Warta Jatim, Surabaya - Komisi D DPRD Jawa Timur merancang Peraturan Daerah Rencana Strategi Air yang akan mengatur teknis perlindungan dan penjagaan sungai. Raperda ini untuk menjaga daerah aliran sungai dan meningkatkan kualitas air.
Anggota Komisi D Agus Maimun mengatakan, rancangan Perda Rencana Strategi Air juga mengatur sanksi terhadap pelanggar, terutama pelaku perusakan daerah bantaran kali. Hal ini perlu dipertegas karena persoalan air di Jatim sangat memprihatinkan. Apalagi dari 57 sumber air di Kali Brantas, saat ini tinggal 55 sumber. Perlu dilakukan langkah proaktif dalam mengawasi penggunaan sumber air dan sungai.
“Kami berharap perda ini bisa meminimalkan pencemaran air dan kerusakan lingkungan sekitarnya. Untuk itu, sebisa mungkin sanksi harus lebih berat, terutama bagi perusahaan-perusahaan yang selama ini menjalankan usaha di bantaran sungai,” kata Agus, Selasa (23/3).
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah (Ecoton) Prigi Arisandi menyatakan mendukung rencana tersebut. Namun, kata Prigi, rencana itu tidak didukung Gubernur Soekarwo, yang justru akan menertibkan peraturan gubernur yang mengklasifikasikan Kali Surabaya sebagai kelas III atau IV, yang berarti tidak layak konsumsi.
Menurut Prigi, Gubernur Soekarwo juga tidak pernah menjatuhkan sanksi terhadap pencemar, terutama perusahaan di bantaran sungai. “Dengan adanya pergub yang segera ditandatangani menandakan Gubernur tidak memiliki iktikad baik dalam menjaga kelestarian sungai. Atau dalam artian, Sungai Surabaya boleh diisi apa saja, limbah, racun dan sebagainya.”
Prigi Arisandi berharap dalam menerapkan perda tersebut Komisi D melibatkan masyarakat, LSM, dan pihak terkait, agar implementasi dan tujuan perda berjalan maksimal.
Prigi menjelaskan, Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air menyebutkan Sungai Brantas telah kehilangan 50% mata air dalam 2 tahun terakhir dan terjadi penurunan debit air dari 10 m3/detik menjadi kurang dari 5 m3/detik. Juga terjadi penurunan kualitas air di hulu dan hilir Sungai Brantas akibat digerojok 330 ton limbah cair per hari dengan perincian 36% limbah domestik dan 37% limbah indutri. Padahal, 16 kabupaten/kota mengandalkan air Brantas untuk bahan baku air minum dengan memanfaatkan 20 m3/detik air sungai terbesar di Jawa Timur itu. (red)
Anggota Komisi D Agus Maimun mengatakan, rancangan Perda Rencana Strategi Air juga mengatur sanksi terhadap pelanggar, terutama pelaku perusakan daerah bantaran kali. Hal ini perlu dipertegas karena persoalan air di Jatim sangat memprihatinkan. Apalagi dari 57 sumber air di Kali Brantas, saat ini tinggal 55 sumber. Perlu dilakukan langkah proaktif dalam mengawasi penggunaan sumber air dan sungai.
“Kami berharap perda ini bisa meminimalkan pencemaran air dan kerusakan lingkungan sekitarnya. Untuk itu, sebisa mungkin sanksi harus lebih berat, terutama bagi perusahaan-perusahaan yang selama ini menjalankan usaha di bantaran sungai,” kata Agus, Selasa (23/3).
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah (Ecoton) Prigi Arisandi menyatakan mendukung rencana tersebut. Namun, kata Prigi, rencana itu tidak didukung Gubernur Soekarwo, yang justru akan menertibkan peraturan gubernur yang mengklasifikasikan Kali Surabaya sebagai kelas III atau IV, yang berarti tidak layak konsumsi.
Menurut Prigi, Gubernur Soekarwo juga tidak pernah menjatuhkan sanksi terhadap pencemar, terutama perusahaan di bantaran sungai. “Dengan adanya pergub yang segera ditandatangani menandakan Gubernur tidak memiliki iktikad baik dalam menjaga kelestarian sungai. Atau dalam artian, Sungai Surabaya boleh diisi apa saja, limbah, racun dan sebagainya.”
Prigi Arisandi berharap dalam menerapkan perda tersebut Komisi D melibatkan masyarakat, LSM, dan pihak terkait, agar implementasi dan tujuan perda berjalan maksimal.
Prigi menjelaskan, Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air menyebutkan Sungai Brantas telah kehilangan 50% mata air dalam 2 tahun terakhir dan terjadi penurunan debit air dari 10 m3/detik menjadi kurang dari 5 m3/detik. Juga terjadi penurunan kualitas air di hulu dan hilir Sungai Brantas akibat digerojok 330 ton limbah cair per hari dengan perincian 36% limbah domestik dan 37% limbah indutri. Padahal, 16 kabupaten/kota mengandalkan air Brantas untuk bahan baku air minum dengan memanfaatkan 20 m3/detik air sungai terbesar di Jawa Timur itu. (red)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar