Warta Jatim, Surabaya - Pemerintah memaksa warga negara memeluk agama yang diakui oleh negara. Hal itu menunjukkan ketidakberdayaan pemerintah dalam regulasi mengenai agama. Demikian pernyataan Ahmad Zaenal Hadi, Kepala Divisi Penelitian dan Advokasi Centre for Marginalized Community Studies (Cmars).
Menurut Zainal, tidak diakuinya agama lokal adalah bukti buruknya pemerintah dalam menjamin kebebasan beragama. Di Jawa Timur terjadi 12 kasus penutupan aliran kepercayaan atau keagamaan yang dicap sesat oleh masyarakat dan pemerintah.
Zaenal menilai pemerintah terlalu mudah mencap sebuah aliran kepercayaan dengan sebutan sesat. Apalagi yang dijadikan dasar adalah dogma atau doktrin yang digunakan salah satu agama. Ironisnya, aliran kepercayaan yang ada di Indonesia terus diawasi Badan Koordinasi dan Pengawasan Aliran Kepercayaan (Bakorpakem) yang terdiri atas unsur kejaksaan, kepolisian, dan Majelis Ulama Indonesia.
“Keterlibatan MUI dalam Bakorpakem menimbulkan masalah. Karena aliran kepercayaan yang dianggap tidak menyertakan syariat Islam pasti akan dicap sesat,” kata Ahmad Zainal Hadi di Surabaya, Jumat (9/4).
Zaenal menyayangkan terjadinya diskriminasi dalam penjatuhan hukuman terhadap pemimpin aliran kepercayaan yang didakwa melakukan penistaan atau penodaan agama. Hampir di semua wilayah di tanah air, pemimpin aliran kepercayaan divonis hukuman maksimal 5 tahun. Sedangkan para anggotanya dikucilkan hingga diusir oleh aparatur negara ataupun masyarakat.
Selain persoalan kebebasan beragama, banyak aturan dan peraturan daerah berbau syariat Islam. Hal itu merupakan bentuk intimidasi dari pemerintah. Zainal memberikan contoh, perda pendidikan di Bangkalan yang mewajibkan siswi berjilbab. Padahal, di sana juga banyak siswi non-muslim. Begitu pula peraturan daerah di Pamekasan, Gresik, dan Jombang.(red)
Menurut Zainal, tidak diakuinya agama lokal adalah bukti buruknya pemerintah dalam menjamin kebebasan beragama. Di Jawa Timur terjadi 12 kasus penutupan aliran kepercayaan atau keagamaan yang dicap sesat oleh masyarakat dan pemerintah.
Zaenal menilai pemerintah terlalu mudah mencap sebuah aliran kepercayaan dengan sebutan sesat. Apalagi yang dijadikan dasar adalah dogma atau doktrin yang digunakan salah satu agama. Ironisnya, aliran kepercayaan yang ada di Indonesia terus diawasi Badan Koordinasi dan Pengawasan Aliran Kepercayaan (Bakorpakem) yang terdiri atas unsur kejaksaan, kepolisian, dan Majelis Ulama Indonesia.
“Keterlibatan MUI dalam Bakorpakem menimbulkan masalah. Karena aliran kepercayaan yang dianggap tidak menyertakan syariat Islam pasti akan dicap sesat,” kata Ahmad Zainal Hadi di Surabaya, Jumat (9/4).
Zaenal menyayangkan terjadinya diskriminasi dalam penjatuhan hukuman terhadap pemimpin aliran kepercayaan yang didakwa melakukan penistaan atau penodaan agama. Hampir di semua wilayah di tanah air, pemimpin aliran kepercayaan divonis hukuman maksimal 5 tahun. Sedangkan para anggotanya dikucilkan hingga diusir oleh aparatur negara ataupun masyarakat.
Selain persoalan kebebasan beragama, banyak aturan dan peraturan daerah berbau syariat Islam. Hal itu merupakan bentuk intimidasi dari pemerintah. Zainal memberikan contoh, perda pendidikan di Bangkalan yang mewajibkan siswi berjilbab. Padahal, di sana juga banyak siswi non-muslim. Begitu pula peraturan daerah di Pamekasan, Gresik, dan Jombang.(red)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar