Bekas kriminal pun memanfaatkan pemilu untuk bisnis. Mereka tak percaya janji manis para caleg, namun tahu bagaimana memanfaatkan situasi.
DI sebuah rumah di belakang gedung Universitas 45 Surabaya tepatnya di Pakis Tirtosari 100 Surabaya juga ada aktivitas yang sama seperti di tempat usaha Bairy.
Kesan angker langsung terasa saat memasuki rumah ini. Banyak pria bertato nongkrong di Posko 100 ini. Kesan angker akan lumer jika kita menyapa mereka. Sikap ramah mereka tunjukkan kepada siapa pun yang datang. Tidak terkecuali kepada para calon anggota legislatif yang ingin memesan spanduk atau kaos.
Jagad Hariseno, pembina Posko 100, mengatakan menjelang pelaksanaan pemilu ini pihaknya memang menerima pesanan alat peraga kampanye. Dan tidak pernah ada caleg ataupun parpol yang berani mempermainkannya. “Mungkin karena profesi sebelumnya kawan-kawan yang membuat para caleg berpikir dua kali untuk melakukan tindakan aneh-aneh, seperti tidak mau membayar atau lari dari tanggung jawab,” ujarnya.
“Anak asuh” Jagad yang berkarya di Posko 100 sebagian besar adalah mantan preman Terminal Bungurasih dan Joyoboyo. Sebelumnya mereka berprofesi sebagai jambret, copet, bahkan pelaku kejahatan dengan kekerasan.
Tidak ingin angka kriminalitas di Surabaya meningkat, Jagad memutuskan menampung mereka. Para mantan preman itu dikaryakan sesuai kemampuan masing-masing. Hasilnya, Posko 100 juga memproduksi sabun merk Java Soap yang bisa dijumpai di Carrefour, Jalan Mayjen Sungkono, Surabaya. Menjelang pemilu, mereka punya produk baru: alat peraga kampanye.
Menurut Jagad, meski tidak banyak, masih ada caleg yang memesan alat alat peraga di tempatnya. Tidak seperti di tempat usaha Bairy, dalam hal pembayaran, Jagad mematok uang muka minimal 25% dari total ongkos.
Pria lulusan Teknik Elektro Institut Teknologi Sepuluh November ini juga bercita-cita membesarkan usaha industri rumahan miliknya. Namun, berbeda dari Bairy, dalam mengembangkan usahanya Jagad lebih memilih cara gotong-royong dengan basis komunitas.
Bicara soal pernak-pernik pemilu memang sangat menarik. Bagi sebagian masyarakat, mungkin pemilu tidak ada artinya sama sekali. Namun, bagi Bairy dan Jagad, masa kampanye dan pemilu seperti sekarang adalah saat yang tepat untuk menangguk rezeki.
Mereka tidak peduli janji-janji manis para caleg dan parpol dalam kampanye. Bagi mereka, janji-janji manis itu tidak ubahnya gula yang harus didatangi. Rugi jika tidak ikut berebut manisnya gula pemilu ini, karena harus menunggu 5 tahun lagi. (Habis)
DI sebuah rumah di belakang gedung Universitas 45 Surabaya tepatnya di Pakis Tirtosari 100 Surabaya juga ada aktivitas yang sama seperti di tempat usaha Bairy.
Kesan angker langsung terasa saat memasuki rumah ini. Banyak pria bertato nongkrong di Posko 100 ini. Kesan angker akan lumer jika kita menyapa mereka. Sikap ramah mereka tunjukkan kepada siapa pun yang datang. Tidak terkecuali kepada para calon anggota legislatif yang ingin memesan spanduk atau kaos.
Jagad Hariseno, pembina Posko 100, mengatakan menjelang pelaksanaan pemilu ini pihaknya memang menerima pesanan alat peraga kampanye. Dan tidak pernah ada caleg ataupun parpol yang berani mempermainkannya. “Mungkin karena profesi sebelumnya kawan-kawan yang membuat para caleg berpikir dua kali untuk melakukan tindakan aneh-aneh, seperti tidak mau membayar atau lari dari tanggung jawab,” ujarnya.
“Anak asuh” Jagad yang berkarya di Posko 100 sebagian besar adalah mantan preman Terminal Bungurasih dan Joyoboyo. Sebelumnya mereka berprofesi sebagai jambret, copet, bahkan pelaku kejahatan dengan kekerasan.
Tidak ingin angka kriminalitas di Surabaya meningkat, Jagad memutuskan menampung mereka. Para mantan preman itu dikaryakan sesuai kemampuan masing-masing. Hasilnya, Posko 100 juga memproduksi sabun merk Java Soap yang bisa dijumpai di Carrefour, Jalan Mayjen Sungkono, Surabaya. Menjelang pemilu, mereka punya produk baru: alat peraga kampanye.
Menurut Jagad, meski tidak banyak, masih ada caleg yang memesan alat alat peraga di tempatnya. Tidak seperti di tempat usaha Bairy, dalam hal pembayaran, Jagad mematok uang muka minimal 25% dari total ongkos.
Pria lulusan Teknik Elektro Institut Teknologi Sepuluh November ini juga bercita-cita membesarkan usaha industri rumahan miliknya. Namun, berbeda dari Bairy, dalam mengembangkan usahanya Jagad lebih memilih cara gotong-royong dengan basis komunitas.
Bicara soal pernak-pernik pemilu memang sangat menarik. Bagi sebagian masyarakat, mungkin pemilu tidak ada artinya sama sekali. Namun, bagi Bairy dan Jagad, masa kampanye dan pemilu seperti sekarang adalah saat yang tepat untuk menangguk rezeki.
Mereka tidak peduli janji-janji manis para caleg dan parpol dalam kampanye. Bagi mereka, janji-janji manis itu tidak ubahnya gula yang harus didatangi. Rugi jika tidak ikut berebut manisnya gula pemilu ini, karena harus menunggu 5 tahun lagi. (Habis)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar