Mau UANG???... Buruan GRATIS Registrasi KLIK DISINI

Selasa, 05 Januari 2010

Bercak Suhela


Suhela mengayuh becak untuk mencari nafkah. Tak ada cara lain untuk bertahan hidup.

MENJADI tukang becak bukanlah idaman semua orang, termasuk Suleha, perempuan berusia 40 tahun asal Palu, Sulawesi Selatan. Saat ditemui di Jalan Tanjung Torawitan Surabaya usai mengantar siswa SD langganannya, Suleha mengatakan pekerjaannya ini adalah pilihan terakhirnya. Keharusan menafkahi putrinya, Juli, 18 tahun, membuatnya melakukan pekerjaan apa saja.

Apalagi kini anak pertamanya sudah mengandung 8 bulan. Suhela harus banting tulang untuk mengumpulkan uang guna menyiapkan kelahiran cucu pertamanya.

Suleha menjadi tukang becak sejak tahun 2000. Sejak suaminya selingkuh dan menikah lagi di tahun 1985, ia terpaksa menghidupi diri dan anaknya. Berbagai pekerjaan telah ia lakoni untuk bertahan hidup. Menjadi pemulung pun pernah dicobanya.

Setiap hari Suleha mengayuh becak dari pukul 6 pagi sampai pukul 5 sore. Langganannya hanya siswa-siswa TK dan SD yang bersekolah di dekat Jalan Tanjung Balai, tempatnya tinggal. Jika nasib baik datang, tak jarang Suleha mendapatkan penumpang selain anak-anak.

Apabila pekerjaan sampingan datang, Suhela tak bisa santai. Apa pun pekerjaannya dilakoninya. Mencuci, menyeterika, serta mengumpulkan kertas, koran, majalah, dan barang-barang bekas yang bisa dijual kembali.

Jika beruntung, Suleha bisa mendapatkan 3 sampai 4 pesanan mencuci dalam sehari. Untuk setiap cucian, Suleha tidak memasang tarif. Dibayar berapa pun diterima.  “Soal tarif, saya memang tidak menargetkan,” katanya. “Ada sih yang memberi 10 ribu, namun ada juga yang memberi 20 ribu. Semuanya tergantung penilaian mereka sendiri. Yang terpenting bagi saya adalah bagaimana mensyukuri apa yang telah diberikan Tuhan kepada kita,” ujarnya.

Kini, selain mengayuh becak, Suhela juga bekerja menjadi tukang cuci lepas. Penghasilan dari mencuci dan mengayuh becak tak tak lebih dari Rp 30 ribu per hari.

Dengan penghasilan minim, Suhela hanya mampu menyekolahkan anaknya hingga kelas IV sekolah dasar. Biaya hidup di Kota Buaya tergolong mahal baginya. 

Jika dulu uang yang dihasilkan hanya untuk berdua, dia dan anaknya. Kini, uang tersebut harus dibagi tiga dengan menantunya yang tak berpenghasilan. Bulan depan, uang tersebut harus dibagi empat, Suhela, anaknya, menantunya dan jabang bayi.

Suleha hanya bisa berharap agar menantunya bisa mendapatkan pekerjaan tetap yang setidaknya bisa membantu keuangannya. Namun doa tersebut belum terkabul, sehinga Suhela harus menjadi tulang punggung dua keluarga.

Namun, Suleha tidak ingin sang anak, menantu maupun cucunya mewarisi pekerjaan sebagai tukang becak. Suleha mengatakan, biar dirinya saja yang menjadi satu-satunya tukang becak dalam sejarah keluarganya. “Menjadi tukang becak tidaklah mudah. Selain menghadapi banyak tekanan, tak jarang juga ada makian dan penilaian yang buruk. Saya tak ingin hal itu terjadi pada keluarga saya,” katanya. (Bersambung).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar