Warta Jatim, Surabaya – Jumlah korban perdagangan manusia di Provinsi Jawa Timur terbanyak ketiga setelah Jawa Barat dan Kalimantan Barat. Jumlah uang yang dihasilkan melalui kejahatan ini lebih besar dibandingkan prostitusi, pembalakan liar, dan narkotika.
Pakar hukum pidana Universitas Airlangga Surabaya, Didik Endro P, mengatakan keuntungan yang diraup para pelaku kejahatan perdagangan manusia mencapai Rp 32 triliun per tahun. Pemberantasan kejahatan perdagangan manusia sulit dilakukan karena penegak hukum belum memahami jenis kejahatan ini.
Menurut Didik, tim penyidik polisi dan kejaksaan salah menggunakan aturan hukum untuk menjerat pelaku perdagangan manusia. Penegak hukum seharusnya menggunakan UU 21/2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, bukan menggunakan KUHP, meski terdapat 35 pasal yang mengatur hukuman terhadap pelaku trafficking.
“Dalam aturan UU Pemberantasan Perdagangan Orang, hukuman minimal 3 tahun penjara dan denda Rp 40 juta. Jika menggunakan KUHP, hukumannya bisa kurang dari itu dan bisa diganti denda,” kata Didik dalam seminar mengenai perdagangan manusia, di Surabaya, Kamis (7/1).
Wakil Ketua Forum Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Jatim, Lucky Amariami, mengatakan ada beberapa penyebab tingginya jumlah kasus perdagangan manusia. Di antaranya, Indonesia sebagai negara transit perdagangan manusia, lemahnya sistem informasi, serta budaya konsumtif yang membuat masyarakat cenderung mudah tertipu oleh pelaku kejahatan perdagangan manusia.
Lucky mengingatkan masyarakat mewaspadai operasi perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI), yang kerap digunakan sebagai kedok menjaring korban perdagangan manusia. “Kami banyak menemukan PJTKI palsu di Jatim. Biasanya mereka mengirimkan anak atau perempuan ke lokalisasi di Hong Kong, Taiwan, dan Singapura, dengan janji dipekerjakan di kafe dengan iming-iming gaji besar,” ujarnya. (red)
Pakar hukum pidana Universitas Airlangga Surabaya, Didik Endro P, mengatakan keuntungan yang diraup para pelaku kejahatan perdagangan manusia mencapai Rp 32 triliun per tahun. Pemberantasan kejahatan perdagangan manusia sulit dilakukan karena penegak hukum belum memahami jenis kejahatan ini.
Menurut Didik, tim penyidik polisi dan kejaksaan salah menggunakan aturan hukum untuk menjerat pelaku perdagangan manusia. Penegak hukum seharusnya menggunakan UU 21/2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, bukan menggunakan KUHP, meski terdapat 35 pasal yang mengatur hukuman terhadap pelaku trafficking.
“Dalam aturan UU Pemberantasan Perdagangan Orang, hukuman minimal 3 tahun penjara dan denda Rp 40 juta. Jika menggunakan KUHP, hukumannya bisa kurang dari itu dan bisa diganti denda,” kata Didik dalam seminar mengenai perdagangan manusia, di Surabaya, Kamis (7/1).
Wakil Ketua Forum Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Jatim, Lucky Amariami, mengatakan ada beberapa penyebab tingginya jumlah kasus perdagangan manusia. Di antaranya, Indonesia sebagai negara transit perdagangan manusia, lemahnya sistem informasi, serta budaya konsumtif yang membuat masyarakat cenderung mudah tertipu oleh pelaku kejahatan perdagangan manusia.
Lucky mengingatkan masyarakat mewaspadai operasi perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI), yang kerap digunakan sebagai kedok menjaring korban perdagangan manusia. “Kami banyak menemukan PJTKI palsu di Jatim. Biasanya mereka mengirimkan anak atau perempuan ke lokalisasi di Hong Kong, Taiwan, dan Singapura, dengan janji dipekerjakan di kafe dengan iming-iming gaji besar,” ujarnya. (red)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar