Derajat laki-laki dan perempuan pada hakikatnya sama. Itulah pesan yang disampaikan kelompok kesenian ketoprak Ganesha Trivikrama, Kediri, saat menggelar lakon berjudul Dewi Sakti di gedung Pringgodani, Taman Hiburan Rakyat Surabaya, Sabtu (13/3).
Sosok Dewi Sakti, penguasa Kerajaan Himalaya, merupakan gambaran bagaimana kerasnya seorang perempuan dalam berjuang untuk kerukunan dan keharmonisan dalam hidup. Terlebih dalam cerita yang disutradai Totok Sontro ini Dewi Sakti dihadapkan pada Prabu Lintang Trenggono yang menolak cintanya dan melarang semua perempuan memasuki Kerajaan Sumedang yang dipimpinnya.
Untuk bisa mengalahkan Lintang Trenggono tidak hanya diperlukan kesaktian dan kekuatan otot. Lebih dari itu, semua musuhnya harus cerdik dalam bersiasat. Dewi Sakti menyadari hal itu. Ia pun menyusun rencana untuk menghancurkan kekerasan hati dan mengubah cara pandang Lintang Trenggono terhadap kaum perempuan yang selama ini dianggapnya rendah.
Melalui cerita berdurasi satu jam ini Dewi Sakti berhasil membuktikan tak selamanya perempuan berada di bawah pria. Sekaligus mematahkan filsafat kuno suwarga nunut neraka katut yang bermakna perempuan berada di bawah pria. Cerita yang diperkuat fakta sejarah abad V saat Ratu Simba memerintah Kalinga ini membuktikan peran perempuan tidak kalah penting dari pria.
Totok Sontro mengatakan, dari pesan yang disampaikan dalam cerita tersebut, ia berharap perempuan menyadari kemampuan dan keberadaan mereka, tidak lagi sekadar pendamping atau pelengkap laki-laki. Lebih dari itu, perempuan harus menjadi fondasi yang kuat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Perjalanan sejarah membuktikan peran perempuan sangat penting dalam kemajuan bangsa. Mari tengok sepak terjang RA Kartini. Jauh sebelum itu, Kencana Wungu dan Tribuana Tunggadewi juga membuktikan berhasil memimpin Majapahit, meski berulang kali menghadapi pemberontakan oleh sekelompok kecil laki-laki yang tidak terima dipimpin seorang ratu.
Satu pertanyaan besar muncul, mengapa laki-laki sulit menerima perempuan sejajar dengannya?
Cara Pandang Salah
Di kalangan masyarakat Indonesia, persoalan laki-laki dan perempuan adalah bicara tentang harga diri dan kultur budaya. Bukan bicara pada kemampuan dan keterampilan individu.
Kepala Bidang Internal LBH Surabaya M Syaiful Arif mengatakan, di Indonesia sulit sekali menempatkan posisi perempuan setidaknya sejajar dengan laki-laki. Hal ini disebabkan kultur budaya dan adanya dalil-dalil agama yang membuat perempuan di Indonesia sulit berkembang, terutama di kawasan pedesaan.
“Selama ini di Indonesia, perempuan ‘ditakdirkan’ hanya untuk macak, manak, dan masak (berhias, mengasuh anak, dan memasak). Akibatnya, jarang sekali perempuan bisa berkreasi berdasarkan kemampuan mereka,” kata Syaiful Arif.
Pendapat Syaiful Arif hampir sama dengan teori konflik Karl Mark ataupun Friedrich Engels, yang mengemukakan perbedaan dan ketimpangan gender antara laki-laki dan perempuan tidak disebabkan perbedaan biologis, tetapi merupakan bagian dari penindasan kelas yang berkuasa dalam relasi produksi yang diterapkan dalam konsep keluarga.
Ketidakadilan gender merupakan bentuk perbedaan perlakuan berdasarkan pembatasan peran, penyingkiran, atau pilih kasih. Ketidakadilan itu biasanya bersifat langsung, yang dilakukan secara terbuka, baik disebabkan perilaku atau sikap norma/nilai maupun aturan yang berlaku. Sedangkan yang bersifat tidak langsung, pada prinsipnya sama, namun dalam pelaksanaannya hanya menguntungkan jenis kelamin tertentu.
Ketidakadilan gender juga dilakukan dengan sistemik, atau ketidakadilan yang berakar dalam sejarah atau struktur masyarakat yang mewariskan keadaan yang bersifat membeda-bedakan.
Diskriminasi gender dibagi dalam beberapa bentuk. Di antaranya, marginalisasi (peminggiran), biasa dalam bidang ekonomi. Subordinasi (penomorduaan) atau menganggap perempuan lemah. Stereotipe (citra buruk) yang menjurus pada serangan fisik dan psikis serta beban kerja yang berlebihan.
Soal diskriminasi gender di Indonesia, pemerintah memegang peranan besar. Atau setidaknya meniru langkah Pangeran Lintang Kusumo, yang mampu mendamaikan Dewi Sakti dan Lintang Trenggono.
Hasil rekonsiliasi damai tersebut, Kerajaan Sumedang dan Himalaya menjadi satu negara besar yang adil makmur, dan gemah ripah loh jinawi. Di dua kerajaan itu tidak ada lagi diskriminasi, tidak ada lagi penindasan. Semuanya bekerja sama dan bergotong-royong membangun kerajaaan. Apakah Indonesia bisa seperti itu? (red)