Mereka yang berdiri di tubir Lapindo. Meronta, menolak tenggelam.
Azan duhur berkumandang di kompleks perajin tas dan koper di Tanggulangin, Sidoarjo. Beberapa pemilik kios sabar menunggu pembeli. Sejak lumpur meluap di sekitar daerah tersebut empat tahun lalu, jumlah pembeli anjlok.
Effendi, lelaki yang menggeluti usaha tas dan koper di Tanggulangin sejak tahun 1972, dengan sabar menanti pembeli yang mampir ke kios, sekaligus rumahnya itu. Seperti biasa, kios Effendi sepi. Nyaris tidak ada pengunjung, meski sekadar melihat tas, koper, serta dompet yang dipajang rapi di etalase depan. Kalaupun ada, sebagian besar pelanggan lama yang membeli ataupun mereparasi tas.
Sama seperti nasib korban lumpur Lapindo, masa depan para pedagang tas dan koper Tanggulangin tidak jelas. Kios atau toko yang sebelumnya ramai pembeli, pelan-pelan mulai ditinggalkan. Sebelum lumpur menyembur, Effendi dapat meraup untung Rp 3 juta hingga 5 juta per hari. “Pasca-lumpur Lapindo, pendapatan kami terus turun. Penurunan omzet sampai 50 persen,” kata Effendi.
Agar lebih menghemat pengeluaran, Effendi memberlakukan sistem panggil pulang terhadap para karyawannya. Jika ada pesanan, dia baru memanggil karyawannya.
Effendi termasuk salah satu perajin yang beruntung. Dia masih menerima pesanan tas dan koper dari beberapa pelanggan lama dan masih bisa mengirim barang ke Surabaya, Lumajang, dan Probolinggo.
Raharjo, pedagang lainnya, mengatakan masalah yang menimpa para pedagang tas dan koper makin rumit. Sebab, bank menolak pedagang mengajukan pinjaman modal usaha. Bank menolak permohonan kredit, karena menilai tempat usaha yang dijadikan agunan dekat dengan pusat semburan lumpur. Kompleks penjualan koper dan tas di Tanggulangi hanya sekitar 5 kilometer dari tanggul lumpur Lapindo.
Menurut Raharjo, instruksi larangan memberikan pinjaman kepada para pedagang dikeluarkan oleh
Bank Indonesia. BI mengeluarkan surat edaran yang intinya melarang bank memberikan pinjaman kepada masyarakat atau usaha kecil mandiri yang berada dalam radius 5 kilometer dari lumpur Lapindo.
Didesak kebutuhan rumah tangga, Raharjo merintis usaha rumah makan dari sisa modal. “Meski tidak menjadi korban langsung, kami terkena efek lumpur Lapindo,” ujarnya.
Raharjo berharap pemerintah segera mencari solusi agar usaha tas dan koper di Tanggulangin tidak gulung tikar. Dia meminta hak para perajin mendapat pinjaman dari bank dipulihkan.
Ketua Asosiasi Pengusaha Tas Tanggulangin, Ismail Syarif, mengatakan perajin tas putar otak menarik minat pembeli. Salah satunya dengan menurunkan harga produk. Menurut Ismail, perajin tas sudah banyak yang gulung tikar. Dari 350 kios yang buka, hanya 100 yang bertahan. Banyak di antara mereka alih profesi membuka salon, restoran, dan warung internet.
“Dengan sisa perajin yang ada, kami sekuat tenaga agar tetap eksis. Bila perlu, kami akan urunan untuk membiayai roadshow meyakinkan masyarakat bahwa tidak ada masalah di Tanggulangin,” kata Ismail.
Perajin tas dan koper di Tanggulangin sudah ada sejak tahun 1939. Luapan lumpur Lapindo membuat masyarakat yang tinggal di Malang dan Jawa Timur sebelah timur enggan ke Tanggulangin. Satu-satunya harapan adalah calon pembeli dari Surabaya dan kawasan Jawa Timur bagian selatan. (red)
Azan duhur berkumandang di kompleks perajin tas dan koper di Tanggulangin, Sidoarjo. Beberapa pemilik kios sabar menunggu pembeli. Sejak lumpur meluap di sekitar daerah tersebut empat tahun lalu, jumlah pembeli anjlok.
Effendi, lelaki yang menggeluti usaha tas dan koper di Tanggulangin sejak tahun 1972, dengan sabar menanti pembeli yang mampir ke kios, sekaligus rumahnya itu. Seperti biasa, kios Effendi sepi. Nyaris tidak ada pengunjung, meski sekadar melihat tas, koper, serta dompet yang dipajang rapi di etalase depan. Kalaupun ada, sebagian besar pelanggan lama yang membeli ataupun mereparasi tas.
Sama seperti nasib korban lumpur Lapindo, masa depan para pedagang tas dan koper Tanggulangin tidak jelas. Kios atau toko yang sebelumnya ramai pembeli, pelan-pelan mulai ditinggalkan. Sebelum lumpur menyembur, Effendi dapat meraup untung Rp 3 juta hingga 5 juta per hari. “Pasca-lumpur Lapindo, pendapatan kami terus turun. Penurunan omzet sampai 50 persen,” kata Effendi.
Agar lebih menghemat pengeluaran, Effendi memberlakukan sistem panggil pulang terhadap para karyawannya. Jika ada pesanan, dia baru memanggil karyawannya.
Effendi termasuk salah satu perajin yang beruntung. Dia masih menerima pesanan tas dan koper dari beberapa pelanggan lama dan masih bisa mengirim barang ke Surabaya, Lumajang, dan Probolinggo.
Raharjo, pedagang lainnya, mengatakan masalah yang menimpa para pedagang tas dan koper makin rumit. Sebab, bank menolak pedagang mengajukan pinjaman modal usaha. Bank menolak permohonan kredit, karena menilai tempat usaha yang dijadikan agunan dekat dengan pusat semburan lumpur. Kompleks penjualan koper dan tas di Tanggulangi hanya sekitar 5 kilometer dari tanggul lumpur Lapindo.
Menurut Raharjo, instruksi larangan memberikan pinjaman kepada para pedagang dikeluarkan oleh
Bank Indonesia. BI mengeluarkan surat edaran yang intinya melarang bank memberikan pinjaman kepada masyarakat atau usaha kecil mandiri yang berada dalam radius 5 kilometer dari lumpur Lapindo.
Didesak kebutuhan rumah tangga, Raharjo merintis usaha rumah makan dari sisa modal. “Meski tidak menjadi korban langsung, kami terkena efek lumpur Lapindo,” ujarnya.
Raharjo berharap pemerintah segera mencari solusi agar usaha tas dan koper di Tanggulangin tidak gulung tikar. Dia meminta hak para perajin mendapat pinjaman dari bank dipulihkan.
Ketua Asosiasi Pengusaha Tas Tanggulangin, Ismail Syarif, mengatakan perajin tas putar otak menarik minat pembeli. Salah satunya dengan menurunkan harga produk. Menurut Ismail, perajin tas sudah banyak yang gulung tikar. Dari 350 kios yang buka, hanya 100 yang bertahan. Banyak di antara mereka alih profesi membuka salon, restoran, dan warung internet.
“Dengan sisa perajin yang ada, kami sekuat tenaga agar tetap eksis. Bila perlu, kami akan urunan untuk membiayai roadshow meyakinkan masyarakat bahwa tidak ada masalah di Tanggulangin,” kata Ismail.
Perajin tas dan koper di Tanggulangin sudah ada sejak tahun 1939. Luapan lumpur Lapindo membuat masyarakat yang tinggal di Malang dan Jawa Timur sebelah timur enggan ke Tanggulangin. Satu-satunya harapan adalah calon pembeli dari Surabaya dan kawasan Jawa Timur bagian selatan. (red)
mantab dan bagus banget nich blognya, kunjungan balik ya bro di download ebook gratis =p
BalasHapus