua Paguyuban Ojek. Penghasilan bersih mereka rata-rata Rp 10.000 per hari.
Selain mengantarkan para pengunjung, mereka juga menjual compac disc (CD) berisi dokumentasi peristiwa 27 Mei 2006 itu. CD yang dikulak Rp 15.000 per dua keping itu dijual Rp 25.000.
Para tukang ojek ini harus memutar keras otak agar penghasilan cukup untuk menafkahi keluarga. Bagi mereka yang sudah berkeluarga, penghasilan sebesar itu harus dibagi lagi untuk biaya sekolah anak-anak mereka. Jika tidak cukup, mereka harus berhutang atau berharap belas kasih dari sanak saudara.
Saat ini Paguyuban Ojek beranggotakan 300 orang yang tersebar di delapan titik. Rata-rata mereka mantan pekerja pabrik yang kehilangan pekerjaan karena pabrik bangkrut akibat lumpur. Organisasi ojek ini memungut iuran Rp 1.000 per hari dari setiap anggota. Uang itu sebagai simpanan bila ada anggota yang sakit atau meninggal.
Selama bulan Ramadan rutinitas aktivitas mereka seperti pada bulan-bulan lain. Mereka mengaku sudah berpuasa selama tiga tahun terakhir: puasa dari hidup layak. Mereka juga belajar bersabar menunggu janji ganti rugi yang belum juga dipenuhi. “Meski kami tidak puasa lahiriah, batin kami sudah puasa setiap hari sejak lumpur menyerang,” kata Jafar.
Menurut Jafar, hingga kini PT Lapindo Brantas belum juga merealisasikan janji pelunasan 80% ganti rugi. Mereka baru mendapatkan 20%, ditambah dana bantuan sosial Rp 5 juta untuk biaya kontrak rumah. Itu pun masih bermasalah, karena harga kontrak rumah di kawasan Porong, Tanggulangin, dan sekitarnya melonjak drastis. Pemilik rumah tidak mau mengontrakkan rumahnya di bawah harga Rp 2,5 juta per tahun. Padahal, sebelumnya tarif kontrak hanya berkisar Rp 750 ribu hingga Rp 1 juta. Rupanya para pemilik rumah kontrak ingin meraup keuntungan di tengah penderitaan korban lumpur.
Jafar dan kawan-kawannya mengaku tidak lagi merasa marah kepada siapa pun. Harapan satu-satunya agar penderitaan keluarga mereka berakhir hanya bisa dipasrahkan kepada Tuhan. (bersambung)
SEPENGGAL syair lagu “Bang Thoyib” menemani delapan orang yang duduk di bawah tenda biru di tanggul lumpur Lapindo, Sidoarjo, Jawa Timur. Syair lagu dangdut ini mungkin pas dengan kondisi korban lumpur yang sudah menjalani tiga kali bulan Puasa dan tiga Lebaran di pengungsian. Rumah mereka terendam lumpur sejak tahun 2007.
Selama tiga tahun lumpur sumur minyak Banjar Panji I menggenang dan kian meluas membuat rutinitas kehidupan para korban yang berprofesi tukang ojek dihabiskan di bawah tenda biru, yang berhadapan langsung dengan sumber lumpur. Mereka menunggu para pengunjung yang “berwisata” melihat dari dekat lautan lumpur tersebut. Dengan ongkos Rp 15 ribu per orang, para tukang ojek itu mengantarkan pengunjung berkeliling di sepanjang tanggul lumpur.
Para tukang ojek itu tergabung dalam Paguyuban Ojek Tanggul Lumpur Lapindo. Penghasilan mereka rata-rata Rp 20.000 sampai Rp 30.000 per hari. Pada hari libur mereka sedikit lebih beruntung, karena dapat bisa mendapat penghasilan hingga Rp 50.000. “Penghasilan itu masih kotor lho, karena harus digunakan untuk beli bensin dan ongkos sewa motor Rp 7.500,” kata Mochamad Jafar, Ketua Paguyuban Ojek. Penghasilan bersih mereka rata-rata Rp 10.000 per hari.
Selain mengantarkan para pengunjung, mereka juga menjual compac disc (CD) berisi dokumentasi peristiwa 27 Mei 2006 itu. CD yang dikulak Rp 15.000 per dua keping itu dijual Rp 25.000.
Para tukang ojek ini harus memutar keras otak agar penghasilan cukup untuk menafkahi keluarga. Bagi mereka yang sudah berkeluarga, penghasilan sebesar itu harus dibagi lagi untuk biaya sekolah anak-anak mereka. Jika tidak cukup, mereka harus berhutang atau berharap belas kasih dari sanak saudara.
Saat ini Paguyuban Ojek beranggotakan 300 orang yang tersebar di delapan titik. Rata-rata mereka mantan pekerja pabrik yang kehilangan pekerjaan karena pabrik bangkrut akibat lumpur. Organisasi ojek ini memungut iuran Rp 1.000 per hari dari setiap anggota. Uang itu sebagai simpanan bila ada anggota yang sakit atau meninggal.
Selama bulan Ramadan rutinitas aktivitas mereka seperti pada bulan-bulan lain. Mereka mengaku sudah berpuasa selama tiga tahun terakhir: puasa dari hidup layak. Mereka juga belajar bersabar menunggu janji ganti rugi yang belum juga dipenuhi. “Meski kami tidak puasa lahiriah, batin kami sudah puasa setiap hari sejak lumpur menyerang,” kata Jafar.
Menurut Jafar, hingga kini PT Lapindo Brantas belum juga merealisasikan janji pelunasan 80% ganti rugi. Mereka baru mendapatkan 20%, ditambah dana bantuan sosial Rp 5 juta untuk biaya kontrak rumah. Itu pun masih bermasalah, karena harga kontrak rumah di kawasan Porong, Tanggulangin, dan sekitarnya melonjak drastis. Pemilik rumah tidak mau mengontrakkan rumahnya di bawah harga Rp 2,5 juta per tahun. Padahal, sebelumnya tarif kontrak hanya berkisar Rp 750 ribu hingga Rp 1 juta. Rupanya para pemilik rumah kontrak ingin meraup keuntungan di tengah penderitaan korban lumpur.
Jafar dan kawan-kawannya mengaku tidak lagi merasa marah kepada siapa pun. Harapan satu-satunya agar penderitaan keluarga mereka berakhir hanya bisa dipasrahkan kepada Tuhan. (bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar