Warta Jatim, Surabaya - Aktivis Gerakan Difabel Indonesia mendesak pemerintah untuk merevisi UU No 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat. Mereka menilai, keberadaan UU tersebut hanya menjadi arsip negara yang tidak pernah sampai pada tingkat pelaksanaan.
Pernyataan tersebut merupakan hasil dari Kongres Nasional Aktivis Gerakan Difabel Indonesia, yang diadakan di Surabaya (6/6).
Juru bicara Aktivis Gerakan Difabel Indonesia Bahrul Fuad mengatakan, kaum difabel juga akan membuat langkah-langkah lain, seperti membuat surat pernyataan untuk mereview proses ratifikasi Konvensi PBB untuk perlindungan hak penyandang cacat, dan mendorong adanya ruang dialog antar pihak terkait guna meninjau ulang penggunaan istilah penyandang disabilitas.
“ Kami juga merekomendasikan hal lain. Untuk itu, kami akan membentuk tim khusus yang akan merumuskan dan mewujudkan hasil rekomendasi ini,” ujar Bahrul.
Menurut Bahrul, keberadaan kaum difabel selama ini seperti orang yang teraniaya dan terpinggirkan. Apalagi, hak-hak kaum difabel seperti pendidikan, kesehatan dan lapangan kerja tidak mendapat perhatian dari pemerintah. Situasi ini diperparah dengan menurunnya tingkat komunikasi antar aktifis difabel.
Bahrul menegaskan, diperlukan rumusan baru, terutama soal strategi kaum difabel dalam menghadapi ketidakpastian sistem di Indonesia. Di antaranya, dengan membangun jejaring antar aktivis dan kaum difabel.
Hingga saat ini tidak ada data resmi mengenai jumlah difabel di Indonesia, karena banyaknya definisi tentang difabel. Hanya saja, jika mengacu pada aturan WHO, terdapat sekitar 10% jumlah difabel dari jumlah penduduk di setiap negara. (red)
Pernyataan tersebut merupakan hasil dari Kongres Nasional Aktivis Gerakan Difabel Indonesia, yang diadakan di Surabaya (6/6).
Juru bicara Aktivis Gerakan Difabel Indonesia Bahrul Fuad mengatakan, kaum difabel juga akan membuat langkah-langkah lain, seperti membuat surat pernyataan untuk mereview proses ratifikasi Konvensi PBB untuk perlindungan hak penyandang cacat, dan mendorong adanya ruang dialog antar pihak terkait guna meninjau ulang penggunaan istilah penyandang disabilitas.
“ Kami juga merekomendasikan hal lain. Untuk itu, kami akan membentuk tim khusus yang akan merumuskan dan mewujudkan hasil rekomendasi ini,” ujar Bahrul.
Menurut Bahrul, keberadaan kaum difabel selama ini seperti orang yang teraniaya dan terpinggirkan. Apalagi, hak-hak kaum difabel seperti pendidikan, kesehatan dan lapangan kerja tidak mendapat perhatian dari pemerintah. Situasi ini diperparah dengan menurunnya tingkat komunikasi antar aktifis difabel.
Bahrul menegaskan, diperlukan rumusan baru, terutama soal strategi kaum difabel dalam menghadapi ketidakpastian sistem di Indonesia. Di antaranya, dengan membangun jejaring antar aktivis dan kaum difabel.
Hingga saat ini tidak ada data resmi mengenai jumlah difabel di Indonesia, karena banyaknya definisi tentang difabel. Hanya saja, jika mengacu pada aturan WHO, terdapat sekitar 10% jumlah difabel dari jumlah penduduk di setiap negara. (red)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar