Sulitnya menggapai keadilan dan meraih kebenaran, sudah menjadi hal umum bagi rakyat kebanyakan. Setiap kali rakyat berkumpul dan menyusun kekuatan untuk melakukan perlawanan, hanya ada satu pikiran pemerintah: subversif dan membahayakan negara.
Demi meredam usaha subversif rakyat, pemerintah mengeluarkan jurus maut: memberondongkan peluru dan memburu pemimpin aksi yang dianggap sebagai provokator dan biang keladi. Kekerasan dipilih hanya untuk melanggengkan jabatan.
Kekerasan demi kekerasan yang terjadi di Indonesia mendorong Bengkel Muda Surabaya untuk mementaskan lakon teater berjudul Surabaya Kembali di pelataran Tugu Pahlawan Surabaya pada Sabtu (20/3). Pentas yang disutradarai Zaenuri ini mencoba menyampaikan haramnya tindakan kekerasan yang telah terjadi. Akan lebih baik bila pemerintah membangun bangsa dengan membangun kesejahteraan rakyat yang saat ini kian jauh dari harapan.
Surabaya Kembali menggambarkan arek-arek kampung Surabaya yang sedang bernyanyi dan menari, bersiap menghadapi kedatangan Belanda di kota ini. Lagu yang dinyanyikan semakin menyemangati mereka untuk melawan negara yang menjajah negara ini selama lebih dari tiga setengah abad. Kekuatan moral anak-anak muda Surabaya - diwakili sosok Emak, seorang perempuan tua – membuat Belanda mendapat halangan berat untuk bisa masuk ke Surabaya.
Belanda, yang dalam pementasan ini diwakili seorang kapten bernama Kapten Sithof, yang betul-betul lepas kendali dalam menghadapi perlawanan rakyat. Banyak tentara Belanda yang mati dalam pertempuran itu, sehingga Kapten Sithof perlu langsung turun ke medan perang dan menantang Munir, yang menjadi tokoh arek Suroboyo.
Sithof kewalahan menghadapi Munir yang bertubuh kecil dan sakit-sakitan, namun berani melawan penindasan Belanda.Sithof pun melepaskan tembakan ke arah Munir, yang langsung terjatuh. Mengetahui sosok Munir yang sebenarnya, Sithof merasa malu. Rasa ini kemudian membuatnya putus asa dan memilih menembakkan peluru ke keningnya.
Bila dicermati, perlawanan dalam pentas teater ini tidak hanya diwakili tokoh Munir. Ada juga Marsinah, yang menggambarkan susahnya buruh melawan perbudakan dan penindasan. Juga sosok jurnalis Belanda bernama Van den Brand. Bertahun-tahun jurnalis ini tinggal di Hinda Belanda untuk menulis kekejian dan penindasan di negeri jajahan. Terjadi tarik-menarik pemikiran antara Sithof yang mewakili penguasa dan Van den Brand yang mengusung nilai-nilai kemanusiaan.
Realitas Saat Ini
Namun, benarkah penjajahan sudah lenyap? Pada kenyataannya, ada bentuk penjajahan yang justru jauh lebih kejam dari “sekadar” penjajahan fisik yang menyerang Indonesia. Kekuatan kapitalisme asing telah menjajah seluruh sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Gedung-gedung pencakar langit yang berlomba berdiri menggantikan pepohonan dan kawasan hutan kota dianggap menggambarkan kemakmuran dan kesejahteraan. Anggapan itu tak pernah terbukti benar. Lihatlah bagaimana ekosistem di Papua hancur oleh Freeport atau hutan Kalimantan yang hancur karena tambang batu bara dan minyak bumi. Ironisnya, semua itu tidak digunakan untuk menyejahterakan rakyat, tapi dikeruk dan dibawa jauh ke negara asing yang memiliki kekuatan kapital.
Tak ada perlindungan bagi rakyat. Masih tak ada keadilan bagi kaum buruh yang terus-menerus terancam pemecatan dan upah tak layak. Perlakuan keji terhadap tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri terus terjadi. Sementara, pengangguran semakin bertambah akibat ketidakmampuan pemerintah menyediakan lapangan kerja yang layak.
Lalu bagaimana kasus pembunuhan aktivis HAM seperti Munir? Komnas HAM mencatat, proses peradilan pembunuhan Munir telah dijalankan dalam melakukan penuntutan dan penghukuman atas para pelaku kejahatan. Namun, dari hasil eksaminasi terhadap perkara pembunuhan Munir yang dilakukan Komnas HAM, terlihat kurang pertimbangan hukum yang cukup dalam memutus perkara (onvoldoende gemotiveerd), sehingga dipandang sebagai kelalaian dalam beracara (vormverzuim) yang mengakibatkan kesewenang-wenangan (willekeur) dalam memutus perkara.
Dari berbagai pengujian dalam proses peradilan, khususnya terhadap proses persidangan terdakwa, terkesan melindungi terdakwa dari pertanggungjawaban pidana. Dari hasil itu, Komnas HAM menyimpulkan terdapat sejumlah bukti yang menyebabkan terjadinya kegagalan dalam mengadili para pelaku yang seharusnya bertanggungjawab atas terbunuhnya Munir, sehingga terjadi impunitas.
Sangat sulit memang, untuk berharap tidak ada lagi kekerasan terjadi di negeri berbalut demokrasi nan kejam ini. Jangankan melawan, untuk berbicara saja, kita sudah dianggap melawan, dan melakukan fitnah.
Jika demikian, alangkah bijak apabila kita sebagai rakyat tidak saling menyalahkan. Dan, lebih bagus lagi, tidak menjadi bagian dari pelaku kekerasan, seperti mereka yang bermain dalam drama politik. Kita cukup jadi penonton, sambil mengajak masyarakat sekitar untuk lebih mencintai lingkungan, agar tidak timbul bencana lagi di masa-masa datang. (red)
Demi meredam usaha subversif rakyat, pemerintah mengeluarkan jurus maut: memberondongkan peluru dan memburu pemimpin aksi yang dianggap sebagai provokator dan biang keladi. Kekerasan dipilih hanya untuk melanggengkan jabatan.
Kekerasan demi kekerasan yang terjadi di Indonesia mendorong Bengkel Muda Surabaya untuk mementaskan lakon teater berjudul Surabaya Kembali di pelataran Tugu Pahlawan Surabaya pada Sabtu (20/3). Pentas yang disutradarai Zaenuri ini mencoba menyampaikan haramnya tindakan kekerasan yang telah terjadi. Akan lebih baik bila pemerintah membangun bangsa dengan membangun kesejahteraan rakyat yang saat ini kian jauh dari harapan.
Surabaya Kembali menggambarkan arek-arek kampung Surabaya yang sedang bernyanyi dan menari, bersiap menghadapi kedatangan Belanda di kota ini. Lagu yang dinyanyikan semakin menyemangati mereka untuk melawan negara yang menjajah negara ini selama lebih dari tiga setengah abad. Kekuatan moral anak-anak muda Surabaya - diwakili sosok Emak, seorang perempuan tua – membuat Belanda mendapat halangan berat untuk bisa masuk ke Surabaya.
Belanda, yang dalam pementasan ini diwakili seorang kapten bernama Kapten Sithof, yang betul-betul lepas kendali dalam menghadapi perlawanan rakyat. Banyak tentara Belanda yang mati dalam pertempuran itu, sehingga Kapten Sithof perlu langsung turun ke medan perang dan menantang Munir, yang menjadi tokoh arek Suroboyo.
Sithof kewalahan menghadapi Munir yang bertubuh kecil dan sakit-sakitan, namun berani melawan penindasan Belanda.Sithof pun melepaskan tembakan ke arah Munir, yang langsung terjatuh. Mengetahui sosok Munir yang sebenarnya, Sithof merasa malu. Rasa ini kemudian membuatnya putus asa dan memilih menembakkan peluru ke keningnya.
Bila dicermati, perlawanan dalam pentas teater ini tidak hanya diwakili tokoh Munir. Ada juga Marsinah, yang menggambarkan susahnya buruh melawan perbudakan dan penindasan. Juga sosok jurnalis Belanda bernama Van den Brand. Bertahun-tahun jurnalis ini tinggal di Hinda Belanda untuk menulis kekejian dan penindasan di negeri jajahan. Terjadi tarik-menarik pemikiran antara Sithof yang mewakili penguasa dan Van den Brand yang mengusung nilai-nilai kemanusiaan.
Realitas Saat Ini
Namun, benarkah penjajahan sudah lenyap? Pada kenyataannya, ada bentuk penjajahan yang justru jauh lebih kejam dari “sekadar” penjajahan fisik yang menyerang Indonesia. Kekuatan kapitalisme asing telah menjajah seluruh sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Gedung-gedung pencakar langit yang berlomba berdiri menggantikan pepohonan dan kawasan hutan kota dianggap menggambarkan kemakmuran dan kesejahteraan. Anggapan itu tak pernah terbukti benar. Lihatlah bagaimana ekosistem di Papua hancur oleh Freeport atau hutan Kalimantan yang hancur karena tambang batu bara dan minyak bumi. Ironisnya, semua itu tidak digunakan untuk menyejahterakan rakyat, tapi dikeruk dan dibawa jauh ke negara asing yang memiliki kekuatan kapital.
Tak ada perlindungan bagi rakyat. Masih tak ada keadilan bagi kaum buruh yang terus-menerus terancam pemecatan dan upah tak layak. Perlakuan keji terhadap tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri terus terjadi. Sementara, pengangguran semakin bertambah akibat ketidakmampuan pemerintah menyediakan lapangan kerja yang layak.
Lalu bagaimana kasus pembunuhan aktivis HAM seperti Munir? Komnas HAM mencatat, proses peradilan pembunuhan Munir telah dijalankan dalam melakukan penuntutan dan penghukuman atas para pelaku kejahatan. Namun, dari hasil eksaminasi terhadap perkara pembunuhan Munir yang dilakukan Komnas HAM, terlihat kurang pertimbangan hukum yang cukup dalam memutus perkara (onvoldoende gemotiveerd), sehingga dipandang sebagai kelalaian dalam beracara (vormverzuim) yang mengakibatkan kesewenang-wenangan (willekeur) dalam memutus perkara.
Dari berbagai pengujian dalam proses peradilan, khususnya terhadap proses persidangan terdakwa, terkesan melindungi terdakwa dari pertanggungjawaban pidana. Dari hasil itu, Komnas HAM menyimpulkan terdapat sejumlah bukti yang menyebabkan terjadinya kegagalan dalam mengadili para pelaku yang seharusnya bertanggungjawab atas terbunuhnya Munir, sehingga terjadi impunitas.
Sangat sulit memang, untuk berharap tidak ada lagi kekerasan terjadi di negeri berbalut demokrasi nan kejam ini. Jangankan melawan, untuk berbicara saja, kita sudah dianggap melawan, dan melakukan fitnah.
Jika demikian, alangkah bijak apabila kita sebagai rakyat tidak saling menyalahkan. Dan, lebih bagus lagi, tidak menjadi bagian dari pelaku kekerasan, seperti mereka yang bermain dalam drama politik. Kita cukup jadi penonton, sambil mengajak masyarakat sekitar untuk lebih mencintai lingkungan, agar tidak timbul bencana lagi di masa-masa datang. (red)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar