Warta Jatim, Surabaya – Kenaikan tarif dasar listrik mulai 1 Juli 2010 tidak masuk akal. Rencana itu belum melalui penelitian dan kajian secara optimal serta sosialisasi menyeluruh. Juga tidak melihat kondisi ekonomi masyarakat saat tahun ajaran baru.
Hal itu dikatakan Ketua Lembaga Perlindungan Konsumen Surabaya, Paidi Pawirorejo, di Surabaya, Jumat (25/6). Paidi juga menyoroti tidak proposialnya pengelolaan listrik di Indonesia, sehingga manajemen tidak optimal. Karena itu, dia meminta pemerintah melakukan evaluasi terlebih dahulu.
LPKS juga menilai listrik di Indonesia tidak ada kejelasan, apakah untuk komoditas atau infrastruktur. “Dalam UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dan UU Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, tidak ada kejelasan tentang hal itu. Pemerintah harus lebih dulu menjelaskan tentang hal ini,” ujar Paidi.
Dewan Pengawas LPKS, Victor Djarot, menilai alasan pemerintah menaikkan tarif dasar listrik karena APBN defisit, sangat sulit diterima nalar. Dia menyebutkan, APBN 2009 yang surplus Rp 58 triliun. Selain itu, sejak Januari hingga Juni 2010 baru 28,5% APBN yang terserap.
Menurut Djarot, PT PLN juga memiliki sisa anggaran Rp 19 triliun di tahun 2009 dan uang kas Rp 6,5 triliun. Dengan sisa dana APBN dan anggaran di PT PLN, seharusnya bisa digunakan untuk subsidi listrik, terutama bagi masyarakat kurang mampu yang menggunakan listrik 450 - 900 watt.
Victor Djarot menegaskan, kenaikan tarif dasar listrik tak lebih dari harga politik, yang hanya menyenangkan kelompok tertentu. Terlebih tidak adanya jaminan dari PT PLN bahwa masyarakat akan mendapatkan pelayanan lebih baik. Salah satunya, listrik tidak lagi byar-pet.
Lembaga Perlindungan Konsumen Surabaya menolak rencana pemerintah menaikkan tarif dasar listrik mulai 1 Juli nanti. LPKS akan mengirimkan surat terbuka kepada Presiden, Ketua Komisi VII DPR, Menteri Negara BUMN, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, serta Direktur PT PLN.(red)
Hal itu dikatakan Ketua Lembaga Perlindungan Konsumen Surabaya, Paidi Pawirorejo, di Surabaya, Jumat (25/6). Paidi juga menyoroti tidak proposialnya pengelolaan listrik di Indonesia, sehingga manajemen tidak optimal. Karena itu, dia meminta pemerintah melakukan evaluasi terlebih dahulu.
LPKS juga menilai listrik di Indonesia tidak ada kejelasan, apakah untuk komoditas atau infrastruktur. “Dalam UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dan UU Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, tidak ada kejelasan tentang hal itu. Pemerintah harus lebih dulu menjelaskan tentang hal ini,” ujar Paidi.
Dewan Pengawas LPKS, Victor Djarot, menilai alasan pemerintah menaikkan tarif dasar listrik karena APBN defisit, sangat sulit diterima nalar. Dia menyebutkan, APBN 2009 yang surplus Rp 58 triliun. Selain itu, sejak Januari hingga Juni 2010 baru 28,5% APBN yang terserap.
Menurut Djarot, PT PLN juga memiliki sisa anggaran Rp 19 triliun di tahun 2009 dan uang kas Rp 6,5 triliun. Dengan sisa dana APBN dan anggaran di PT PLN, seharusnya bisa digunakan untuk subsidi listrik, terutama bagi masyarakat kurang mampu yang menggunakan listrik 450 - 900 watt.
Victor Djarot menegaskan, kenaikan tarif dasar listrik tak lebih dari harga politik, yang hanya menyenangkan kelompok tertentu. Terlebih tidak adanya jaminan dari PT PLN bahwa masyarakat akan mendapatkan pelayanan lebih baik. Salah satunya, listrik tidak lagi byar-pet.
Lembaga Perlindungan Konsumen Surabaya menolak rencana pemerintah menaikkan tarif dasar listrik mulai 1 Juli nanti. LPKS akan mengirimkan surat terbuka kepada Presiden, Ketua Komisi VII DPR, Menteri Negara BUMN, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, serta Direktur PT PLN.(red)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar