Penghuni lokalisasi Dolly tak terpengaruh rayuan para politikus. Mereka tak mau memilih pada pemilu nanti.
PETANG menjelang. Beberapa perempuan mulai berdandan secantik mungkin. Dengan cermin di tangan kiri, tangan kanan memoleskan gincu merah ke bibir. Itulah pemandangan biasa setiap sore ketika para pekerja seks komersial siap-siap bertugas. Mereka adalah PSK di Gang Dolly, Surabaya. Dolly berada di kawasan Jarak, Pasar Kembang. Dolly adalah lokalisasi terbesar di Asia Tenggara. Lokalisasi ini lebih besar dibandingkan Phaat Pong di Bangkok atau Geylang di Singapura.
Di “surga lelaki” ini terdapat 898 rumah bordil dengan penghuni tidak kurang dari 8.000 PSK yang duduk manis di depan etalase kaca menunggu “end user” datang. Menjelang Pemilihan Umum 2009 tempat ini terus beroperasi seperti biasa. Cuma ada satu hal yang berbeda: akhir-akhir ini banyak politikus yang datang. Di tengah kompetisi perebutan suara pada pemilu legislatif, PSK pun menjadi sasaran para caleg.
Namun, para penghuni Dolly tak menunjukkan antusiasme pada bujuk rayu para politikus. Mak Tun, misalnya, Veteran PSK yang kini membuka warung makanan di kompleks lokalisasi ini mengaku sudah bosan mendengar janji-janji partai politik. Sejak dia datang di “istana” kaum lelaki ini pada tahun 1970, tidak ada satu partai politik pun yang memenuhi janji-janji selama kampanye.
Menjelang pelaksanaan pemilu mendatang, Mak Tun tidak mau peduli lagi pada omongan dan janji para caleg. Menurut dia, kedatangan para caleg dan parpol di Dolly tidak memberikan keuntungan apa pun. Buktinya, spanduk warung makan miliknya yang disumbangkan salah satu parpol justru membuatnya sengsara. Omzet dagangannya menurun drastis akibat spanduk tersebut. “Daripada asap dapur di rumah kami berhenti, akhirnya kami nekat mencopot spanduk yang sempat terpasang di depan warung,” ujar Mak Tun.
Tidak berbeda dari seniornya, Lyta, salah satu PSK primadona Dolly, mengaku tak acuh dengan dunia politik. Bahkan saat kampanye, ia hanya memanfaatkannya untuk mencari sedikit penghasilan. Berdasarkan pengalaman pada pemilu sebelumnya, pada masa kampanye partai politik berlomba mencari simpati dan dukungan suara dari PSK dengan memberikan uang dan kaos parpol. Parpol juga memberikan uang transport bagi PSK yang bersedia mengikuti kampanye mereka.
Lyta
Lyta
Bagi Lyta, kesempatan semacam itu tentu tidak boleh dilewatkan begitu saja. Memanfaatkan ilmu aji mumpung, Lyta bersama kawan-kawan seprofesi mengikuti kampanye parpol, meski pada saat pemilu tidak memilih parpol tersebut. “Kalau tidak seperti sekarang ini, kapan lagi kita bisa menikmatinya? Toh ini hanya lima tahun sekali,” ujar perempuan seksi dan ramah asal Malang ini.
Tentang janji parpol, Lyta mengaku sudah tidak percaya lagi. Apalagi program kerja yang selama ini disuarakan parpol tidak pernah memperhatikan nasib kaum PSK dan rakyat kecil lainnya. Dia menandaskan, para pekerja PSK tidak membutuhkan janji-janji, tapi bukti nyata dari parpol. Misalnya saja memberikan pekerjaan baru sesuai dengan kemampuan dan keterampilan PSK.
Tidak jauh berbeda dari Mak Tun dan Lyta, beberapa PSK lain apatis terhadap partai politik. Mereka juga sudah bosan terus dibuai dengan rayuan-rayuan manis. Bukti terakhir adalah pelaksanaan pemilihan gubernur Jawa Timur, Juni 2008. Suara golput di dua tempat pemungutan suara di Dolly mencapai 20 persen. Tingginya angka golput ini karena para PSK menolak didaftar sebagai pemilih. Bahkan, sebagian besar yang sudah terdaftar memilih tidur pada saat pemungutan suara.
Salah satu hal unik adalah sikap protektif para ketua RW di kawasan Dolly. Pak Min, misalnya, mengatakan hanya akan memilih parpol yang mau berkampanye di wilayahnya. Menurut dia, langkah tersebut dilakukan agar parpol tidak mudah mengobral janji di hadapan PSK ataupun warga umum di kawasan tersebut.
Pak Min menandaskan, parpol yang tidak pernah memberikan sumbangsih kepada warga tidak akan ditanggapi saat meminta izin menggelar kampanye di Dolly. “Memang langkah ini terkesan kejam. Namun, dengan langkah ini, parpol tidak akan sembarangan memainkan para PSK dan warga yang lain,” katanya.
Senja digusur malam. Perempuan-perempuan Dolly usai berdandan. Mereka siap menjual jasa kepada siapa pun yang datang. Mungkin juga di antaranya calon anggota legislatif.
PETANG menjelang. Beberapa perempuan mulai berdandan secantik mungkin. Dengan cermin di tangan kiri, tangan kanan memoleskan gincu merah ke bibir. Itulah pemandangan biasa setiap sore ketika para pekerja seks komersial siap-siap bertugas. Mereka adalah PSK di Gang Dolly, Surabaya. Dolly berada di kawasan Jarak, Pasar Kembang. Dolly adalah lokalisasi terbesar di Asia Tenggara. Lokalisasi ini lebih besar dibandingkan Phaat Pong di Bangkok atau Geylang di Singapura.
Di “surga lelaki” ini terdapat 898 rumah bordil dengan penghuni tidak kurang dari 8.000 PSK yang duduk manis di depan etalase kaca menunggu “end user” datang. Menjelang Pemilihan Umum 2009 tempat ini terus beroperasi seperti biasa. Cuma ada satu hal yang berbeda: akhir-akhir ini banyak politikus yang datang. Di tengah kompetisi perebutan suara pada pemilu legislatif, PSK pun menjadi sasaran para caleg.
Namun, para penghuni Dolly tak menunjukkan antusiasme pada bujuk rayu para politikus. Mak Tun, misalnya, Veteran PSK yang kini membuka warung makanan di kompleks lokalisasi ini mengaku sudah bosan mendengar janji-janji partai politik. Sejak dia datang di “istana” kaum lelaki ini pada tahun 1970, tidak ada satu partai politik pun yang memenuhi janji-janji selama kampanye.
Menjelang pelaksanaan pemilu mendatang, Mak Tun tidak mau peduli lagi pada omongan dan janji para caleg. Menurut dia, kedatangan para caleg dan parpol di Dolly tidak memberikan keuntungan apa pun. Buktinya, spanduk warung makan miliknya yang disumbangkan salah satu parpol justru membuatnya sengsara. Omzet dagangannya menurun drastis akibat spanduk tersebut. “Daripada asap dapur di rumah kami berhenti, akhirnya kami nekat mencopot spanduk yang sempat terpasang di depan warung,” ujar Mak Tun.
Tidak berbeda dari seniornya, Lyta, salah satu PSK primadona Dolly, mengaku tak acuh dengan dunia politik. Bahkan saat kampanye, ia hanya memanfaatkannya untuk mencari sedikit penghasilan. Berdasarkan pengalaman pada pemilu sebelumnya, pada masa kampanye partai politik berlomba mencari simpati dan dukungan suara dari PSK dengan memberikan uang dan kaos parpol. Parpol juga memberikan uang transport bagi PSK yang bersedia mengikuti kampanye mereka.
Lyta
Lyta
Bagi Lyta, kesempatan semacam itu tentu tidak boleh dilewatkan begitu saja. Memanfaatkan ilmu aji mumpung, Lyta bersama kawan-kawan seprofesi mengikuti kampanye parpol, meski pada saat pemilu tidak memilih parpol tersebut. “Kalau tidak seperti sekarang ini, kapan lagi kita bisa menikmatinya? Toh ini hanya lima tahun sekali,” ujar perempuan seksi dan ramah asal Malang ini.
Tentang janji parpol, Lyta mengaku sudah tidak percaya lagi. Apalagi program kerja yang selama ini disuarakan parpol tidak pernah memperhatikan nasib kaum PSK dan rakyat kecil lainnya. Dia menandaskan, para pekerja PSK tidak membutuhkan janji-janji, tapi bukti nyata dari parpol. Misalnya saja memberikan pekerjaan baru sesuai dengan kemampuan dan keterampilan PSK.
Tidak jauh berbeda dari Mak Tun dan Lyta, beberapa PSK lain apatis terhadap partai politik. Mereka juga sudah bosan terus dibuai dengan rayuan-rayuan manis. Bukti terakhir adalah pelaksanaan pemilihan gubernur Jawa Timur, Juni 2008. Suara golput di dua tempat pemungutan suara di Dolly mencapai 20 persen. Tingginya angka golput ini karena para PSK menolak didaftar sebagai pemilih. Bahkan, sebagian besar yang sudah terdaftar memilih tidur pada saat pemungutan suara.
Salah satu hal unik adalah sikap protektif para ketua RW di kawasan Dolly. Pak Min, misalnya, mengatakan hanya akan memilih parpol yang mau berkampanye di wilayahnya. Menurut dia, langkah tersebut dilakukan agar parpol tidak mudah mengobral janji di hadapan PSK ataupun warga umum di kawasan tersebut.
Pak Min menandaskan, parpol yang tidak pernah memberikan sumbangsih kepada warga tidak akan ditanggapi saat meminta izin menggelar kampanye di Dolly. “Memang langkah ini terkesan kejam. Namun, dengan langkah ini, parpol tidak akan sembarangan memainkan para PSK dan warga yang lain,” katanya.
Senja digusur malam. Perempuan-perempuan Dolly usai berdandan. Mereka siap menjual jasa kepada siapa pun yang datang. Mungkin juga di antaranya calon anggota legislatif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar