Warta Jatim, Surabaya – Penertiban ratusan bangunan di atas lahan seluas 4,8 hektare di kawasan Tanjungsari, Surabaya, hari ini gagal. Selain mendapat perlawanan warga, kepolisian juga tidak bersedia membantu penertiban oleh Pengadilan Negeri Surabaya.
Kapolsek Asemrowo AKP Suparti mengatakan, penertiban tidak dapat dilakukan karena PN Surabaya tidak pernah melakukan sosialisasi kepada warga. PN Surabaya juga memaksakan kehendak untuk melaksanakan eksekusi. “Penertiban ini rawan kerusuhan, karena itu kami mendapatkan perintah dari Polwiltabes agar tidak menerjunkan pasukan,” kata Suparti, Selasa (15/6).
Kuasa hukum warga, Lulus Suhanto, mengatakan, warga telah menjadi korban rekayasa proses hukum dua pihak yang bersengketa. Apalagi warga sudah membeli tanah itu dari pihak yayasan yang dibuktikan kuitansi jual beli.
Sengketa tanah ini bermula pada tahun 1962 ketika Yayasan Pembangunan Sosial Jawa Timur membeli tanah 19 hektare di kawasan Tambak Mayor. Pada 6 Maret 1972 yayasan di bawah perlindungan Gubernur Militer Jawa Timur (saat itu) Kolonel Wiyono mengalihkan 4,8 hektare lahan yang dikuasai kepada Tio Cahyadi Setiyono.
Dalam perjanjian pengalihan tanah itu, Tio diberi kesempatan menyertifikatkan lahan ke Badan Pertanahan Nasional, tapi tidak kunjung dilakukan. Surat tanah justru diagunkan ke Bank Bumi Daya untuk kredit atas nama PT Nefos. Selanjutnya, kredit Tio bermasalah dan pada tahun 1993 tanah itu dilelang.
Uniknya, Tio membeli tanah itu dalam lelang BBD, kemudian dijual kepada Darmaji Irianto pada tahun 1997. Jual beli tanah inilah yang kemudian menimbulkan sengketa di antara keduanya. Darmaji mengajukan gugatan terhadap Tio di PN Surabaya atas kepemilikan tanah di Jalan Tanjungsari tersebut.
Kasus ini memperoleh kekuatan hukum tetap lewat putusan versteek nomor 342/Pdt.G/2006/PN.Sby tertanggal 22 Agustus 2006. Putusan ini dikeluarkan setelah Tio tidak hadir berkali-kali dalam sidang gugatan. Hakim menganggap tergugat telah melepaskan haknya atas tanah untuk diberikan kepada pihak penggugat. (red)
Kapolsek Asemrowo AKP Suparti mengatakan, penertiban tidak dapat dilakukan karena PN Surabaya tidak pernah melakukan sosialisasi kepada warga. PN Surabaya juga memaksakan kehendak untuk melaksanakan eksekusi. “Penertiban ini rawan kerusuhan, karena itu kami mendapatkan perintah dari Polwiltabes agar tidak menerjunkan pasukan,” kata Suparti, Selasa (15/6).
Kuasa hukum warga, Lulus Suhanto, mengatakan, warga telah menjadi korban rekayasa proses hukum dua pihak yang bersengketa. Apalagi warga sudah membeli tanah itu dari pihak yayasan yang dibuktikan kuitansi jual beli.
Sengketa tanah ini bermula pada tahun 1962 ketika Yayasan Pembangunan Sosial Jawa Timur membeli tanah 19 hektare di kawasan Tambak Mayor. Pada 6 Maret 1972 yayasan di bawah perlindungan Gubernur Militer Jawa Timur (saat itu) Kolonel Wiyono mengalihkan 4,8 hektare lahan yang dikuasai kepada Tio Cahyadi Setiyono.
Dalam perjanjian pengalihan tanah itu, Tio diberi kesempatan menyertifikatkan lahan ke Badan Pertanahan Nasional, tapi tidak kunjung dilakukan. Surat tanah justru diagunkan ke Bank Bumi Daya untuk kredit atas nama PT Nefos. Selanjutnya, kredit Tio bermasalah dan pada tahun 1993 tanah itu dilelang.
Uniknya, Tio membeli tanah itu dalam lelang BBD, kemudian dijual kepada Darmaji Irianto pada tahun 1997. Jual beli tanah inilah yang kemudian menimbulkan sengketa di antara keduanya. Darmaji mengajukan gugatan terhadap Tio di PN Surabaya atas kepemilikan tanah di Jalan Tanjungsari tersebut.
Kasus ini memperoleh kekuatan hukum tetap lewat putusan versteek nomor 342/Pdt.G/2006/PN.Sby tertanggal 22 Agustus 2006. Putusan ini dikeluarkan setelah Tio tidak hadir berkali-kali dalam sidang gugatan. Hakim menganggap tergugat telah melepaskan haknya atas tanah untuk diberikan kepada pihak penggugat. (red)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar