Kelompok mengatasnamakan agama menyerang waria. Polisi tak tanggap. Ada pembiaran.
Depok, Jawa Barat, penghujung April 2010, pukul 10.45. Budi Satria sedang bercukur di salah satu kamar Hotel Bumi Wiyata. Di hotel tersebut sedang digelar pelatihan hukum dan HAM untuk waria se-Indonesia.
Tiba-tiba salah seorang staf memanggil dan meminta Budi segera turun ke ruang pelatihan. “Saya dipanggil staf untuk turun karena Front Pembela Islam (FPI) mau menyerang,” kata Budi, koordinator organisasi lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT), saat dijumpai di kantor Arus Pelangi.
Budi pun turun dan bergegas menuju ruang pertemuan di dekat selasar hotel. Belasan orang beratribut kelompok Islam sedang berbicara dengan tiga polisi di halaman hotel. Di dekat halaman, Budi menanyakan kepada salah seorang polisi perihal orang-orang tersebut. “Itu FPI,” kata Budi menirukan jawaban polisi.
Budi mendekati kelompok massa itu. Kepada pemimpin kelompok yang diketahui bernama Habib Idrus, Budi berupaya meyakinkan bahwa acara pendidikan hak asasi manusia untuk kelompok waria ini kegiatan positif.
Di sela pembicaraan dengan Idrus, massa tak terkendali. Mereka berlari menuju ruang pelatihan. “Sampai ke selasar, akhirnya ke dalam ruangan. Dari sudut meja mereka mengibaskan tangan menghamburkan gelas, block note ke lantai. Sekuriti membantu mengamankan waria dari pintu samping. Ada dua orang FPI yang mengejar, saya coba menghalau. Saya ada di dekat habibnya,” ujar Budi.
Wakil Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Zainal Abidin menjadi sasaran amuk massa FPI. Zainal yang saat itu baru selesai memberikan materi pendidikan, nyaris dipukul anggota FPI karena dikira ketua panitia.
Peserta diungsikan ke lantai tiga sebelum dibawa ke Markas Polres Depok. Sementara massa FPI merangsek masuk mencari ruangan yang mereka duga menjadi tempat kontes bikini waria. “Mereka menemukan ruangan. Ada yang mencoba merobuhkan kursi, tapi ditahan. Mereka mengancam, kalau ada kontes pada malam hari, mereka akan datang lagi,” kata Budi.
Budi tak habis mengerti dari mana FPI mendapat isu ada kontes bikini waria dalam acara ini. Padahal, acara ini pendidikan HAM yang diselenggarakan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. “Tidak ada kontes bikini,” tegasnya.
Puncak pelatihan adalah pemilihan Duta HAM yang diharapkan bisa menjadi pendidik hak asasi manusia di komunitasnya. Duta HAM dipilih dengan menguji pemahaman dan pengetahuan waria seputar materi selama pelatihan. Panitia mengganti kartu tanda peserta dengan selempang yang biasa digunakan pada kontes kecantikan.
Menurut Budi, sekitar 45 menit sebelum penyerangan, seorang intel polisi menghampirinya dan memberi tahu FPI akan menyerang. Namun, polisi tidak mencegah aksi tersebut.
Setelah panitia menjalani serangkaian pemeriksaan di Polres Depok, acara dilanjutkan. Pemilihan Duta Waria tetap digelar. Puluhan polisi didatangkan untuk menjaga jalannya acara. Itu setelah Komisioner Komnas HAM Esty Armiwulan memprotes sikap polisi yang lalai menjaga keamanan.
“Mereka (FPI) sudah masuk ke dalam ruangan. Mengintervensi dan membuat peserta trauma,” kata Esty.
Kapolres Depok tidak dapat dihubungi untuk dimintai keterangan mengenai kasus ini. Staf Satuan Intel, Reserse, dan Kriminal Polres Depok mengatakan, kasus ini ditangani Polda Metro Jaya. Mereka menganjurkan untuk meminta keterangan ke Polsek Beji yang membawahkan wilayah hotel tempat pelatihan.
Wakil Kepala Polsek Beji, Hendro Wijono, enggan memberikan keterangan soal ini. “Kami tidak boleh bicara kasus yang sudah diurus di Polres,” katanya.
***
Mediasi polisi dan FUI Surabaya
Sebulan sebelumnya, kejadian yang sama menimpa Konferensi International Lesbian and Gay Association-Asia (ILGA-Asia) di Surabaya, Jawa Timur. Sekelompok orang dari Forum Umat Islam (FUI) menyerbu hotel tempat konferensi berlangsung.
Soe Tjen Marching, sukarelawan Konferensi ILGA-Asia, mengatakan, Forum Umat Islam mengintimidasi dan menghina peserta. “Mereka juga menekan panitia untuk tidak mengeluarkan pernyataan pers dan menyerahkan daftar panitia. Selain itu, mereka mengancam tamu hotel yang menyaksikan ketegangan di lobi hotel.”
Widodo Budidarmo, Koordinator Program Arus Pelangi yang ikut mengurus konferensi itu, mengaku hampir dipukul oleh anggota FUI. Bersama pengurus ILGA-Asia, King Oey, Widodo menemui kelompok FUI yang memaksa membubarkan konferensi yang diikuti peserta dari 23 negara Asia itu.
“Saya berhadapan sendiri, mereka hanya ceramah. Saya disuruh diam. Ketika saya diam, saya disuruh jawab. Ketika saya jawab, mereka ngamuk. Memang tidak bisa diajak dialog. Saya dan King mau dipukul, bahkan sendalnya mau diambil,” kata Widodo.
Sama seperti kejadian di Depok, polisi tidak berada di lokasi untuk melindungi para peserta konferensi di Surabaya. Soe Tjen Marching mengatakan, polisi mengajukan syarat izin administrasi acara yang rumit. “Polri meminta persyaratan yang tidak masuk akal. Akta notaris, surat dukungan dari kementerian, daftar nama, fotokopi paspor peserta, serta surat rekomendasi dari Polda Jawa Timur dan Polwiltabes Surabaya.”
Polisi, kata Soe Tjen, tidak melakukan apa-apa ketika penyerangan terjadi. “Mereka malah enjoy menikmati makan dan minum bersama FUI.”
Sekretariat Gaya Nusantara jadi sasaran FUI Surabaya Pembiaran Kekerasan “Kami pertanyakan efektivitas intelkam (intelijen dan keamanan) Polri. Kalau menghadapi teroris, jago betul mereka mencegah. Masak intelkam Polri demikian merosot untuk menghadapi amuk-amuk massa? Harusnya ada tanda massa bergerak, itu sudah dicegah Polri,” kata Wakil Ketua Komnas HAM Joseph Adi Prasetyo.
Joseph Adi menduga polisi membiarkan penyerbuan terhadap kelompok minoritas. Dia menyebut contoh, penyerangan bangunan milik Badan Pendidikan Kristen Penabur di Cisarua, Jawa Barat, oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan Islam. “Sejam kemudian polisi baru datang. Alasannya selalu klasik, jumlah polisi tidak memadai dibanding jumlah massa. Selalu begitu,” ujarnya.
Poengky Indarti, direktur manajer lembaga pemantau penegakan HAM Imparsial, menilai polisi melanggar hukum dengan membiarkan konflik terjadi di masyarakat. Jika polisi tidak menindak kelompok yang menyerang menggunakan kekerasan, Indonesia akan jatuh pada situasi chaos. “Ketika orang tidak percaya lagi polisi bisa melindungi, yang terjadi ‘main kayu’,” katanya.
Polri harus memantapkan pemahaman HAM terkait isu-isu gender. Dengan demikian, polisi tahu pihak mana yang harus dilindungi jika ada kejadian seperti pada konferensi ILGA-Asia di Surabaya dan pendidikan HAM untuk waria di Depok. “Kalau pemerintah benar-benar menghormati HAM dan menghormati manusia ciptaan Tuhan, mereka juga harus menghormati kawan-kawan kelompok LGBT. Mereka harus bebas beraktivitas dengan bebas dan damai. Mereka juga manusia,” kata Poengky.
Ketua Divisi Hubungan Masyarakat Markas Besar Polri Edward Aritonang membantah Polri melakukan pembiaran. Saat dikonfirmasi bahwa intel polisi sudah mengetahui akan terjadi penyerangan terhadap waria di Depok, Edward meminta nama intel itu disebutkan. “Kata siapa itu? Siapa intelnya? Kalau disebutkan datanya, saya tanggapi. Polisi tugasnya melindungi, mangayomi masyarakat, siapa pun dia. Kalau ada yang di luar kontrol, kami pasti akan evaluasi,” ujarnya.
Menanggapi serangkaian kasus penyerangan tersebut, Joseph Adi Prasetya menganggap politik belum meletakkan pemerintah sebagai lembaga yang berwibawa. Itu sebabnya, kelompok yang mengatasnamakan agama seolah “mudah” menyerang kelompok lain yang tidak sejalan. “Lakukan upaya represif (terhadap pelaku kekerasan agama), karena itu memang kewenangan penegak hukum,” katanya.(red)
Soe Tjen Marching, sukarelawan Konferensi ILGA-Asia, mengatakan, Forum Umat Islam mengintimidasi dan menghina peserta. “Mereka juga menekan panitia untuk tidak mengeluarkan pernyataan pers dan menyerahkan daftar panitia. Selain itu, mereka mengancam tamu hotel yang menyaksikan ketegangan di lobi hotel.”
Widodo Budidarmo, Koordinator Program Arus Pelangi yang ikut mengurus konferensi itu, mengaku hampir dipukul oleh anggota FUI. Bersama pengurus ILGA-Asia, King Oey, Widodo menemui kelompok FUI yang memaksa membubarkan konferensi yang diikuti peserta dari 23 negara Asia itu.
“Saya berhadapan sendiri, mereka hanya ceramah. Saya disuruh diam. Ketika saya diam, saya disuruh jawab. Ketika saya jawab, mereka ngamuk. Memang tidak bisa diajak dialog. Saya dan King mau dipukul, bahkan sendalnya mau diambil,” kata Widodo.
Sama seperti kejadian di Depok, polisi tidak berada di lokasi untuk melindungi para peserta konferensi di Surabaya. Soe Tjen Marching mengatakan, polisi mengajukan syarat izin administrasi acara yang rumit. “Polri meminta persyaratan yang tidak masuk akal. Akta notaris, surat dukungan dari kementerian, daftar nama, fotokopi paspor peserta, serta surat rekomendasi dari Polda Jawa Timur dan Polwiltabes Surabaya.”
Polisi, kata Soe Tjen, tidak melakukan apa-apa ketika penyerangan terjadi. “Mereka malah enjoy menikmati makan dan minum bersama FUI.”
Sekretariat Gaya Nusantara jadi sasaran FUI Surabaya Pembiaran Kekerasan “Kami pertanyakan efektivitas intelkam (intelijen dan keamanan) Polri. Kalau menghadapi teroris, jago betul mereka mencegah. Masak intelkam Polri demikian merosot untuk menghadapi amuk-amuk massa? Harusnya ada tanda massa bergerak, itu sudah dicegah Polri,” kata Wakil Ketua Komnas HAM Joseph Adi Prasetyo.
Joseph Adi menduga polisi membiarkan penyerbuan terhadap kelompok minoritas. Dia menyebut contoh, penyerangan bangunan milik Badan Pendidikan Kristen Penabur di Cisarua, Jawa Barat, oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan Islam. “Sejam kemudian polisi baru datang. Alasannya selalu klasik, jumlah polisi tidak memadai dibanding jumlah massa. Selalu begitu,” ujarnya.
Poengky Indarti, direktur manajer lembaga pemantau penegakan HAM Imparsial, menilai polisi melanggar hukum dengan membiarkan konflik terjadi di masyarakat. Jika polisi tidak menindak kelompok yang menyerang menggunakan kekerasan, Indonesia akan jatuh pada situasi chaos. “Ketika orang tidak percaya lagi polisi bisa melindungi, yang terjadi ‘main kayu’,” katanya.
Polri harus memantapkan pemahaman HAM terkait isu-isu gender. Dengan demikian, polisi tahu pihak mana yang harus dilindungi jika ada kejadian seperti pada konferensi ILGA-Asia di Surabaya dan pendidikan HAM untuk waria di Depok. “Kalau pemerintah benar-benar menghormati HAM dan menghormati manusia ciptaan Tuhan, mereka juga harus menghormati kawan-kawan kelompok LGBT. Mereka harus bebas beraktivitas dengan bebas dan damai. Mereka juga manusia,” kata Poengky.
Ketua Divisi Hubungan Masyarakat Markas Besar Polri Edward Aritonang membantah Polri melakukan pembiaran. Saat dikonfirmasi bahwa intel polisi sudah mengetahui akan terjadi penyerangan terhadap waria di Depok, Edward meminta nama intel itu disebutkan. “Kata siapa itu? Siapa intelnya? Kalau disebutkan datanya, saya tanggapi. Polisi tugasnya melindungi, mangayomi masyarakat, siapa pun dia. Kalau ada yang di luar kontrol, kami pasti akan evaluasi,” ujarnya.
Menanggapi serangkaian kasus penyerangan tersebut, Joseph Adi Prasetya menganggap politik belum meletakkan pemerintah sebagai lembaga yang berwibawa. Itu sebabnya, kelompok yang mengatasnamakan agama seolah “mudah” menyerang kelompok lain yang tidak sejalan. “Lakukan upaya represif (terhadap pelaku kekerasan agama), karena itu memang kewenangan penegak hukum,” katanya.(red)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar